Negara jangan lalai menulis ulang sejarah dan mengusut tragedi kemanusiaan

Para pemimpin negara harus terus diingatkan untuk tidak lalai menulis ulang sejarah sekaligus mengungkap kebenaran dan menegakkan keadilan atas berbagai tragedi kemanusiaan, termasuk kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu. Desakan ini penting untuk terus disuarakan publik demi mencegah terulangnya kasus-kasus serupa di masa mendatang.

Demikian pesan yang muncul dalam Diskusi Publik bertema “Penulisan Ulang Sejarah, Kebenaran, dan Keadilan atas Tragedi Kemanusiaan” di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Tadulako (Untad), Kota Palu, Senin (18/9). Diskusi ini melibatkan akademisi, mahasiswa, aktivis, dan perwakilan organisasi masyarakat sipil serta publik di Kota Palu.

Tragedi kemanusiaan masih terjadi hingga kini, kata Zaky Yamani, koordinator kampanye Amnesty International Indonesia. Salah satu peristiwa terkini adalah kekerasan aparat keamanan atas warga sipil yang terancam oleh proyek strategis nasional di Pulau Rempang Galang, Batam.

“Ini akibat budaya impunitas yang terus dibiarkan negara dalam tragedi-tragedi kemanusiaan di masa lalu, sehingga aparat keamanan, mulai dari tingkat pimpinan hingga petugas di lapangan, merasa di atas angin untuk berbuat sewenang-wenang dengan mengabaikan hak-hak warga sipil. Ini tidak boleh terus dibiarkan,” ujar lanjut Zaky yang menjadi pembicara dalam diskusi publik tersebut.

Menurutnya, dialog publik di Kota Palu ini membuka ruang bagi berbagai elemen, termasuk para mahasiswa, untuk mendukung desakan agar negara berkomitmen menegakkan HAM, termasuk melakukan klarifikasi sejarah dan menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus-kasus yang tidak masuk dalam pengakuan negara.

Sejarawan Muhammad Fauzi mengingatkan bahwa pada 29 Agustus 2023, koalisi yang terdiri dari para sejarawan, pendidik, akademisi, pegiat seni dan budaya, aktivis, dan elemen masyarakat sipil lainnya, mendeklarasikan desakan penulisan ulang sejarah kepada pemerintah Republik Indonesia. “Deklarasi ini menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengklarifikasi berbagai tragedi kemanusiaan sejak 1965 hingga kini di masa reformasi sebagai salah satu langkah menegakkan HAM,” kata Fauzi, yang juga tampil sebagai pembicara.

Menurut Fauzi, walaupun Presiden Joko Widodo telah mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk memulai proses penyelesaian non-yudisial, berbagai komunitas korban dan penyintas pelanggaran HAM yang berat merasa komitmen pemerintah untuk menuntaskan beragam kasus kekerasan masih kurang memadai. “Mereka juga kerap mempertanyakan mengapa tidak ada pengungkapan kebenaran, mengapa tidak ada pernyataan maaf, dan mengapa tidak ada kejelasan untuk menegakkan keadilan,” lanjut Fauzi.

Masih banyak kasus besar pelanggaran HAM berat masa lalu yang luput dari pengakuan negara. Salah satu kasus yang tidak diakui adalah pembunuhan terhadap pembela HAM, Munir Said Thalib, pada 7 September 2004.

Sementara itu, Rektor Universitas Tadulako Palu, Prof. Amar, mengatakan sejarah dapat dijadikan pembelajaran dari masa lalu, sehingga tidak terulang sejarah kelam bagi sebuah bangsa. “Dengan memahami dan menghargai sejarahnya, sebuah bangsa dapat tumbuh dan berkembang dengan lebih baik, menghindari kesalahan masa lalu, dan membangun masa depan yang lebih cerah,” ujar rektor Untad saat memberi sambutan di acara diskusi.

Rektor juga menekankan bahwa penelitian mengenai sejarah perlu dilakukan sebagai upaya untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya, sekaligus menghormati hak individu dan transparansi. “Kebenaran merupakan pondasi yang dibutuhkan untuk menciptakan sistem hukum yang adil dan menghindari penindasan. Dengan adanya kebenaran yang obyektif, akan membuka wujud keadilan di kalangan masyarakat. ” lanjut rektor.

Direktur Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah, Nurlaela Lamasitudju, mengatakan dipilihnya Palu sebagai lokasi penyelenggaraan diskusi publik “Penulisan Ulang Sejarah, Kebenaran, dan Keadilan atas Tragedi Kemanusiaan” mengingat kota ini memiliki komitmen kuat dalam penegakan dan penghormatan HAM.

“Sebagai kota yang pernah perangkat pemerintahnya pernah bertekad menjadikan Palu sebagai Kota Sadar HAM di 2014 dan meminta maaf kepada korban dan penyintas Tragedi 1965, Palu merupakan teladan yang dapat menginspirasi daerah-daerah lain dan pemerintah pusat untuk melahirkan kebijakan pro-kemanusiaan,” kata Nurlaela.

“Kami berharap diskusi publik seperti ini tidak hanya berlangsung di Palu, namun juga di kota-kota lain demi membantu masyarakat di seluruh Indonesia untuk memiliki pemahaman yang lebih akurat tentang masa lalu bangsa ini dan menghindari perulangan tragedi-tragedi yang sama.” (*)