Refleksi dua tahun pandemi: Hak tenaga kesehatan untuk kondisi kerja yang adil belum terjamin

Memperingati dua tahun penetapan COVID-19 sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret, kemitraan masyarakat sipil SOSNakes* menyoroti kembali perlunya perlindungan hak-hak tenaga kesehatan.

Kami menilai bahwa pengalaman dua tahun terakhir menunjukkan bahwa masih perlu banyak perbaikan terhadap sistem kesehatan publik di Indonesia, salah satunya perlindungan dan pemenuhan hak-hak tenaga kesehatan.

“Walaupun ketersediaan vaksinasi yang semakin meluas dan ditemukannya obat-obat yang lebih efektif memberi harapan, namun seharusnya situasi ini tidak membuat pembuat kebijakan berpangku tangan,” kata Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute Miya Irawati.”Sekarang adalah saatnya untuk mengevaluasi dan membenahi sistem kesehatan publik di Indonesia agar permasalahan yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini tidak berulang saat kita menghadapi krisis kesehatan lain.”

Menurut data dari Lapor COVID-19, setidaknya 2.066 tenaga kesehatan di Indonesia meninggal dunia akibat COVID-19 per 10 Maret 2022, salah satu yang tertinggi di Asia.

Berdasarkan riset dan wawancara yang dilakukan anggota koalisi SOSNakes, beberapa faktor yang menyebabkan kerentanan nakes di Indonesia adalah sulitnya akses untuk pemeriksaan kesehatan, penyediaan alat pelindung diri (APD) yang belum memenuhi standar, dan jaminan ekonomi secara merata.

Survei CISDI yang dilakukan pada Maret dan April 2020 terhadap 714 fasilitas kesehatan tingkat primer, misalnya, menunjukkan bahwa 50 persen dari Puskesmas responden tidak memiliki APD yang ideal untuk COVID-19.

“Pada awal pandemi, sektor kesehatan di Indonesia, seperti banyak negara lain di dunia, tidak siap untuk memberi perlindungan yang terbaik terhadap tenaga kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam melawan COVID-19, terutama di luar perkotaan besar,” kata Egi Abdul Wahid, Direktur Program Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).

“Temuan dari evaluasi dampak yang dilakukan oleh tim CEDS UNPAD pada program PUSPA di Jawa barat menemukan bahwa 14,3% tenaga kesehatan mengalami burnout yang sedang-berat dan 12,7% mengalami depresi sedang-berat. Kondisi ini menunjukkan pentingnya pemenuhan hak terhadap nakes di tengah tugas berat mereka memberikan pelayanan. Ketersediaan APD yang cukup, dukungan tambahan tenaga di layanan primer maupun rujukan, hingga pemenuhan hak insentif akan membantu nakes dalam menjalankan peran dengan baik,” tambahnya. 

“Pemerintah harus memastikan bahwa ini tidak terjadi lagi di masa depan, agar kesehatan dan keselamatan nakes terlindungi, dan agar masyarakat umum pun mendapatkan layanan kesehatan yang memadai dan tidak terhalang oleh kekurangan nakes.”

Selain hak atas kesehatan dan hidup, hak nakes atas standar penghidupan yang layak juga perlu perhatian khusus. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, setidaknya terdapat 200.500 tenaga kesehatan yang pernah mengalami tunggakan insentif COVID-19 sepanjang 2020 dan 2021.

Bagi sebagian tenaga medis, seperti yang menjadi relawan di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, insentif ini menjadi satu-satunya sumber penghasilan yang mereka dapatkan dari pekerjaan mereka sebagai relawan. Bagi banyak pekerja kesehatan lain di seluruh Indonesia, insentif merupakan sumber pendapatan tambahan yang penting karena banyak rumah sakit telah memotong upah mereka sebagai dampak dari pendapatan yang lebih rendah selama pandemi.

“Dedikasi para tenaga kesehatan adalah salah satu faktor kunci penanganan pandemi. Sudah sewajarnya pemerintah menjamin bahwa mereka dapat bekerja dengan aman dan nyaman. Selain itu, terpenuhinya hak tenaga kesehatan tentu akan membantu meningkatkan kualitas sektor kesehatan secara keseluruhan serta kesiapan penanganan krisis-krisis kesehatan lainnya,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena..

Dengan populasi lebih dari 270 juta, Indonesia hanya memiliki rasio 0,4 dokter dan 2,91 perawat per 1.000 orang, menurut data yang dirilis oleh Bank Dunia pada 2019 – angka terendah kedua untuk kategori ini di seluruh Asia Tenggara.

“Jika hak-hak tenaga kesehatan Indonesia tidak dilindungi, angka ini dapat menurun lebih jauh karena adanya kesan bahwa perlindungan dan kesejahteraan tenaga kesehatan terabaikan selama pandemi. Tidak menutup kemungkinan jika nantinya banyak tenaga kesehatan yang meninggalkan profesinya dan lebih banyak pula calon nakes yang menjadi enggan bergabung,” tambah Wirya.

*Kemitraan SOSNakes beranggotakan Public Virtue Research Institute (PVRI), Amnesty International Indonesia (AII), dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).

Bagi rekan-rekan wartawan yang ingin menyaksikan kesaksian langsung kondisi tenaga kesehatan di lapangan, silakan turut menghadiri kegiatan Twitter Space “Pandemi Endgame: Impian atau Kenyataan?”

Jumat, 11 Maret 2022

Pukul 19:00-20:00 WIB

Live di Twitter @CISDI_ID @amnestyindo
https://twitter.com/CISDI_ID/status/15019236887480877057