Menkopolhukam Harus Luruskan Pernyataan Keadilan Restoratif Yang Merendahkan Hak-hak Korban

Menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkopolhukam) Mahfud MD bahwa pemerkosa tidak harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk menjalani proses hukum, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Pernyataan Menkopolhukam itu mencederai rasa keadilan korban dan meremehkan kasus pemerkosaan. Yang perlu dipahami, keadilan restoratif itu fokus untuk mengembalikan harkat dan martabat korban. Jadi bukan malah merendahkan korban. Itu jelas akan merugikan hak-hak mereka.”

“Dan yang harus diingat, hukum itu untuk memberi keadilan, bukan menyepelekan apa yang dialami korban kejahatan. Kami menilai pernyataan Menkopolhukam itu berlawanan dengan semangat mengakhiri kekerasan seksual. Tidak berpihak kepada korban yang selama ini merasa terintimidasi karena relasi sosial atau relasi kekuasaan yang timpang dengan si pelaku.”

“Pernyataan itu berpotensi melanggengkan budaya ketiadaan hukuman atau impunitas pelaku kekerasan seksual. Karena itu, kami mendesak Menkopolhukam untuk segera meluruskan. Jika perlu meminta maaf secara terbuka kepada korban pemerkosaan dan masyarakat serta mendukung pengesahan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.”

Latar belakang

Pada hari Selasa 16 Februari 2021, Menkopolhukam Mahfud MD mengutip kasus pemerkosaan untuk membicarakan restorative justice di depan Rapat Pimpinan Polri.

Dalam kesempatan itu, Mahfud MD mengatakan bahwa berbagai perkara hukum yang ringan cukup diselesaikan dengan musyawarah. Ia lantas mencontohkan pemerkosaan dan menyebut pendekatan restorative justice tidak bicara bahwa si pemerkosa harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk menjalani proses hukum.

Mahfud merujuk restorative justice bertujuan membangun harmoni agar antara keluarga korban dan pemerkosa serta masyarakat tidak gaduh.

Pemerkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan seksual di dalam RUU PKS yang telah diusulkan sejak tahun 2016 dan hingga saat ini belum disahkan. Data Komnas Perempuan di tahun 2020 menyebut, kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual, di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir.

Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1993 menyebutkan bahwa negara harus tidak menunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, salah satunya dengan merumuskan sanksi dalam perundang-undangan nasional untuk menghukum tindak kekerasan terhadap perempuan serta mengatur mekanisme pemulihan yang efektif dan adil.

Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) melalui UU No. 7 Tahun 1984, Pemerintah Indonesia berkewajiban membuat peraturan yang dapat menghapus stigma dan diskriminasi terhadap perempuan.