Foto: Aldo Marchiano Kaligis/Amnesty International Indonesia

Penolakan Polisi Mengusut Pelaku Pelecehan Seksual Kasus Baiq Nuril Ciderai Rasa Keadilan

Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) Indonesia telah gagal melindungi dan berpihak pada korban pelecehan seksual, setelah menghentikan pengusutan pidana terhadap terduga pelaku dugaan pelecehan seksual yang dialami oleh Baiq Nuril, kata Amnesty International Indonesia.

Pada 22 Januari 2019, Polda NTB menerbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) atas laporan Baiq Nuril pada 19 November 2018. Dari dokumen SP2HP yang diperlihatkan kepada Amnesty International, polisi mengatakan bahwa “penyelidik belum mendapati atau menemukan peristiwa pidana atas perbuatan cabul” yang diduga dilakukan terduga pelaku terhadap Nuril

“Menurut polisi, peristiwa pelecehan seksual yang dialami Nuril belum didukung oleh saksi-saksi yang melihat, mendengar, dan mengetahui kejadian tersebut. Alasan ini aneh, karena dugaan tersebut terjadi melalui sambungan telepon antara terduga pelaku dan Nuril tanpa ada orang lain yang mendengar. Seharusnya polisi menelusuri apakah yang berbicara di rekaman tersebut adalah terduga pelaku yang dilaporkan Nuril dan apakah ujaran verbal terduga pelaku kepada Nuril termasuk pelecehan seksual daripada berargumen tidak ada saksi dalam kejadian tersebut,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

“Yang lebih aneh, polisi mengatakan kepada penasehat hukum bahwa tindakan terduga pelaku tidak termasuk dalam kategori pelecehan seksual karena ‘tidak terjadi kontak fisik antara mereka berdua’. Pelecehan seksual juga bisa terjadi lewat tindakan verbal maupun tertulis. Keputusan polisi untuk menghentikan pengusutan kasus ini menciderai rasa keadilan untuk Baiq Nuril dan dan membiarkan pelaku tetap bebas,” tambah Usman.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus mengambil langkah proaktif untuk meninjau kembali keputusan penghentian penyelidikan tersebut dan memerintahkan Kepolisian Daerah NTB melanjutkan perkara tersebut ke tingkat penyidikan. Dan harus ada revisi terhadap undang-undang terkait untuk memperluas defenisi pelecehan seksual yang juga memuat tindakan verbal ataupun tertulis.

“Langkah ini penting dilakukan untuk menghindari persepsi publik bahwa kepolisian bertindak berat sebelah dalam menangani kasus tersebut. Sebelumnya, polisi memproses laporan terduga pelaku terhadap Nuril, membuat Nuril dihukum enam bulan penjara oleh Mahkamah Agung dan denda sebesar 500 juta Rupiah, walaupun sebelumnya Pengadilan Negeri Mataram membebaskan Nuril di tahun 2015. Ketika Nuril mencoba mencari keadilan dengan melaporkan terduga pelaku, polisi nampak tidak sungguh-sungguh menindaklanjuti laporan tersebut. Penolakan polisi untuk mencari terduga pelaku pelecehan seksual dalam kasus Nuril membawa kesan buruk bagi perlindungan hak-hak asasi perempuan khususnya perempuan yang mengalami pelecehan seksual,” kata Usman.

Saat ini Nuril sedang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung yang memvonis dia bersalah karena telah menyebarkan rekaman dugaan pelecehan seksual. Sidang perdana PK sudah dilakukan pada 10 Januari 2019.

“Kini satu-satunya harapan mencari keadilan adalah melalui PK di Mahkamah Agung setelah kita kecewa atas ketidakseriusan polisi menjerat terduga pelaku dalam kasus Nuril. Publik menunggu hasil PK di Mahkamah Agung dan berharap agar lembaga tersebut berpihak pada korban dan bersikap adil dalam mengambil keputusan,” jelas Usman.

Saat melakukan wawancara eksklusif dengan Amnesty International Indonesia, pengacara Nuril menegaskan bahwa perbuatan pelaku melakukan kekerasan seksual secara verbal secara materiil telah terbukti melalui pemeriksaan sidang pengadilan dan dijelaskan secara tegas dalam putusan PN dan Putusan kasasi.

Penasehat hukum juga menambahkan bahwa polisi mempunyai kewenangan untuk menggunakan pasal lain apabila menurut kepolisian ada pasal yang lebih sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.