Pembebasan Tahanan Nurani Tidak Sulit, Kebebasan Berekspresi Harus Dilindungi

Merespon sidang lanjutan terhadap tiga tahanan hati nurani (PoC) Maluku pada hari ini di Pengadilan Negeri Ambon, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Ketiganya harus segera dibebaskan. Mereka tidak seharusnya dihukum sejak awal karena hanya menjalankan hak untuk berpendapat, berekspresi dan berkumpul secara damai.”

“Melihat catatan sejarah, seharusnya tidak sulit bagi Presiden Jokowi untuk memberikan amnesti kepada mereka, mengingat mereka jelas-jelas tidak melakukan tindak kriminal.”

“Namun, kriminalisasi terhadap mereka yang menggunakan haknya untuk berpendapat, seperti tiga orang ini, akan tetap sulit untuk dihentikan selama pasal makar di KUHP masih diterapkan di luar ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005.”

“Maka dari itu, pemerintah bersama dengan DPR RI harus mengamandemen atau mencabut ketentuan tersebut, agar tidak bisa lagi digunakan untuk mempidanakan kebebasan berekspresi.”

Latar belakang

Pada tanggal 16 September 2020, tiga tahanan hati nurani (PoC) Maluku, yaitu Jannies Pattiasina, Agustinus Amos Matatula, dan Dominggus Saiya, menjalani sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli, di Pengadilan Negeri Ambon. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menjadi saksi ahli dalam persidangan ini.

Mereka ditangkap pada 25 April 2020 dan dijerat dengan tuduhan makar dalam Pasal 106 KUHP jo. pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHP, pasal 110 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke -1 KUHP, dan pasal 160 jo 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pembebasan tahanan nurani atau tahanan politik bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Di tahun 1959 misalnya, Presiden Soekarno membebaskan orang-orang yang terlibat pemberontakan Daud Bereueh di Aceh dan pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Lalu Presiden Soeharto di tahun 1977 memberi amnesti dan abolisi bagi anggota Fretilin Timor Timur.

Pada tahun 1998, Presiden Habibie memberikan amnesti kepada lima orang yang terkait isu separatisme di Timor Timur, Aceh dan Papua. Setahun berikutnya, Presiden Abdurrahman Wahid memberikan amnesti bagi setidaknya 95 tahanan politik Timor Timur dan mereka yang dihukum untuk Tragedi 1965.

Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat Gerakan Aceh Merdeka. Bahkan Presiden Jokowi sendiri juga pernah memberikan pengampunan kepada lima tahanan nurani Papua di tahun 2015, dalam bentuk grasi.

Otoritas Indonesia kerap menerapkan pasal “makar”, dengan pengertian yang terlalu umum dan kabur sehingga tidak lagi sesuai tujuan awal dari pasal tersebut. Perlu diingat bahwa definisi “makar” masih diperdebatkan di kalangan akademisi hukum di Indonesia. Kata “makar” secara harfiah berarti perbuatan atau usaha yang menggunakan tipu daya, sehingga banyak yang memadankan kata “makar” dengan “treason” atau pengkhianatan. Beberapa ahli menyatakan bahwa ‘makar’ dalam pasal 106 merupakan terjemahan dari kata “aanslag,” yang berarti “serangan” dengan makna serangan fisik (dan sehingga bukan protes damai) untuk tujuan yang digambarkan dalam pasal tersebut.

Amnesty menilai penerapan ketentuan makar yang terlalu luas akan berpotensi membatasi kebebasan berpendapat, berekspresi, berkumpul, dan berserikat sesuai dengan ketentuan yang diizinkan dalam hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005.

Setiap individu tanpa terkecuali berhak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. ICCPR secara tegas telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ICCPR, serta dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia. Merujuk Kovenan tersebut, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional.

Amnesty International tidak mengambil sikap apapun terkait status politik dari provinsi manapun di Indonesia. Meski demikian, kami memegang teguh prinsip kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk menyuarakan kemerdekaan atau gagasan politik apapun yang dilakukan secara damai yang tidak mengandung kebencian, diskriminasi serta kekerasan.

Pada pertengahan Agustus 2020, bertepatan dengan momen perayaan HUT RI, Amnesty bersama sejumlah tokoh nasional mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta pembebasan semua tahanan nurani, termasuk mereka yang berasal dari Maluku.