Menyidang pengibar bendera bintang kejora melanggar HAM

[TEMPO/Subekti; SB2019082803]

Merespon putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap eksepsi yang disampaikan oleh enam terdakwa kasus makar berupa pengibaran bendera bintang kejora, kemarin, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Menyidangkan seseorang di pengadilan hanya karena dia mengekspresikan pandangannya di muka umum secara damai itu melanggar hak asasi manusia yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi Indonesia .”

“Pihak berwenang harus bisa membedakan antara mereka yang mengekspresikan pandangan kemerdekaan secara damai dan mereka yang mengkespresikan hak serupa dengan kekerasan. Ekspresi mereka adalah bagian dari kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat yang sah dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

“Penolakan eksepsi keenam terdakwa dan dilanjutkannya pemidanaan keenam orang ini karena menerapkan hak atas kemerdekaan untuk berkumpul dan berekspresi secara damai mengecewakan, karena ternyata pengadilan tidak mampu menghentikan ketidakadilan ini sebelum berlanjut lebih jauh lagi.”

“Amnesty tidak mengambil posisi apapun terhadap status politik daerah manapun di Indonesia, termasuk tuntutan penentuan nasib sendiri. Namun, kami menganggap kemerdekaan untuk berekspresi itu mencakup hak untuk mengadvokasi segala solusi politik lain yang disampaikan secara damai dan tidak melibatkan hasutan untuk diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.”

“Di era Habibie, Indonesia membebaskan para tahanan politik yang terlibat unjuk rasa pro-kemerdekaan Timor-Timur. Di era Gus Dur, Indonesia membolehkan orang Papua untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora. Bahkan Presiden Jokowi sendiri pernah membebaskan 5 tahanan politik dari Papua di tahun 2015. Langkah seperti itu yang seharusnya diteruskan oleh Indonesia.”

Latar belakang

Pada 27 Januari 2020, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan sela terhadap enam terdakwa kasus dugaan makar. Hakim menolak eksepsi enam terdakwa yakni Paulus Surya Anta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Dano (Anes) Tabuni, dan Arina Lokbere alias Wenebita Gwijangge. Hakim menilai dakwaan jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah sesuai aturan hukum.

Keenam orang itu didakwa melanggar Pasal 106 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 110 ayat (1) KUHP karena melakukan perbuatan makar dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora saat berunjuk rasa di depan Istana Negara dan Mabes TNI AD Jakarta, Agustus 2019 lalu.

Hukum Indonesia mengatur tentang perbuatan makar dengan ancaman pidana seumur hidup atau maksimal 20 tahun. Selama satu dekade terakhir, aktivitas pro-kemerdekaan di Papua meningkat. Pendekatan represif seringkali digunakan dalam menangani para aktivis ini, seperti larangan terhadap protes damai, penangkapan massal, dan penuntutan pidana berdasarkan pasal-pasal makar dalam KUHP.

Pihak berwenang di Indonesia harus memastikan bahwa segala pembatasan pada hak atas berekspresi dan berkumpul secara damai sejalan dengan kewajiban Indonesia mematuhi hukum hak asasi manusia internasional, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2005.