Pencambukan di tengah pandemi COVID-19 tidak manusiawi

[TEMPO/STR/Adi Warsidi; ADW2016112804]

Menanggapi pelaksanaan hukuman cambuk terhadap enam orang di Aceh pada hari Selasa, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Hukuman cambuk adalah perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat dan tergolong siksaan. Praktek ini begitu memalukan dan bar-bar sehingga tidak ada satu orang pun yang pantas diperlakukan secara brutal dan dihina seperti ini.”

“Fakta bahwa pencambukan ini dilakukan di depan umum meskipun ada larangan untuk berkerumun di tengah pandemi COVID-19 bisa menjadi ancaman lebih lanjut bagi masyarakat luas.”

“Kami sangat mendesak pihak berwenang untuk segera menghentikan praktek kejam ini dan mencabut segala peraturan yang menerapkan hukuman cambuk agar sejalan dengan ketentuan internasional dan kewajiban hak asasi manusia Indonesia di bawah UUD 1945.”

Latar belakang

Pada hari Selasa 21 April 2020, otoritas Aceh mencambuk empat pria karena mengonsumsi alkohol, dan satu pasangan tanpa status pernikahan yang ditangkap bersama di sebuah kamar hotel. Keempat pria dicambuk empat kali, sementara pasangan itu menerima 24 kali cambukan.

Hukuman cambuk ini dilakukan di tengah perintah jarak sosial dan larangan berkerumun karena COVID-19. Pihak berwenang mengklaim mereka mengikuti persyaratan “jarak sosial” dengan membatasi jumlah peserta yang terlibat.

Menurut laporan media, belasan penonton turut menyaksikan pelaksanaan hukuman ini dan sebagian besar dari mereka yang dicambuk tidak mengenakan masker.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh Amnesty International Indonesia, sejauh ini ada 109 orang yang dicambuk sepanjang tahun 2020 (ada 309 orang di tahun 2019, dan 235 orang di tahun 2018). Pelanggaran yang paling banyak menerima cambukan adalah hubungan seks konsensual di luar pernikahan, berduaan dengan lawan jenis dan berjudi.

Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan Syariah Islam. Qanun jinayat (hukum pidana Islam) di Aceh disahkan oleh DPRA Aceh pada tahun 2014 dan mulai berlaku di seluruh provinsi itu pada tanggal 23 Oktober 2015. Syariah Islam sendiri telah diterapkan di Aceh sejak diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Khusus pada tahun 2001 yang disahkan oleh Pengadilan Agama.

Undang-undang ini, dalam beberapa kasus, menerapkan hingga 200 cambukan sebagai hukuman.

Pelanggaran yang dihukum cambuk termasuk hubungan seks sesama jenis, seks pranikah dan hubungan seksual lainnya di luar pernikahan (“perzinaan” atau zina), konsumsi alkohol, perjudian, berduaan lawan jenis yang bukan pasangan atau kerabat, melakukan keintiman seksual di luar nikah, pelecehan seksual, pemerkosaan, menuduh seseorang berzinah tanpa memiliki empat saksi, dan keintiman di antara pasangan yang belum menikah.

Di bawah hukum hak asasi manusia internasional, semua bentuk hukuman fisik telah dilarang. Pada tahun 2013, Komite Hak Asasi Manusia PBB, yang memantau kepatuhan negara-negara peratifikasi terhadap ICCPR (Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik), meminta Indonesia untuk mengambil langkah-langkah praktis untuk mengakhiri hukuman fisik dan mencabut ketentuan hukum di Aceh yang mengizinkan penggunaan hukuman itu dalam sistem pidana.
Lebih lanjut, hubungan seksual konsensual tidak boleh diperlakukan sebagai pelanggaran pidana, juga bukan merupakan kejahatan terhadap ‘moralitas’.

Komite Hak Asasi Manusia PBB dan sejumlah lembaga ahli di bidang hak asasi manusia lainnya telah mengajukan keprihatinan tentang undang-undang yang mengkriminalkan ‘perzinahan’ atau hubungan seksual konsensual lainnya di luar nikah karena mereka melanggar hak privasi.