Pemerintah masih belum mengakomodir isu krusial HAM dalam RANHAM 2021-2025

Menanggapi penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Kami menyayangkan bahwa Presiden Joko Widodo tidak memasukkan kembali agenda upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ke dalam Perpres tentang RANHAM.  Pelanggaran HAM berat belum ditangani secara memadai, termasuk pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, pemerkosaan dan kejahatan seksual yang terjadi pada masa lalu.”

“Pada tahun 2017, Indonesia telah ditinjau oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa khususnya melalui sesi ke-27 dari Kelompok Kerja Tinjauan Berkala Universal. Indonesia bahkan telah menerima beberapa rekomendasi, termasuk dalam hal agenda penghapusan hukuman mati. Pemerintah seharusnya menunjukan komitmennya untuk mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi yang diterima tersebut, salah satunya dengan mengagendakan pelaksanaannya dalam RANHAM.”

“Pada Hari HAM Sedunia tahun lalu, Presiden telah menugaskan Menkopolhukam untuk melanjutkan agenda penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kami mengapresiasi pernyataan tersebut. Namun, pernyataan itu belum ada buah kebijakan konkretnya, apalagi sampai ada penyelesaian yang bisa menjadi dasar penghapusan agenda tersebut dari RANHAM terbaru.”

“Tanpa jawaban konkret berupa pembentukan pengadilan ad hoc bagi kasus masa lalu dan pengajuan kasus pelanggaran HAM masa kini ke pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum maka RANHAM ini justru semakin melanggengkan impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM masa lalu.”

“Kami mendesak Presiden dan jajarannya untuk benar-benar mengambil langkah nyata dalam melaksanakan agenda penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu seperti yang sudah sering dia janjikan.”

Latar belakang

Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Perpres No. 53 Tahun 2021 tentang RANHAM pada tanggal 8 Juni 2021.

Dalam Perpres tersebut, disebut bahwa RANHAM periode tahun 2021-2025 akan berfokus pada lima kelompok rentan rentan, yaitu perempuan, anak, penyandang disabilitas dan masyarakat adat. Walaupun isu-isu di dalam RANHAM tersebut sangat penting, akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa Perpres tersebut tidak menyinggung isu lainnya yang juga krusial untuk diselesaikan, seperti pelanggaran HAM berat masa lalu.

Hak korban dan keluarga korban sebuah pelanggaran HAM dilindungi di Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 tahun 2005. Pasal 2 (3a) ICCPR menyatakan kewajiban negara untuk memberikan pemulihan kepada orang-orang yang hak dan kebebasannya telah direnggut olehnya untuk mendapatkan pemulihan efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh individu-individu yang bertindak dalam kapasitas resmi. Sebagai negara pihak ICCPR, pemerintahan Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak korban dan keluarganya ketika haknya sudah diambil.

Prinsip-prinsip Dasar dan Panduan Hak-Hak Pemulihan dan Reparasi Korban (Principle and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation) juga mengatur hak korban untuk mendapatkan reparasi dari negara. Reparasi merujuk pada cakupan yang luas atas langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh negara untuk merespon pelanggaran yang nyata telah terjadi atau untuk mencegahnya, termasuk adanya pengakuan yang jelas bahwa negara mempunyai kewajiban kepada korban, yakni; untuk memungkinkan para korban mendapatkan pemulihan atas penderitaan yang mereka alami dan untuk menyediakan hasil akhir bahwa secara nyata memulihkan penderitaan.

Dalam kerangka hukum nasional, hak korban pelanggaran HAM berat untuk mendapatkan pemulihan dan rehabilitas diatur di UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, PP No. 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban juga telah mengatur bahwa korban pelanggaran HAM berat juga berhak mendapatkan kompensasi, pemulihan dan rehabilitasi.

Negara memiliki tanggung jawab dibawah undang-undang nasional dan juga undang-undang HAM international untuk memastikan bahwa korban pelanggaran HAM berat mendapatkan hak-hak tersebut. Pemulihan hak korban adalah tanggung jawab negara untuk menegakkan supremasi hukum dalam pemerintahannya.