Penghinaan Gibran, Badge Awards, seriuskah negara lindungi kebebasan berpendapat?

Menanggapi rencana Tim Siber Bareskrim Polri untuk memberi ‘Badge Awards’ bagi warga masyarakat yang dinilai aktif berpartisipasi melaporkan dugaan tindak pidana di media sosial, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan:

“Baru saja polisi menangkap warga Slawi karena dianggap menghina Walikota Solo, Gibran – yang juga putra Presiden Jokowi, di media sosial. Ini saja sudah menunjukkan betapa kian menyempitnya ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Bagaimana jika ‘Badge Awards’ benar-benar dilakukan?.”

“Jika pemberian ‘Badge Awards’ benar-benar dilaksanakan, ini berpotensi membuat warga semakin takut untuk mengungkapkan pendapat terutama jika pendapatnya kritis terhadap seorang pejabat. Apalagi Revisi UU ITE belum masuk prioritas anggota Dewan. Warga yang mengungkapkan pendapatnya di media sosial akan terus berada di bawah ancaman pidana selama pasal-pasal karet di UU ITE belum direvisi.”

“Pembebasan segera mereka yang dipenjara akibat terkena pasal-pasal karet UU ITE oleh pmerintah dan revisi segera atas UU ITE ini oleh pemerintah dan DPR seharusnya diutamakan. Pemimpin pemerintah dan DPR seharusnya mengimbau instrumen negara seperti polisi, untuk tidak melakukan upaya yang kontra-produktif.”

“Rencana ini juga dapat memicu ketegangan dan konflik sosial. Yang kedua, kejadian penangkapan seperti yang menimpa warga Slawi dapat terulang lagi. Warga seharusnya tidak perlu takut pada ancaman hukuman pidana atau dipaksa untuk minta maaf hanya karena mengungkapkan pendapatnya secara damai.”

“Pemerintahan Presiden Jokowi harus membuktikan pernyataannya baru-baru ini bahwa akan memberi rasa keadilan kepada masyarakat terutama dalam menyampaikan pendapat, kritik atau ekspresi lainnya yang sah. Meskipun pemerintah telah berulang kali mengaku ingin melindungi, belum terlihat langkah nyata dari pemerintah untuk membuktikan komitmen tersebut.”

Latar belakang

Menurut laporan media, pada hari Senin, 15 Maret, seorang warga Slawi, Jawa Tengah dengan inisial AM ditangkap oleh anggota Polresta Surakarta karena menulis komentar di Instagram yang dianggap menghina Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.

Pada hari Sabtu, 13 Maret, AM menulis komentar di sebuah post Instagram tentang Gibran yang meminta semifinal dan final Piala Menpora digelar di Solo.

“Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja,” tulis AM.

AM dilepaskan setelah merekam permintaan maaf yang kemudian diunggah ke akun Instagram Polresta Surakarta.

Pada hari Selasa, 16 Maret, akun Twitter resmi Dittipidsiber Bareskrim Polri mengunggah gambar badge yang akan diberikan kepada warga yang “aktif berpartisipasi melaporkan dugaan tindak pidana di media sosial”.

Menurut catatan Amnesty, sepanjang 2021 sudah ada setidaknya 15 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE dengan 18 korban. Sementara pada tahun 2020, Amnesty International mencatat setidaknya terdapat 119 kasus dengan 141 korban, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis.

Amnesty mengingatkan bahwa hak seluruh masyarakat atas kebebasan berekspresi dan berpendapat telah dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Komentar Umum No. 34 atas Pasal 19 ICCPR. Sedangkan dalam hukum nasional, hak tersebut telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, tepatnya pada Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945, serta Pasal 23 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Meskipun hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat dibatasi, namun pembatasan tersebut hanya dapat diterima dalam keadaan terbatas. Prinsip-prinsip Siracusa tentang Batasan dan Penurunan Ketentuan dalam ICCPR, yang merupakan sebuah interpretasi ahli atas ICCPR, memberikan panduan lebih lanjut terkait ketentuan pembatasan hak asasi manusia, termasuk: 1) tidak boleh ada batasan yang bersifat diskriminatif; 2) batasan apapun harus menjawab kebutuhan publik atau sosial yang mendesak, mengejar tujuan yang sah, dan sebanding dengan tujuan itu; 3) negara seharusnya tidak menggunakan cara yang lebih membatasi daripada yang diperlukan demi pencapaian tujuan pembatasan; 4) Pembenaran atas pembatasan hak yang dijamin berdasarkan ICCPR dibebankan kepada negara; dan 5) setiap batasan yang diberlakukan harus tunduk pada kemungkinan untuk digugat dan perbaikan terhadap penerapannya yang sewenang-wenang.