Penghapusan hukuman mati makin mendesak

Jumlah kasus baru hukuman mati di Indonesia meningkat di tahun 2019. Ini bertolak belakang dengan angka hukuman mati secara global yang cenderung menurun. Fakta ini harus menjadi titik balik bagi Indonesia untuk mengambil langkah berani untuk sepenuhnya menghapus sistem hukuman mati, kata Amnesty International Indonesia saat menerbitkan laporan tahunan global tentang pelaksanaan hukuman mati.

Laporan global berjudul “Putusan Pidana Mati dan Eksekusi 2019: Laporan Global Amnesty International” diterbitkan serentak oleh kantor Amnesty International di seluruh dunia pada 21 April 2020.

Baca selengkapnya laporan global Amnesty International di sini.

Laporan tersebut menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah eksekusi mati secara global sebesar 5% menjadi 657 eksekusi, dibandingkan dengan tahun 2018 yang berjumlah 690 eksekusi. Ini merupakan angka terendah yang tercatat dalam 10 tahun terakhir.

Penurunan eksekusi mati yang signifikan tercatat di negara-negara yang justru kuat menerapkan sistem hukuman mati, seperti Mesir, Jepang, Singapura dan Iran. Di sisi lain, Irak, Arab Saudi, Sudan Selatan dan Yaman secara signifikan menambah jumlah eksekusi di tahun 2019 dibandingkan tahun sebelumnya, dan mendominasi total jumlah eksekusi mati global sebesar 81%.

Amnesty International juga mencatat sebanyak 2.307 vonis hukuman mati secara global di tahun 2019. Angka ini menurun dari 2.531 vonis mati yang tercatat sepanjang tahun 2018. Namun, jumlah vonis mati di beberapa negara, termasuk Indonesia, justru meningkat signifikan. Amnesty International mencatat setidaknya terdapat 80 kasus baru hukuman mati di Indonesia sepanjang tahun 2019. Angka ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2018, yaitu 48 kasus. Dari total keseluruhan kasus baru tersebut, sebagian besarnya, yaitu 60 kasus (75%), adalah terkait perdagangan narkotika. Sedangkan sisanya terkait pembunuhan (18 kasus), pemerkosaan anak (1) dan tindakan terkait terorisme (1). Sebanyak 8 kasus dikenakan terhadap warga negara asing yang seluruhnya terkait dengan perdagangan narkotika.

“Kondisi di Indonesia sungguh mengkhawatirkan, meskipun tidak ada eksekusi mati yang dilakukan sepanjang 2019, namun vonis hukuman mati meningkat secara signifikan dari tahun sebelumnya. Di saat banyak negara mulai mengurangi jumlah eksekusi dan vonis mati, Indonesia justru menambah daftar terpidana yang menunggu eksekusi,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Alih-alih mendekati langkah penghapusan hukuman mati, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia justru mewacanakan untuk memasukan ancaman hukuman mati terhadap tindak pidana korupsi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Terlepas dari hal tersebut, RKUHP tertanggal September 2019 juga masih mencantumkan pidana mati sebagai pidana pokok untuk 14 (empat belas) tindak pidana.

Hingga saat ini, setidaknya masih terdapat 13 peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memuat ancaman hukuman mati, di antaranya: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), Undang – Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalih Pemerintah yang menyatakan bahwa hukuman mati dapat menimbulkan efek jera juga tidak beralasan, terutama untuk kasus perdagangan narkotika sebagai penyumbang terbesar kasus hukuman mati di Indonesia. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan jumlah pengguna narkotika sepanjang 2019 meningkat sebanyak 0,03% menjadi 3,6 juta orang dibanding tahun sebelumnya.

“Terbukti bahwa hukuman mati memang tidak menimbulkan efek jera untuk tidak melakukan kejahatan. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengambil langkah tegas untuk menghapuskan hukuman mati secara keseluruhan. Tentunya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memiliki kapasitas untuk melakukan ini. DPR harus mengambil inisiatif untuk mengkaji segala peraturan perundang-undangan yang masih memuat ancaman hukuman mati.” kata Usman.

“DPR RI dapat memanggil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Jaksa Agung untuk bersama-sama mengkaji penerapan hukuman mati yang dalam praktiknya juga banyak terjadi pelanggaran HAM dan unfair trial, seperti praktik penyiksaan hingga ketiadaan pendamping hukum untuk tersangka,” kata Usman.

“DPR RI juga perlu meminta pandangan Menteri Luar Negeri terkait kecenderungan global penurunan eksekusi dan hukuman mati. Sebagai negara anggota Dewan Hak Asasi Manusia dan anggota non-permanen Dewan Keamanan PBB, Indonesia wajib memastikan konsistensinya dengan kewajiban dan komitmen internasionalnya melalui penghapusan hukuman mati,” tambah Usman.

Amnesty International Indonesia menolak penerapan hukuman mati tanpa terkecuali dan dalam kasus apapun dengan metode apapun. Hukuman mati adalah hukuman yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat manusia dan jelas melanggar hak untuk hidup yang dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) dan Kovenan Internasional tentang Hak Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

“Kami tidak menolak penghukuman terhadap pelaku tindak kejahatan. Tapi apapun jenis kejahatannya, bentuk hukumannya harus bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia. Praktik hukuman mati jelas melanggar HAM,” kata Usman.