Rasisme Sistemik Terhadap Orang Papua Juga Harus Dihapuskan!

Menanggapi unjuk rasa global menentang diskriminasi dan rasisme terhadap kelompok-kelompok tertentu yang dipicu oleh kematian George Floyd di Amerika Serikat dan kaitannya dengan praktik opresif melawan kebebasan berekspresi di Papua serta isu rasisme terhadap orang Papua, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Insiden pelanggaran HAM yang menimpa George Floyd menjadi cerminan dari apa yang terjadi di Indonesia. Kasus pelanggaran HAM serupa yang diawali dengan rasisme di negara ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, dan sebagian besar kasus tidak selesai.”

“Banyak pembela HAM dan masyarakat sipil yang ikut melakukan aksi protes damai, ditangkap dan dipenjara atas tuduhan makar. Padahal apa yang mereka lakukan tidak melanggar hukum dan tidak ada unsur pidananya.”

“Sudah banyak contoh di mana aparat keamanan melakukan perbuatan rasis terhadap masyarakat Papua. Contoh paling terlihat adalah insiden di Surabaya dan Malang pada tahun 2019. Aparat justru merespon protes para mahasiswa dengan brutal, sama sekali tidak menunjukan sikap penegakan HAM untuk ukuran aparat negara.”

“Sikap rasisme itulah yang pada akhirnya memicu pada pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Padahal seharusnya negaralah yang menjadi contoh anti rasisme.”

“Insiden di Amerika sudah seharusnya menjadi cerminan bagi aparat negara untuk mulai lebih menunjukan sikap anti diskriminasi dan sepenuhnya melindungi hak-hak sipil warga negara untuk menyampaikan pendapat. Bisa dilihat di Amerika banyak masyarakat yang marah atas tindakan rasisme polisi setempat. Hal tersebut juga sedang dirasakan oleh banyak warga negara kita terhadap saudara-saudara kita di Papua.”

“Hal pertama yang mungkin bisa dilakukan pemerintah untuk mulai menunjukan sikap anti rasisme mereka adalah dengan membebaskan para tahanan nurani Papua yang saat ini masih mendekam di penjara dan menghentikan segala pembungkaman kebebasan sipil di tanah Papua.”

Latar belakang

Pada tanggal 2 Juni 2020, ada sekitar 51 tahanan hati nurani (PoC) dari Papua, termasuk aktivis politik dan pembela hak asasi manusia, yang masih berada di balik jeruji besi, sebagian besar dengan tuduhan makar. Mereka ditangkap dan dipenjarakan karena menjalankan hak-hak mereka atau mengekspresikan pandangan mereka secara damai.

Pada bulan Agustus 2019, unjuk rasa menentang rasisme terhadap pelajar Papua di Surabaya meletus di beberapa daerah di Indonesia. Di ibu kota Jawa Timur itu, sebuah organisasi masyarakat setempat menyerang asrama mahasiswa Papua, menuduh mereka membuang bendera nasional Indonesia ke selokan sebelum perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, dan melakukan penghinaan dengan kata-kata termasuk “monyet,” “anjing,” “binatang,” dan “babi.”

Alih-alih membubarkan kerumunan yang menyerang pelajar Papua, polisi justru mengepung asrama dan meminta mereka untuk menyerahkan diri.

Pengunjuk rasa terus memprotes rasisme, namun polisi merespon secara berlebihan dengan menembakkan gas air mata dan menangkap 43 pelajar Papua. Polisi menangkap mereka untuk diinterogasi, tetapi membebaskan mereka setelah tidak menemukan bukti bahwa mereka telah melecehkan bendera Indonesia.

Pada bulan yang sama di Malang, Jawa Timur, sekelompok pelajar Papua melakukan protes untuk menolak Perjanjian New York 1962, yang mengalihkan kendali wilayah Papua dari Belanda ke PBB. Demonstrasi terus berlanjut meskipun polisi menolak untuk memberikan izin kepada pelajar Papua di Malang untuk mengadakan protes, dengan “alasan keamanan”.

Situasi memburuk ketika kelompok masyarakat di Malang menyerang para pengunjuk rasa, dan Wakil Walikota Malang membuat pernyataan yang dianggap meresahkan komunitas Papua: “Ya dilihat dulu, yang namanya Pak Kapolres sudah bekerja ini…lakukan apa nanti salah satunya opsi itu yang sudah pernah dilakukan (pemulangan ke Papua tahun 2016).”

Aparat keamanan sering menggunakan tindakan represif terhadap aktivis yang menyuarakan penentuan nasib sendiri di Papua, seperti lewat pasal karet yang melarang protes damai, penangkapan massal, dan penuntutan berdasarkan pasal-pasal pemberontakan (makar) dalam KUHP (kebanyakan berdasarkan Pasal 106 dan 110 untuk kejahatan terhadap keamanan negara). Dengan meningkatnya aktivisme politik pro-kemerdekaan di Papua dalam satu dekade terakhir, terutama yang dipimpin oleh pelajar dan kaum muda, tren represif ini meningkat.

Sebagai penandatangan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Indonesia diwajibkan untuk menahan diri dari tindakan yang akan melemahkan tujuan perjanjian. Pasal 19 ICCPR dan Komentar Umum No. 34 tentang Pasal 19 ICCPR secara khusus melindungi hak atas kebebasan berekspresi.

Hal ini juga terkait erat dengan kebebasan berserikat – hak untuk membentuk dan bergabung dengan kelompok, golongan, serikat pekerja atau partai politik manapun yang dipilih, dan kebebasan berkumpul secara damai – hak untuk mengambil bagian dalam demonstrasi damai atau pertemuan publik.

Amnesty tidak mengambil posisi apa pun terkait status politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan untuk kemerdekaan atau penentuan nasib sendiri. Namun, kami menganggap bahwa hak atas kebebasan berekspresi mencakup hak untuk mengadvokasi kemerdekaan atau solusi politik lainnya secara damai yang tidak melibatkan hasutan untuk diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.