Pemerintah sebaiknya mendukung keputusan Komnas HAM terkait Paniai

[TEMPO/Imam Sukamto; IS2015120804]

Menanggapi keputusan Komnas HAM dan pernyataan Kepala Staf Presiden Moeldoko terkait kasus penyerangan Paniai, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid dan Koordinator KontraS Yati Andriyani menyampaikan sikap bersama:

“Kami menyambut keputusan Komnas HAM yang menyatakan kasus Paniai adalah pelanggaran HAM yang berat. Ini membawa kabar baik bagi keluarga korban, bahkan membantu pemerintah karena pada 27 Desember 2014 Presiden Joko Widodo berjanji untuk mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa Paniai sesegera mungkin. Karenanya Pemerintah sebaiknya mendukung Komnas HAM,” kata Usman.

“Laporan Komnas HAM itu bersifat projustisia yang hanya ditujukan kepada Jaksa Agung. Karenanya Jaksa Agung-lah yang paling wajib menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM. Pejabat lain di luar itu sebaiknya tidak berkomentar. Kematian warga Papua di Paniai itu tidak bisa dilihat secara terpisah dari kematian pada kasus lainnya. Dalam laporan Amnesty 2018, kasus Paniai hanyalah 1 dari total 69 kasus pembunuhan tidak sah sejak 2008 hingga awal 2018,” lanjut Usman.

“Tidak ada kewenangan Presiden maupun istana untuk menyatakan sebuah peristiwa sebagai perkara pelanggaran HAM yang berat atau bukan. Sikap yang ditunjukkan oleh Kepala Staf Presiden Moledoko menunjukan sikap anti HAM, anti kritik, bahkan bisa dianggap sebagai sikap pemerintah, termasuk Presiden, yang mendeligitimasi kerja-kerja Komnas HAM yang independen dan dijamin dalam UU Pengadilan HAM,” jelas Yati.

“Amnesty dan KontraS mengakui aparat penegak hukum memiliki hak untuk melindungi diri mereka dan memiliki tugas untuk menjamin keamanan masyarakat. Namun peran tersebut harus dijalankan dengan cara yang menjamin hak atas hidup, kebebasan, dan keamanan semua orang, termasuk mereka yang diduga melakukan kejahatan,” imbuhnya.

Latar belakang

Pada hari Sabtu 15 Februari 2020, Komnas HAM memutuskan bahwa peristiwa penembakan di Paniai, Papua, adalah pelanggaran HAM berat dan memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan karena terbukti terjadi pembunuhan dan penganiayaan yang sistematis terhadap warga sipil.

Peristiwa Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014, di saat Presiden Joko Widodo memulai periode pertama masa pemerintahannya. Presiden Joko Widodo, pasca tewasnya pengunjuk rasa di Paniai Desember 2014 menyatakan: “Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya. Agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Kita ingin sekali lagi Tanah Papua sebagai tanah yang damai.”

Saat itu, Kepala Staf Presiden, Moeldoko, masih menjabat sebagai Panglima TNI. Berdasarkan investigasi Komnas HAM, tragedi penyerangan di Paniai dilakukan oleh prajurit TNI terhadap warga sipil. Ada 4 orang meninggal dunia akibat luka tembak dan tusukan, sementara 21 orang harus dirawat di rumah sakit.

UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mangatur bahwa pelanggaran berat HAM terdiri dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Dalam undang-undang tersebut, Komnas HAM dapat menyelidiki suatu kejadian yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat, dan bila menemukan bukti yang memadai bahwa pelanggaran HAM berat telah terjadi, dapat melimpahkan hasil penyelidikannya ke Kejaksaaan Agung. Kejaksaan Agung dalam undang-undang tersebut kemudian berwenang untuk menyidik kasus tersebut dan kemudian menuntut mereka yang  bertangungjawab untuk diadili ke Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Menurut keterangan pers Komnas HAM 17 Februari 2020, komisi tersebut telah mengirimkan berkas penyelidikan kasus Paniai ke Jaksa Agung pada tanggal 11 Februari 2020.

Penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan diatur oleh banyak instrumen HAM internasional, salah satunya adalah Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Instrumen internasional yang tidak mengikat yang memberikan panduan kepada para penegak hukum mencakup UN Code of Conduct for Law Enforcement Officials [Kode Etik PBB untuk Para Petugas Penegak Hukum] (1979) dan UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials [Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Sejata Api oleh Petugas Penegak Hukum] (1990) yang menyebut bahwa penggunaan kekuatan haruslah dibatasi dengan ketat untuk menjamin perlindungan HAM.