Melanggar HAM, cabut TWK sebagai syarat alih status pegawai KPK

Menanggapi konferensi pers yang diadakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang dugaan pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK melalui asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Temuan Komnas HAM semakin membuktikan bahwa proses TWK yang dilakukan oleh KPK dinodai oleh berbagai pelanggaran HAM, termasuk di antaranya pelanggaran hak atas pekerjaan, kebebasan berpendapat, beragama dan berkeyakinan, dan untuk tidak didiskriminasi.”

“Terlebih lagi, Komnas HAM juga mengindikasikan bahwa proses TWK diduga kuat merupakan bentuk penyingkiran terhadap pegawai dengan latar belakang tertentu, dan pegawai tersebut disasar karena aktivitas kerja profesionalnya di KPK. Ini menunjukkan bahwa ada upaya untuk melemahkan kerja antikorupsi KPK, yang akan berdampak kepada pemenuhan hak-hak masyarakat.”

“Kami mendesak Presiden Jokowi untuk melaksanakan rekomendasi Komnas HAM, terutama dengan memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat TWK untuk dapat diangkat menjadi ASN KPK.”

“Kami juga mendesak agar Presiden melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses TWK untuk mencegah pelanggaran HAM lebih lanjut dalam tubuh KPK.”

Latar belakang

Pada tanggal 24 Mei 2021, Wadah Pegawai KPK melaporkan proses TWK kepada Komnas HAM karena adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam proses TWK tersebut. Komnas HAM membentuk Tim Pemantauan dan Penyelidikan untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Selama proses penyelidikan, Komnas HAM memanggil berbagai pihak untuk diminta keterangan, termasuk pimpinan KPK, Badan Kepegawaian Negara, dan Dinas Psikologi Angkatan Darat.

Komnas HAM mengumumkan temuan tim penyelidikan tersebut dalam konferensi pers yang diadakan pada tanggal 16 Agustus 2021. Salah satu komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan bahwa proses TWK diduga kuat sebagai bentuk “penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan latar belakang tertentu, khususnya mereka yang terstigma atau terlabel Taliban.”

Choirul juga mengkonfirmasi bahwa pertanyaan-pertanyaan kontroversial dalam TWK yang beredar di publik merupakan benar adanya “dan merupakan persoalan serius dalam HAM karena diskriminatif, bernuansa kebencian, merendahkan martabat dan tidak berperspektif gender.”

Penyelidikan Komnas HAM juga menemukan bahwa terdapat setidaknya 11 jenis hak asasi manusia yang dilanggar dalam proses TWK tersebut, termasuk hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak untuk tidak didiskriminasi, hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan hak atas pekerjaan.

Komnas HAM merekomendasikan bahwa proses TWK diambil alih oleh Presiden Joko Widodo dengan, antara lain, memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat TWK.

Sebelumnya, pada tanggal 21 Juli 2021, Ombudsman RI juga mengumumkan bahwa mereka menemukan adanya maladministrasi dalam proses pengalihan status pegawai KPK.

Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) menjamin “hak atas kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih tinggi, tanpa didasari pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuan.”, yang dijelaskan lebih lanjut dalam Komentar Umum No. 23 terhadap hak atas kondisi kerja yang adil dan mendukung.

Selain itu, hak individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan telah dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang isinya: “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.”

Dalam hukum nasional sekalipun, hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan telah dijamin dalam Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 29 (2) tentang kebebasan beragama dan beribadah dan pasal 28E (2) tentang kebebasan berkeyakinan di mana setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap mereka sesuai dengan hati nuraninya dan juga dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.