Pastikan OAP bisa berpartisipasi secara bermakna dalam kebijakan soal Papua

Pemerintah pusat harus memastikan adanya partisipasi bermakna dari orang asli Papua (OAP) dalam kebijakan-kebijakan yang memengaruhi kehidupan mereka, kata Amnesty International Indonesia seusai pertemuan dengan Gubernur Papua Lukas Enembe dan dengan perwakilan masyarakat Dogiyai secara terpisah di Jakarta hari ini.

“Pemerintah pusat terlihat belum melaksanakan kewajibannya untuk melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat adat di Papua,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

“Dalam pembentukan daerah otonomi baru (DOB) misalnya, pemerintah tidak mendengarkan apalagi berkonsultasi dengan mereka yang terdampak oleh kebijakan ini. Padahal dalam hukum internasional jelas diatur bahwa masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik, termasuk masyarakat adat.”

Amnesty menyerahkan laporan ‘Perburuan Emas’: Rencana Penambangan Blok Wabu Berisiko Memperparah Pelanggaran HAM di Papua, yang sebelumnya dirilis pada 21 Maret lalu, secara langsung kepada Gubernur Papua.

Dalam laporan tersebut, Amnesty International mendokumentasikan bagaimana telah terjadi pertambahan jumlah aparat keamanan yang mengkhawatirkan di Kabupaten Intan Jaya sejak 2019. Ada setidaknya 8 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum dengan 12 korban jiwa yang melibatkan aparat keamanan, dan bagaimana Orang Asli Papua (OAP) di sana mengalami peningkatan pembatasan kebebasan bergerak serta pemukulan dan penangkapan yang rutin. 

“Karena itu Amnesty ingin menekankan sekali lagi bahwa rencana penambangan itu harus dihentikan sementara. Setidaknya pemerintah harus melakukan tiga hal terlebih dahulu. Pertama, menginformasikan kepada masyarakat adat pemilik tanah ulayat untuk memberitahukan rencana penambangan tersebut, sejak dini pada tahap persiapan, termasuk juga dampak-dampaknya,” kata Usman.

 “Yang kedua adalah selain menginformasikan tentang rencana penambangan dan dampaknya, pemerintah juga punya kewajiban untuk mengkonsultasikan dan meminta pendapat dari Orang Asli Papua, khususnya mereka yang terdampak,  mengenai rencana tersebut. Ketiga adalah meminta persetujuan dari Orang Asli Papua terdampak terkait rencana penambangan emas di blok Wabu.”

Gubernur Papua Lukas Enembe menyatakan menyambut baik hasil laporan Amnesty. “Saya juga sudah mengirim surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk menghentikan sementara proses perizinan penambangan di wilayah Blok Wabu karena situasi keamanan di Intan Jaya tidak kondusif,” kata Lukas.

Lukas juga menceritakan bahwa dia sudah beberapa kali menyampaikan kepada Presiden dan pemerintah pusat tentang pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua dan bagaimana hak-hak masyarakat adat Papua masih diabaikan. 

Di hari yang sama, perwakilan masyarakat Dogiyai juga mengunjungi kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta untuk menyampaikan aspirasi mereka terkait pembentukan Polres dan Kodim baru di Kabupaten Dogiyai. Menurut mereka pembentukan Polres dan Kodim baru sama sekali tidak memiliki urgensi karena tingkat kriminalitas yang dianggap rendah. 

“Masyarakat Dogiyai khawatir bahwa pembentukan Polres dan Kodim baru akan berujung perampasan tanah masyarakat adat,” kata Maria Goo, tokoh perempuan Dogiyai dari Solidaritas Rakyat Papua.

Maria mengatakan bahwa kepemilikan tanah seluruhnya merupakan wilayah tanah adat yang tidak pernah diserahkan warga kepada pihak Kepolisian untuk kepentingan pembentukan Polres di Dogiyai.

“Pembentukan Polres dan Kodim baru secara sepihak ini, yang dilakukan tanpa sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat adat Doyigai juga bentuk pelanggaran hak masyarakat adat untuk memberikan persetujuan atas dasar informasi, awal, dan tanpa paksaan (PADIATAPA) terkait tanah mereka,” kata Usman.

Mengenang Buya dengan menghormati hak OAP

Hari ini, Amnesty International Indonesia juga turut berduka atas meninggalnya Buya Ahmad Syafii Maarif, seorang tokoh nasional yang selalu mengedepankan kemanusiaan, kebangsaan, dan anti-kekerasan. 

Buya Syafii pernah mengingatkan, jika pemerintah pusat ingin berhasil mencegah upaya pihak-pihak di Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, maka pemimpin pemerintah pusat harus mengutamakan kearifan dan kebijaksanaan, bukan kekerasan. “Harus dicegah dengan cara yang arif dan bijaksana, sehingga Papua dan Papua Barat kembali tentram di dalam Republik Indonesia,” kata Buya kepada media tahun 2019 lalu.

Pemikiran Buya masih relevan jika diterapkan dalam konteks Papua saat ini di mana pelanggaran hak asasi manusia masih terus terjadi, salah satunya pembunuhan di luar hukum. Menurut data pemantauan Amnesty International Indonesia, per akhir April 2022 ada setidaknya dua kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yg melibatkan aparat keamanan di Papua, dengan total tiga korban. Sebelumnya, sepanjang 2021, ada setidaknya 11 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan dengan total 15 korban. 

“Buya mengajarkan kepada kita bahwa kekerasan tidak akan pernah menjadi solusi dari perbedaan pandangan. Melihat kondisi Papua saat ini, pemerintah Indonesia harus segera mengindahkan suara orang asli Papua secara bermakna. Indonesia lagi-lagi kehilangan sosok yang peduli HAM seperti Buya,” tambah Usman.