Pembiaran serangan digital ke suara kritis adalah bentuk pembungkaman

Menanggapi percobaan peretasan dan intimidasi digital terhadap aktivis dan warga yang memprotes pemblokiran beberapa website oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Peretasan dan pelecehan digital kembali ditujukan kepada orang-orang yang bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, seakan untuk membuat kita gentar mengungkapkan kritik kita.”

“Kasus-kasus seperti ini sudah terlalu sering terjadi tanpa penyelesaian yang jelas dan tanpa ada pelaku yang diproses secara hukum.”

“Jika pihak berwenang tidak serius menangani kasus ini dan kasus-kasus serupa, sama saja dengan membiarkan dan membenarkan makin maraknya pembungkaman kritik dan pembatasan kebebasan berekspresi.”

“Karena itu kami mendesak pemerintah dan penegak hukum untuk menunjukkan secara nyata komitmen melindungi kebebasan berekspresi sebagaimana yang sering disampaikan dalam pernyataan publik, dan mengusut kasus ini secara transparan, akuntabel dan jelas. Jika ada bukti yang memadai, semua pelaku peretasan dan intimidasi wajib ditangkap, dibawa ke persidangan yang adil dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku.”

“Pemerintah juga seharusnya mendengarkan suara-suara penolakan dari masyarakat mengenai pemberlakuan Permenkominfo yang berpotensi melanggar hak atas informasi dan privasi.”

Latar belakang

Pada 30 Juli malam, sejumlah anggota organisasi masyarakat sipil serta perwakilan masyarakat umum mengadakan diskusi Twitter Space bertajuk #BlokirKominfo untuk menanggapi pemblokiran sejumlah website yang belum terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Eletronik (PSE) dengan Kominfo.

Menurut informasi yang diterima Amnesty, selama dan setelah diskusi Twitter Space tersebut, setidaknya 10 orang mengalami percobaan peretasan dan intimidasi melalui aplikasi pesan di ponsel terkait kampanye #BlokirKominfo.

Menurut catatan Amnesty International, sepanjang 2021 ada setidaknya 26 kasus peretasan atau serangan digital terhadap setidaknya 52 akun pembela HAM, yang terdiri dari aktivis, jurnalis, akademisi, dan mahasiswa .

Hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konsitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Ketidakmampuan pemerintah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, mengidentifkasi, mengadili, menghukum para pelanggarnya, serta ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi para korban atau keluarganya juga merupakan bentuk pelanggaran HAM yang terpisah.