Pastikan insentif tenaga kesehatan dibayar secara penuh dan tepat waktu

Di tengah situasi pandemi COVID-19, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memastikan tenaga kesehatan garda terdepan menerima pembayaran insentif yang dijanjikan secara tepat waktu dan penuh, kata Amnesty International Indonesia hari ini.

“Tenaga kesehatan adalah salah satu kelompok yang paling terdampak selama pandemi, terutama baru-baru ini saat lonjakan kasus terjadi di seluruh Indonesia,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena. Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), setidaknya 545 dokter dan 445 perawat telah meninggal karena COVID-19 per 18 Juli 2021, dengan 114 di antaranya terjadi pada bulan Juli saja.

“Penunggakan yang terus terjadi dalam pembayaran insentif yang dijanjikan kepada para tenaga kesehatan, yang sering bekerja tanpa istirahat karena adanya kekurangan staf, tidak dapat diterima dan mencerminkan pengabaian pemerintah terhadap kelompok pekerja esensial ini dan kesehatan masyarakat pada umumnya,” kata Wirya.

“Kami mendesak pemerintah pusat, serta pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kota, untuk memastikan pembayaran insentif yang dijanjikan kepada petugas kesehatan secara tepat waktu. Tenaga kesehatan yang berbicara tentang pembayaran yang tertunda juga harus dilindungi dan didengarkan, bukan diintimidasi.”

Pembayaran yang tertunda dan tidak memadai di seluruh negeri

Menyusul lonjakan pertama kasus COVID-19 di tanah air, pemerintah Indonesia memberlakukan beberapa peraturan dan kebijakan untuk memberikan insentif bagi tenaga kesehatan yang merawat pasien COVID-19.[1]

Namun, implementasi peraturan dan kebijakan tersebut tidak berjalan dengan lancar. Menurut pantauan Amnesty International Indonesia, setidaknya 21.424 tenaga kesehatan di 21 provinsi mengalami penundaan atau bahkan pemotongan pembayaran insentif sejak Juni 2020, saat pembayaran pertama kali disahkan. Amnesty memperoleh data ini dengan mengkonfirmasi laporan media dan laporan yang diterima oleh inisiatif data independen LaporCovid-19 dengan IDI cabang daerah, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan asosiasi profesional medis lainnya.

Di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, misalnya, hingga 21 Juli 2021, setidaknya 2.900 tenaga kesehatan belum menerima insentif sejak Januari 2021, sedangkan di Kendari, Sulawesi Selatan, 327 tenaga kesehatan di 15 puskesmas dan 27 rumah sakit belum menerima insentif sejak September 2020.

Beberapa organisasi lain telah melaporkan temuan serupa. Survei yang dilakukan oleh LaporCovid-19 dari 8 Januari hingga 5 Februari 2021 menemukan bahwa 2.754 dari 3.689 tenaga kesehatan yang disurvei – sekitar 75% – mengatakan tidak menerima insentif sama sekali. Sekitar 6% dari responden yang mengatakan telah menerima insentif melaporkan bahwa mereka mengalami masalah seperti keterlambatan, pemotongan, dan salah perhitungan.[2]

Menanggapi beberapa masalah, Kementerian Kesehatan juga mengeluarkan Peraturan No. 4239/202, yang bertujuan untuk memastikan bahwa pembayaran insentif ditransfer ke rekening bank milik tenaga kesehatan secara langsung.[3] Namun, data yang dihimpun LaporCovid-19 dari April hingga Mei 2021 masih mengungkap 84 pengaduan tambahan dari tenaga kesehatan di berbagai daerah di Indonesia tentang insentif yang belum dibayar.

Skala permasalahan yang masih berlanjut tergambar dari fakta bahwa pada 20 Juni 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan hanya 5,7% dari total anggaran Rp 7,6 triliun (sekitar US$527,5 juta) untuk tenaga kesehatan yang telah dicairkan per 12 Juni 2021[4]. Meski beberapa daerah kini mulai mempercepat penyaluran insentif, Sri Mulyani mengatakan pencairannya belum mencapai 20 persen dari total anggaran yang dialokasikan hingga pertengahan tahun ini.[5]

Menjunjung tinggi kewajiban hak asasi manusia sesuai internasional

Pemberian pembayaran insentif yang tepat waktu dan memadai merupakan salah satu cara untuk memenuhi hak tenaga kesehatan atas kondisi kerja yang adil dan mendukung yang harus mencakup “gaji yang adil dan upah yang setara untuk pekerjaan dengan nilai setara tanpa perbedaan apa pun” sebagaimana diatur dalam Article 7a Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Komite PBB yang memantau pelaksanaan perjanjian menjelaskan dalam Komentar Umum pada Artikel 7 bahwa upah tidak hanya mengacu pada gaji tetapi juga termasuk “tunjangan langsung atau tidak langsung tambahan dalam bentuk tunai atau barang yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pekerja yang seharusnya dalam jumlah yang wajar”. Komentar Umum lebih lanjut menguraikan bahwa “upah yang wajar tidak statis, karena tergantung pada serangkaian kriteria objektif yang tidak lengkap, yang mencerminkan … dampak pekerjaan terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja, kesulitan khusus terkait terhadap pekerjaan dan dampaknya terhadap kehidupan pribadi dan keluarga pekerja.”[6]

Bagi sebagian tenaga medis, seperti yang menjadi relawan di Wisma Atlet Darurat Rumah Sakit Covid-19 Kemayoran, Jakarta, insentif ini menjadi satu-satunya sumber penghasilan yang mereka dapatkan dari pekerjaan mereka sebagai relawan. Bagi banyak pekerja kesehatan lain di seluruh negeri, insentif merupakan sumber pendapatan tambahan yang penting karena banyak rumah sakit telah memotong upah karena pendapatan yang lebih rendah selama pandemi.[7][8]

Masalah data dan ketidakteraturan distribusi

Amnesty telah mengidentifikasi beberapa alasan penundaan pembayaran insentif, yang paling menonjol di antaranya adalah inkonsistensi data dan hambatan birokrasi[9]. F, seorang relawan LaporCovid-19, mengatakan kepada Amnesty pada tanggal 7 Juni 2021 bahwa, dalam banyak kasus, untuk memastikan data mereka tercatat dengan baik, petugas kesehatan harus datang langsung ke kantor Kementerian Kesehatan di Jakarta, yang menghambat akses ke sekitar 1,4 juta orang. Tenaga kesehatan yang berdomisili di luar ibu kota termasuk sekitar 768.000 tenaga kesehatan yang berdomisili di luar pulau Jawa.[10]

“Kami mendapat laporan mengenai nakes yang mengalami keterlambatan karena datanya salah, dia coba perbaiki, testimoninya memang petugasnya ramah dan baik,” kata F. “Tapi bayangkan berapa nakes di Indonesia, [harus ke Jakarta] hanya untuk perbaiki data, belum tentu juga insentifnya langsung cair. Mereka kesulitan juga, ke RS rentan karena mereka pekerja, ke Menkes juga terbatas aksesnya.”

LaporCovid-19 juga menemukan bahwa ketika tenaga kesehatan menerima insentif mereka, pembayarannya terkadang banyak pemotongan[11] yang dilakukan oleh rumah sakit yang mempekerjakan mereka tanpa penjelasan yang memadai.

Ketua Umum DPP PPNI, Dr. Harif Fadhillah, S.Kep, S.H., M.Kep, M.H mengatakan kepada Amnesty pada bulan Maret 2021 bahwa dirinya turut menerima laporan bahwa insentif yang ditawarkan kepada tenaga kesehatan perorangan terkadang dikurangi sehingga semua tenaga kesehatan di rumah sakit dapat ditanggung. Sebab, pemerintah hanya memberikan insentif bagi tenaga kesehatan yang langsung bekerja di unit penanganan COVID-19 rumah sakit. Padahal, kenyataannya seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut, khususnya perawat, fokus pada penanganan COVID-19.

Intimidasi dan ancaman terhadap mereka yang berbicara

Situasi ini diperparah dengan fakta bahwa beberapa tenaga kesehatan yang angkat bicara soal keterlambatan pembayaran menjadi korban intimidasi dan ancaman.

Kasus yang paling menonjol terjadi di Wisma Atlet Darurat Rumah Sakit Covid-19 Kemayoran, Jakarta. LaporCovid-19 melaporkan, hingga awal Mei 2021, setidaknya 500 tenaga kesehatan – sekitar 75% dari seluruh pekerja – di Wisma Atlet belum menerima pembayaran insentif sejak Desember 2020.[12]

Pada Mei 2021, beberapa petugas kesehatan di Wisma Atlet berencana untuk merilis pernyataan di hadapan pers yang merinci penundaan insentif, namun rencana tersebut terpaksa dibatalkan setelah diduga diintimidasi oleh aparat militer dan polisi.

Salah satu petugas kesehatan, Fitri*, mengatakan kepada Amnesty pada tanggal 3 Juni 2021 bahwa ia diinterogasi oleh aparat karena diduga melanggar kode etik institusi dengan melakukan survei pembayaran insentif di antara sesama petugas kesehatan dan berencana mengadakan konferensi pers. Menurut keterangannya, ia diinterogasi di sebuah ruangan di mana dia dikelilingi oleh setidaknya 15 personel militer dan juga polisi.

“Saya dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan pembatalan siaran pers. Awalnya saya menolak, tapi karena terlalu banyak tekanan, mereka ngomong semua dan TNI/Polri, aku terpaksa menandatangani surat itu,” katanya. “Kemudian ada juga surat permintaan maaf ke RSDC karena menurunkan kredibilitas pimpinan. Saya sempat adu mulut dengan polisi karena saya merasa gak salah, buat apa minta maaf? Aku dibentak-bentak, mereka merasa saya harus ikut mereka.”

Intimidasi yang dialami Fitri di Wisma Atlet bukanlah satu-satunya kejadian yang pernah terjadi. A, seorang relawan LaporCovid-19, mengatakan kepada Amnesty pada tanggal 7 Juni 2021 bahwa relawan organisasi tersebut sering menerima ancaman serupa ketika mencoba menindaklanjuti laporan pembayaran insentif yang tertunda dengan lembaga kesehatan daerah.

“Ada satu kejadian, nakes melaporkan ada satu puskesmas yang tidak mendapatkan insentif,” katanya. “Kita coba kontak dinas kesehatannya, tetapi alih-alih mendengarkan masukan, mereka justru mengancam tim kami untuk dilacak, ditantang balik..”

Pihak berwenang Indonesia harus melindungi hak pekerja kesehatan untuk kebebasan berbicara, terutama ketika membuat komentar publik tentang gaji dan kondisi kerja mereka seperti pembayaran insentif yang tertunda. Kebebasan berekspresi adalah hak yang sangat penting bagi pekerja dan esensial bagi masyarakat mana pun. Hak atas kebebasan berekspresi semua orang Indonesia dilindungi oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), sebuah perjanjian yang telah diratifikasi Indonesia.

Selanjutnya, hak pekerja kesehatan untuk secara kolektif membela kepentingan bersama dilindungi oleh kebebasan berserikat dalam Pasal 22 ICCPR serta Pasal 8 ICESCR. Dalam kasus Wisma Atlet, relawan mencoba menggunakan hak ini secara damai dengan mengadakan pertemuan dan konferensi pers. Tanggapan pihak berwenang dengan mengintimidasi dan mengancam para petugas kesehatan ini melanggar hak-hak dasar mereka.

Lindungi tenaga kesehatan untuk melindungi semua orang

Menjamin hak atas kondisi kerja yang adil dan mendukung bagi tenaga kesehatan tidak hanya akan memenuhi hak tenaga kesehatan sebagai individu tetapi juga meningkatkan kualitas sektor kesehatan secara keseluruhan.

Dengan populasi lebih dari 270 juta, Indonesia hanya memiliki 0,4 dokter dan 2,91 perawat per 1.000 orang, menurut data yang dirilis oleh Bank Dunia pada 2019 – angka terendah kedua untuk kategori ini di seluruh Asia Tenggara.[13] Jika hak-hak tenaga kesehatan Indonesia tidak dilindungi, angka-angka ini dapat menyusut lebih jauh karena tenaga kesehatan yang meninggalkan profesinya sementara calon nakes menjadi enggan bergabung. Dengan demikian, memastikan pembayaran insentif yang cepat dan dalam jumlah penuh kepada petugas kesehatan adalah bagian penting dalam menjamin semua masyarakat di Indonesia dapat menikmati hak mereka atas kesehatan dengan standar setinggi mungkin berdasarkan Pasal 12 ICESCR.

“Petugas kesehatan berada di garda terdepan dalam pandemi ini dan jika hak-hak mereka tidak terpenuhi dan dilindungi, maka semua hak kita terancam,” kata Wirya. “Memastikan bahwa mereka mendapat kompensasi yang memadai dan memiliki sarana untuk menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka sangat penting tidak hanya untuk hak-hak mereka tetapi demi kesehatan masyarakat.”

*Beberapa nama telah diubah untuk melindungi identitas.


Tenaga kesehatan (nakes) adalah aset penting bagi sistem kesehatan kita. Pemenuhan hak tenaga kesehatan sangat menjamin keberlangsungan pelayanan kesehatan.

Ingin melaporkan kondisi hak anda yang dilanggar dengan aman? Ingin membantu pemenuhan hak tenaga kesehatan? SOSNakes.id siap membantu.

SOSNakes.id adalah ruang aman bagi tenaga kesehatan untuk melaporkan pelanggaran hak yang mereka alami. Tenaga kesehatan tak perlu khawatir atas persekusi.

Follow akun @sosnakes.id dan kunjungi web di https://sosnakes.id untuk lapor. Ayo kawal hak tenaga kesehatan, karena nakes selamat kita sehat!


[1] Berdasarkan on Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/392/2020; jumlahnya dirinci di Surat Menteri Keuangan tanggal 24 Maret 2020, No. S-239/MK.02/2020.

[2] https://laporcovid19.org/post/siaran-pers-perlunya-perbaikan-tata-kelola-penyaluran-insentif-dan-santunan-kematian-bagi-tenaga-kesehatan

[3] https://fokus.tempo.co/read/1462908/menanti-insentif-tenaga-kesehatan-hingga-lebaran-tiba/full&view=ok

[4] https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210621000619-78-656997/menkeu-pencairan-insentif-nakes-daerah-baru-57-persen

[5] Ibid.

[6] https://www.escr-net.org/resources/general-comment-no-23-2016-right-just-and-favorable-conditions-work

[7] https://www.thejakartapost.com/news/2020/05/21/bonuses-slashed-pay-cut-indonesian-nurses-fight-pandemic-financial-hardships.html

[8] https://tirto.id/bayang-bayang-pemotongan-upah-nakes-yang-kerja-berlebih-dan-lelah-f9Zx

[9] https://kabar24.bisnis.com/read/20210420/15/1383847/insentif-nakes-2021-belum-cair-penuh-kemenkes-beri-penjelasan

[10] https://bppsdmk.kemkes.go.id/info_sdmk/info/

[11] https://laporcovid19.org/post/pemenuhan-hak-insentif-dan-perlindungan-tenaga-kesehatan

[12] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210219124213-20-608332/laporcovid-19-temukan-75-persen-nakes-belum-dapat-insentif

[13] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/04/02/rasio-dokter-indonesia-terendah-kedua-di-asia-tenggara