Refleksi 76 tahun kemerdekaan Indonesia: Kebebasan berekspresi masih di bawah ancaman

Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 pada 17 Agustus 2021, Amnesty International Indonesia kembali menyoroti terancamnya hak kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia, terutama dengan adanya pasal-pasal karet di dalam Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE) yang telah menjadi alat kriminalisasi kebebasan berkekspresi.

“Indonesia sudah merdeka selama 76 tahun, namun hak warganya atas kebebasan berekspresi masih belum sepenuhnya terpenuhi dan terlindungi,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa  dalam beberapa tahun terakhir ruang kebebasan sipil di Indonesia semakin menyempit, salah satunya karena kriminalisasi yang menggunakan pasal bermasalah dalam UU ITE.”

Data Amnesty sepanjang 2020 menunjukkan setidaknya 132 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 156 korban, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis.

Sementara selama tahun 2021 sudah terjadi setidaknya 56 kasus serupa dengan total 62 korban. Salah satu kasus terbaru adalah tuduhan pencemaran nama baik terhadap Stevanus Mimosa Kristianto, Ketua Umum Serikat Pekerja Perjuangan salah satu bank swasta di Indonesia.

Pada Februari 2019, Kristianto dan kurang lebih 50 orang lainnya melakukan demonstrasi untuk memprotes PHK yang mereka anggap sepihak. Orasi Kristianto dalam demonstrasi tersebut diliput oleh beberapa media online.

Pada Mei 2019, pihak bank melaporkan Kristianto ke polisi atas orasinya itu, dengan tuduhan melanggar Pasal 27(3) UU ITE tentang pencemaran nama baik. Kristianto mendapat surat panggilan dan diperiksa pada Desember 2020. Dia akhirnya ditetapkan menjadi tersangka oleh Polda Metro Jaya pada bulan April 2021.

Kasus lainnya menimpa Stella Monica, seorang konsumen dari Surabaya, Jawa Timur. Stella dituduh melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE karena mengunggah postingan pada tanggal 27 Desember 2019 yang berisi keluhannya tentang iritasi kulit yang dia alami setelah melakukan perawatan di sebuah klinik kecantikan di Surabaya. 

Klinik kecantikan tempat Stella berobat merasa namanya telah dicemarkan dan melaporkan Stella ke pihak berwenang dan menuduh Stella telah melakukan pencemaran nama baik mereka dan melanggar UU ITE. Saat ini Stella masih dalam proses persidangan dan apabila terbukti bersalah Stella diancam hukuman empat tahun penjara atau denda paling banyak tujuh ratus lima puluh juta.

Kriminalisasi dengan UU ITE juga menimpa Soon Tabuni dari Papua. Ia menjalani proses hukum terkait dengan postingan di Facebook pada Mei 2020 soal penembakan dua tenaga medis di Intan Jaya dan dua mahasiswi di Timika. Soon menuliskan bahwa orang yang bertanggung jawab atas insiden itu adalah Kapolda Papua.

Sementara M. Asrul, seorang jurnalis di Palopo, Sulawesi Selatan, dituduh melakukan pencemaran nama baik karena menulis berita tentang dugaan korupsi proyek besar di Palopo pada bulan Mei 2019 lalu. Saat ini Asrul sedang menjalani proses persidangan. Jika terbukti bersalah, Asrul terancam dipidana penjara hingga 10 tahun.

“Kasus mereka hanyalah sebagian kecil dari ratusan kasus di mana hak warga untuk mengekspresikan pendapatnya secara damai dilanggar dengan menggunakan UU ITE,” kata Wirya.

“Kasus-kasus ini menunjukkan secara jelas bahwa UU ITE harus segera direvisi. Selama menunggu revisi, pemerintah juga harus mengambil langkah konkrit untuk memastikan perlindungan hak kebebasan berekspresi dengan memberikan amnesti atau pembebasan tanpa syarat kepada mereka yang dihukum dan dipenjara hanya karena menyampaikan ekspresinya secara damai.”

Kampanye daring suarakan kebebasan berekspresi

Melalui kampanye penulisan surat bertema Pesan Perubahan atau PENA yang diluncurkan pada bulan Agustus, Amnesty mengajak publik menyuarakan dukungan terhadap kebebasan berekspresi dengan mengirim surat ke Presiden Joko Widodo dan DPR RI agar merevisi UU ITE dan membebaskan mereka yang telah dikriminalisasi hanya karena menyampaikan ekspresinya secara damai.

“Publik punya peran yang sangat besar untuk mendorong negara menjamin hak-hak kita sebagai warga, termasuk kebebasan berekspresi,” kata Wirya.

Publik bisa mengakses kampanye PENA melalui tautan amnesty.id/pena dan berpartisipasi dengan menuliskan surat ke para pembuat kebijakan dengan pilihan topik yang tersedia. Tahun ini, selain revisi UU ITE, PENA mengangkat tiga topik lainnya: pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani, perlindungan hak 51 pegawai KPK yang dianggap tidak lolos tes wawasan kebangsaan, dan perlindungan hak masyarakat adat Laman Kinipan.

Selain kampanye PENA, pada 17 Agustus, Amnesty International Indonesia bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), SAFENET, dan Drupadi.id mengadakan kampanye daring tentang kebebasan berekspresi dan UU ITE via media sosial Instagram. Tepat pada pukul 08.00 WIB di tanggal 17 Agustus 2021, 12 panel akan diunggah secara serentak di akun Instagram Amnesty, AJI dan Safenet. Publik juga dapat berpartisipasi secara interaktif dalam kampanye daring ini dengan mengikuti permainan, kuis dan mendukung revisi UU ITE.

Latar belakang

Hak atas kebebasan berekspresi dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di Pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang dijelaskan lebih lanjut di Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konsitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E Ayat (3) dan 28F UUD, serta pada Pasal 23 Ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.