Pengesahan revisi UU Otsus rendahkan hak-hak orang asli Papua

Hari ini, DPR RI akan mengesahkan RUU terkait Revisi Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) untuk Papua dan Papua Barat. Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah dan DPR untuk memastikan bahwa hak-hak masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua, benar-benar dilindungi oleh UU tersebut.

“Meskipun undang-undang sebelumnya memuat banyak pasal yang melindungi hak orang asli Papua, ada banyak fakta bahwa pemerintah tidak serius melaksanakannya. Bahkan sering melanggar hak-hak tersebut selama 20 tahun. Kini, kebijakan otonomi khusus itu ditolak, terlebih karena tanpa konsultasi yang memadai dari orang asli Papua,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

“Pemerintah harus memastikan bahwa undang-undang yang baru akan benar-benar melindungi masyarakat adat. Ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah benar-benar melibatkan masyarakat Papua dalam perancangan dan pelaksanaan otonomi khusus. Sebelum itu terjadi, pengesahan RUU itu sebaiknya ditunda.”

“Substansi dalam naskah final RUU Otsus juga bermasalah. Pasal 76 jelas melanggar undang-undang sebelumnya, melemahkan wewenang Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural orang asli Papua dan memperkuat wewenang pemerintah pusat di Papua, termasuk melalui pembentukan badan khusus Otsus yang diketuai Wapres. Ke depan, jaminan perlindungan hak-hak orang asli Papua berpotensi semakin terancam.”

UU Otsus Papua pertama kali disahkan pada tahun 2001 sebagai tanggapan atas seruan untuk penentuan nasib sendiri Papua yang menguat setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Undang-undang itu dimaksudkan untuk memberi orang Papua lebih banyak ruang untuk mengatur diri mereka sendiri sementara masih menjadi bagian dari Indonesia. Salah satu fokus utama dari undang-undang tersebut adalah tentang perlindungan hak-hak orang asli Papua, yakni masyarakat adat. Istilah “masyarakat adat” dan “masyarakat hukum adat” muncul 62 kali dalam teks undang-undang tersebut.

Dalam praktiknya, perlindungan-perlindungan itu tidak berjalan. Pengelolaan sumber daya alam seringkali diabaikan oleh peraturan yang bertentangan. Hal ini dapat dilihat dengan berlanjutnya deforestasi di wilayah tersebut. Menurut data Forest Watch Indonesia, antara tahun 2000 dan 2009, laju deforestasi di Papua sekitar 60.300 hektar per tahun. Antara tahun 2013 dan 2017, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 189.300 hektar per tahun.

Implementasi undang-undang yang tidak konsisten telah mengakibatkan ketidakpuasan yang meluas terhadap otonomi khusus, yang menyebabkan sejumlah protes di Papua dan daerah lain merebak di Indonesia selama setahun terakhir.

Amnesty menyesalkan bahwa protes-protes ini seringkali ditanggapi dengan kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan Indonesia. Amnesty mendesak agar para pelaku diproses hukum sesuai standar peradilan yang adil.

Dalam demonstrasi yang baru terjadi pada tanggal 14 Juli 2021 di Universitas Cendrawasih, Jayapura, ada setidaknya empat mahasiswa yang terluka setelah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan. Setidaknya 23 mahasiswa lainnya ditangkap. Pada pagi 15 Juli, pengunjuk rasa yang melakukan demonstrasi di depan gedung DPR RI dibubarkan oleh aparat, dan setidaknya 40 orang dari massa aksi ditangkap dan dibawa ke kantor Polda Metro Jaya.

Sebelumnya, dalam aksi unjuk rasa lainnya di Universitas Cendrawasih pada September 2020, dua pengunjuk rasa diduga terluka akibat pukulan petugas polisi di bagian belakang kepala dan dada. Dalam demonstrasi lain di Kendari, Sulawesi Tenggara, polisi menggunakan helikopter yang terbang rendah untuk memaksa pengunjuk rasa membubarkan diri.

Bahkan diskusi publik tentang otonomi khusus disambut dengan represi. Ketika Majelis Rakyat Papua (MRP), lembaga negara resmi yang dibentuk oleh undang-undang otonomi khusus, berusaha mengadakan pertemuan publik tentang implementasi otonomi khusus di Merauke pada November 2020, dua anggota MRP dan stafnya ditangkap atas tuduhan makar. Mereka akhirnya dibebaskan tanpa dituntut.

“Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa masyarakat adat Papua diberikan keterlibatan yang berarti dalam undang-undang otonomi khusus,” kata Usman. Pasal 25 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mewajibkan negara agar membuka partisipasi publik, menjamin hak masing-masing warga negaranya untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan atas suatu aturan, langsung maupun melalui wakil yang dipilih. Paragraf 5 Komentar Umum ICCPR Nomor 25 Tahun 1996 lebih lanjut menjelaskan ketentuan ini dengan memperluas partisipasi publik ke ranah pembuatan dan implementasi kebijakan di tingkat internasional, nasional, dan lokal.

“Ini hanya bisa terjadi jika pemerintah menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai untuk semua orang Papua dan berhenti menggunakan pasal makar untuk mengadili pengunjuk rasa damai.”

Setiap individu tanpa kecuali memiliki hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. ICCPR secara eksplisit menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19, yang selanjutnya dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Instrumen ini mengikat semua negara yang telah meratifikasinya, termasuk Indonesia. Merujuk pada Kovenan, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen hak asasi manusia internasional.

Dalam konteks nasional, hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi juga telah dijamin dalam UUD Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Amnesty International tidak mengambil posisi apapun terkait status politik provinsi manapun di Indonesia. Namun, kami menjunjung tinggi prinsip kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk menyuarakan pendapat atau pandangan politik secara damai, selama tidak mengandung kebencian, diskriminasi, atau kekerasan.