Penolakan terhadap pengungsi Rohingya bentuk pengabaian yang keji

Menanggapi laporan bahwa pihak berwenang Indonesia telah menolak  kapal berisi  pengungsi Rohingya yang terlihat di dekat perairan Aceh, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Penolakan terhadap pengungsi Rohingya ini, banyak di antaranya anak-anak, merupakan pengabaian terhadap kemanusiaan yang sangat keji dan tidak dapat dibenarkan.”

“Padahal nelayan Aceh sebelumnya telah memberikan teladan dengan menyelamatkan pengungsi Rohingya yang terdampar pada bulan Juni dan September 2020. Sayangnya pihak berwenang tidak mengikuti contoh tersebut.”

“Kami kembali mendesak aparat berwenang Indonesia untuk membiarkan kapal pengungsi untuk mendarat di pantai terdekat dan menyelematkan para pengungsi serta dan memenuhi kebutuhan dasar mereka.”

“Sementara itu, juga harus ada tanggung jawab bersama di antara negara-negara kawasan untuk membuat respon kemanusiaan bersama untuk menyelamatkan pengungsi Rohingya  dari bahaya di laut, dan kondisi sulit di kampung halaman serta di kamp pengungsi Bangladesh – agar kejadian seperti ini tidak terus berulang.”

Latar belakang

Menurut laporan media, pada tanggal 28 Desember, pihak berwenang di Aceh telah menolak kapal yang mengangkut sekitar 120 orang pengungsi Rohingya, 51 di antaranya anak-anak, yang terombang-ambing di sekitar perairan Aceh, dan tidak memberikan izin kepada kapal tersebut untuk berlabuh. Diperkirakan jaraknya sekitar 70 mil dari daratan antara Peulimbang dan Peudada, Kabupaten Bireuen.

Kapal tersebut pertama dilihat oleh nelayan lokal pada hari Minggu, 26 Desember.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS), Konvensi Pencarian dan Pertolongan Maritim (Maritime Search and Rescue Convention, Konvensi SAR), dan Konvensi Internasional untuk Keselamatan Penumpang di Laut (International Convention for the Safety of Life at Sea, Konvensi SOLAS) yang mewajibkan Negara Pantai untuk memberikan bantuan dan mengkoordinasi operasi pencarian dan pertolongan (SAR) terhadap orang-orang yang berada dalam kesulitan di laut, terlepas dari kewarganegaraannya.

Tidak hanya itu, hukum kebiasaan internasional juga mengatur adanya prinsip non-refoulement, yang mengatur bahwa negara tidak boleh mengirim para pengungsi dan pencari suaka ke tempat di mana nyawa mereka terancam, termasuk mendorong kembali para pengungsi tersebut ke laut.