Peringatan HUT Kemerdekaan RI, Bebaskan Seluruh Tahanan Nurani

Menjelang peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 tahun yang jatuh pada 17 Agustus 2020, Amnesty International Indonesia, bersama dengan Forum Risalah Jakarta dan sejumlah tokoh nasional meminta Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk membebaskan seluruh tahanan hati nurani Papua dan Maluku, termasuk Jakub Skrzypski, warga negara Polandia yang hingga kini masih mendekam di penjara Wamena.

Desakan ini juga disampaikan melalui surat terbuka yang dikirimkan langsung kepada Presiden Joko Widodo pada Kamis, 13 Agustus 2020. Surat tersebut disusun oleh Amnesty bersama dengan Forum Risalah Jakarta, sebuah forum dialog lintas elemen masyarakat yang difasilitasi oleh Kementerian Agama, yang terdiri dari agamawan, budayawan, akademisi, aktivis, dan pegiat seni lintas generasi serta tokoh lintas iman.

“Sudah saatnya seluruh tahanan nurani Papua dan Maluku dibebaskan. Mereka tidak seharusnya dihukum sejak awal karena mereka hanya menjalankan haknya untuk berpendapat, berekspresi dan berkumpul secara damai,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

Amnesty mencatat, hingga saat ini, setidaknya terdapat 46 tahanan hati nurani Papua dan Maluku, dengan rincian: 10 orang dipenjara di Ambon, 23 orang di Fak-Fak, 11 orang di Sorong, dan dua orang dipenjara di Wamena, termasuk Jakub yang berkewarganegaraan Polandia.

“Itikad baik otoritas di negara ini sangat dinantikan. Dasar hukumnya jelas sudah ada. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 telah mengatur kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi. Pemberian amnesti tersebut rata-rata telah diberikan oleh hampir seluruh presiden terdahulu pada saat penyelenggaraan perayaan HUT Kemerdekaan RI,” kata Usman.

Alissa Wahid, puteri dari Presiden ke-4, KH Abdurrahman Wahid, yang juga merupakan Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, menyatakan bahwa pembebasan para tahanan hati nurani Timor-Timur yang dilakukan oleh ayahandanya pada tahun 1999 menunjukkan bahwa perbedaan pandangan politik bukanlah sesuatu yang diharamkan, sepanjang dilakukan dengan cara-cara yang demokratis dan menunjung HAM.

“Perbedaan politik seyogyanya dapat diselesaikan dengan pendekatan yang bermartabat dan berlandaskan prinsip keadilan sosial, bukan dengan pemenjaraan dan pilihan opresif ofensif,” kata Alissa.

Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membebaskan orang-orang yang terlibat pemberontakan Daud Bereueh di Aceh melalui amnesti (Keppres No. 180 tahun 1959 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi). Di tahun yang sama, Presiden Soekarno juga memberikan amnesti dan abolisi bagi mereka yang terlibat pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan (Keppres No. 303 Tahun 1959).

Pada tahun 1977, Presiden Soeharto memberi amnesti dan abolisi bagi anggota Fretilin Timor Timur agar mereka bisa terlibat dalam pembangunan (Keppres No. 63 tahun 1977).

Pada tahun 1998, Presiden Habibie memberikan amnesti (Keppres No. 80 tahun1998) kepada Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan, hingga Hendrikus Kowip, Kasiwirus Iwop, dan Benediktus Kuawamba yang masing-masing terkait isu separatisme di Timor Timur, Aceh dan Papua.

Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid memberikan amnesti bagi setidaknya 95 tahanan politik Timor Timur dan mereka yang dihukum untuk Tragedi 1965 (Keppres No. 157 hingga 160 Tahun 1999).

Pada tahun 2005, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat Gerakan Aceh Merdeka (Keppres No. 22 tahun 2005).

Terakhir, pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo juga memberikan amnesti, meskipun bukan untuk perkara makar, yaitu kepada Baiq Nuril dengan sebuah pertimbangan kemanusiaan. Untuk perkara makar, pada tahun 2015 Presiden Joko Widodo pernah memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua.

“Merujuk pada catatan sejarah tersebut, seharusnya tidak sulit bagi Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti pada para tahanan nurani, mengingat bahwa mereka jelas-jelas tidak melakukan tindak kriminal,” kata Usman.

“Namun, kriminalisasi terhadap mereka yang menggunakan haknya untuk berpendapat akan tetap sulit untuk dihentikan selama pasal makar di KUHP masih diterapkan di luar ketentuan yang diizinkan oleh hukum hak asasi manusia internasional. Maka dari itu, pemerintah bersama dengan DPR RI harus mengamandemen atau mencabut ketentuan tersebut, agar tidak dapat lagi digunakan untuk mempidanakan kebebasan berekspresi,” kata Usman.

Sebagian besar tahanan hati nurani tersebut divonis dengan hukuman kurungan atas tuduhan makar berdasarkan Pasal 106 dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Aparat penegak hukum kerap menerapkan pasal-pasal makar tersebut di luar ketentuan yang diizinkan oleh hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005.

Anggota DPD RI daerah pemilihan Papua dan Papua Barat, Yorrys Raweyai, yang juga salah satu anggota Forum Risalah Jakarta, mengatakan bahwa aksi-aksi penyampaian pendapat yang dipandang sebagai makar, kiranya memerlukan cara pandang baru, bahwa jangan menganggap protes-protes orang Papua selalu sebagai bentuk perlawanan kepada pemerintah.

“Mereka ingin didengar dan diperhatikan. Mereka tidak akan protes dan melakukan perlawanan jika tidak ada kegelisahan. Maka dari itu, amnesti bagi para tahanan tersebut adalah bentuk solusi. Tentu saja Presiden Joko Widodo harusnya mampu merespons suara-suara tersebut sebagai suara kemanusiaan. Membebaskan para tahanan itu adalah langkah progresif,” kata Yorrys.

Sementara itu, Pendeta Suarbudaya Rahadian mengingatkan bahwa jika di usia 75 tahun kemerdekaan ini pemerintah masih takut pada keragaman suara politik dan memilih mengkriminalisasi bahkan memenjarakan orang-orang yang punya keyakinan politik yang berbeda, maka bangsa ini sedang mengulangi tindakan represif yang dilakukan penjajah kolonial Belanda dan Jepang dahulu.”

“Jika pemerintah memiliki komitmen semangat kebangsaan seperti para pendiri bangsa, maka pemerintah harus membebaskan tahanan hati nurani Papua dan Maluku, demi penghormatan pada kemanusiaan, demi penghargaan kepada martabat kita sendiri sebagai bangsa yang beradab dan menjunjung tinggi HAM,” sebut Pendeta Suar.

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) secara tegas telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ICCPR, serta dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia. Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.

Amnesty International tidak mengambil sikap apapun terkait status politik dari provinsi manapun di Indonesia. Meski demikian, kami memegang teguh prinsip kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk menyuarakan kemerdekaan atau gagasan politik apapun yang dilakukan secara damai yang tidak mengandung kebencian, diskriminasi serta kekerasan.