Penambangan Blok Wabu akan ‘berakibat bencana’ di tengah represi terhadap OAP

• Pembunuhan di luar hukum, pengerahan pasukan keamanan di sekitar konsesi tambang emas Blok Wabu

• Aparat negara membatasi kehidupan sehari-hari OAP, termasuk potongan rambut

• Kurangnya konsultasi dengan masyarakat yang terkena dampak rencana tambang emas

Pihak berwenang Indonesia harus segera menghentikan rencana untuk menambang Blok Wabu di Papua karena berisiko meningkatkan konflik dan melanggar hak-hak Orang Asli Papua (OAP), kata Amnesty International dalam laporan baru yang dikeluarkan hari ini.

Kabupaten Intan Jaya, lokasi cadangan emas Blok Wabu berada, telah menjadi pusat konflik antara aparat keamanan Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan Papua dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam laporan ini, Amnesty International mendokumentasikan penambahan aparat keamanan dalam jumlah yang mengkhawatirkan di daerah tersebut sejak 2019, dengan 12 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat keamanan, dan bagaimana OAP di sana kerapkali mengalami peningkatan pembatasan kebebasan bergerak, pemukulan dan penangkapan.

Warga Intan Jaya mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka menggunakan area penambangan yang diusulkan untuk membudidayakan tanaman, berburu binatang, dan mengumpulkan kayu.

“Dengan mengabaikan kebutuhan, keinginan, dan tradisi penduduk asli Papua, pengembangan Blok Wabu berisiko memperparah situasi hak asasi manusia yang juga

sudah memburuk,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. “Orang-orang di Intan Jaya hidup di bawah ketakutan terhadap aparat keamanan yang semakin keras dan mengendalikan banyak aspek kehidupan sehari-hari mereka, dan sekarang mata pencaharian mereka berada di bawah ancaman dari proyek yang tidak dipersiapkan dengan baik ini. Sederhananya, Blok Wabu bisa berakibat bencana.”

Dari Maret 2021 hingga Januari 2022, Amnesty International melakukan wawancara jarak jauh dengan 28 orang tentang situasi di Kabupaten Intan Jaya, termasuk penduduk dan otoritas lokal, pembela hak asasi manusia, dan perwakilan dari organisasi masyarakat sipil. Mereka menggambarkan bagaimana bentrokan bersenjata dan pelanggaran hak asasi manusia telah meningkat secara dramatis selama dua tahun terakhir.

Ancaman terhadap cara hidup

Sejak -setidaknya -Februari 2020, ada rencana resmi untuk mengembangkan kegiatan penambangan di Blok Wabu. Terletak di selatan distrik Sugapa, Ibu Kota Kabupaten Intan Jaya, Blok Wabu menganduing sekitar 8,1 juta ons emas, menjadikannya salah satu dari lima cadangan emas terbesar di Indonesia.

Blok Wabu saat ini berada di bawah proses perizinan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia. Menurut dokumen resmi yang diperoleh Amnesty International, area penambangan yang diusulkan meliputi 69.118 hektar – kurang lebih sebesar Jakarta.

Orang Asli Papua mengatakan mereka takut kehilangan tanah dan mata pencaharian serta mengkhawatirkan dampak polusi lingkungan.

“Jika ada penambangan, kami tidak akan memiliki tanah untuk berkebun; Ternak tidak akan mendapatkan buah segar langsung dari hutan, dan bahkan cucu-cucu kami akan kehilangan tanah adat,” kata Lian, seorang laki-laki asli Papua, kepada Amnesty International.

Pada September 2020, seorang pejabat senior Indonesia menyatakan niat pemerintah untuk mengizinkan perusahaan pertambangan milik negara, PT Aneka Tambang Tbk, untuk mengembangkan kegiatan penambangan di Blok Wabu. Dalam surat-surat yang dikirim ke Antam dan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Indonesia pada Februari 2022, Amnesty International memaparkan masalah-masalah hak asasi manusia terkait proyek tersebut dan mengajukan beberapa pertanyaan. Pada saat publikasi, baik pemerintah maupun perusahaan belum merespons.

Walaupun Amnesty International belum menemukan bukti bahwa Antam atau Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terlibat langsung dalam konflik di Intan Jaya, Amnesty khawatir tentang potensi dampak terhadap hak asasi manusia dan terhadap lingkungan dari penambangan di Blok Wabu dalam konteks konflik.

“Pemerintah memiliki kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dengan informasi awal tanpa paksaan dari Orang Asli Papua yang mungkin terdampak oleh tambang. Tetapi dalam iklim kekerasan dan intimidasi, sulit membayangkan bagaimana proses konsultasi seperti itu dapat memenuhi standar internasional,” kata Usman Hamid.

“Langkah pertama adalah memastikan apakah konsultasi penuh dan efektif bahkan dapat dilakukan dalam keadaan yang ada sekarang. Sebelum itu terjadi, Indonesia harus menekan tombol jeda pada rencana penambangan di Blok Wabu.”

Jenazah yang dibakar

Konflik antara kelompok pro-kemerdekaan Papua dan pasukan keamanan Indonesia telah terjadi selama beberapa dekade. Tetapi Kabupaten Intan Jaya muncul sebagai titik konflik baru di Papua setelah Oktober 2019, ketika anggota kelompok pro-kemerdekaan bersenjata membunuh tiga tukang ojek yang mereka tuduh sebagai mata-mata.

Sebagai bagian dari penelitian ini, Amnesty International telah mengidentifikasi 17 pos yang ditempati oleh aparat keamanan di Distrik Sugapa, Ibu Kota Intan Jaya. Menurut wawancara, hanya dua dari 17 pos tersebut yang sudah ada sebelum Oktober 2019. Peningkatan jumlah pasukan keamanan nyatanya disertai dengan peningkatan pembunuhan di luar hukum, penggerebekan, dan pemukulan.

Laporan ini juga mendokumentasikan 12 dugaan pembunuhan di luar hukum yang melibatkan anggota aparat keamanan Indonesia di Intan Jaya pada tahun 2020 dan 2021.

Jumlah tersebut merupakan lebih dari seperempat dari jumlah total pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia di 42 kabupaten dan kota di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dicatat oleh Amnesty International dalam rentang waktu yang sama.

Salah satu dari kasus tersebut adalah kasus dua bersaudara Apianus dan Luter Zanambani, yang jenazahnya dibakar oleh pasukan keamanan setelah mereka ditahan dalam penyisiran yang dilakukan pada April 2020 di distrik Sugapa.

Kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan seringkali terjadi di Papua tetapi akuntabilitas jarang terjadi, seperti yang didokumentasikan oleh Amnesty International dalam laporan 2018 ‘Sudah, kasi tinggal dia mati’.

Orang Asli Papua juga menggambarkan kepada Amnesty International beberapa insiden di mana aparat keamanan memukuli penduduk Intan Jaya.

“Pihak berwenang Indonesia telah lama gagal menyelidiki secara memadai kasus- kasus pembunuhan di luar hukum dan laporan lain tentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat keamanan di Papua,” kata Joanne Mariner, Direktur Program Respons Krisis Amnesty International.

“Menyelidiki kasus-kasus seperti ini dan memastikan pelaku bertanggung jawab adalah kunci untuk menegakkan hak asasi manusia dan mencapai perdamaian di Papua.”

Batasan pada pergerakan, penampilan

Riset Amnesty International juga mengungkapkan bahwa penambahan pasukan dan eskalasi konflik di Intan Jaya disertai pembatasan parah pada kebebasan warga setempat untuk bergerak. Warga mengatakan mereka harus meminta izin dari aparat keamanan Indonesia untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti berkebun, berbelanja, atau mengunjungi desa lain.

Lian berkata: “Ketika kami pergi ke kota untuk berbelanja, kami ditanya ke mana kami pergi, desa mana yang kami tinggali, kami dari mana. Kemudian setelah berbelanja, saat kami akan pulang, barang-barang kami diperiksa. Bahkan tas kami harus diperiksa setiap hari oleh aparat keamanan. “

Menurut sumber Amnesty, aparat keamanan juga membatasi penggunaan perangkat elektronik seperti ponsel dan kamera. Ia juga mengatakan bahwa aparat keamanan Indonesia terkadang menahan mereka karena potongan rambut mereka, yang diasosiakan oleh pihak berwenang dengan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan.

“Orang-orang seperti kami suka memiliki rambut panjang; Ini adalah bagian dari budaya kami, tidak hanya di Papua, tetapi di Melanesia. Saya telah ditanya lebih dari 10 kali tentang rambut dan kumis saya. Mereka menangkap banyak orang karena memiliki rambut panjang dan kumis. Mereka ditanya, dipukul,” kata Gema, seorang warga setempat.

Latar Belakang

Amnesty International tidak mengambil posisi apapun terhadap status politik dari seluruh provinsi Indonesia, termasuk yang berhubungan dengan seruan untuk kemerdekaan. Kami mendokumentasikan segala bentuk pelanggaran HAM dalam segala konteks politik di mana pelanggaran tersebut terjadi.

Catatan untuk editor: * Nama telah diubah untuk alasan keamanan.