Masyarakat Indonesia belum merdeka dari kekerasan negara

Negara harus mengevaluasi segala kebijakan yang kurang berpihak pada masyarakat, mengakhiri segala bentuk kekerasan aparatnya dan menghormati pandangan kritis yang disampaikan secara damai oleh warganya, kata Amnesty International Indonesia hari ini. Dalam dua pekan terakhir, dan bahkan menjelang peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-78, Amnesty mencatat serangkaian peristiwa kekerasan yang dilakukan aparat keamanan negara.

Pada tanggal 14 Agustus 2023, warga Dago Elos, Bandung, yang menolak penggusuran lahan mengalami pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi.

Pada 15 Agustus 2023, 16 aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengalami dugaan pemukulan oleh polisi saat mereka melakukan protes damai di Sentani, Kabupaten Jayapura.

Sebelumnya, pada tanggal 5 Agustus, warga Nagari Air Bangis, Sumatera Barat, yang memprotes Proyek Strategis Nasional juga mengalami pembubaran paksa dan penangkapan oleh aparat kepolisian. Beberapa jurnalis yang meliput peristiwa tersebut juga mengalami kekerasan oleh aparat keamanan.

“Negara ini lepas dari kolonisasi Belanda hampir delapan dekade lalu. Tiap-tiap warga negara merdeka seharusnya sudah bebas dari segala bentuk kekerasan dan penindasan. Nyatanya, kita belum benar-benar merdeka dari kekerasan. Ironisnya, negara justru tidak pernah belajar dari kolonialisme itu sendiri karena kekerasan dan kesewenang-wenangan yang sampai hari ini terjadi banyak diduga melibatkan aparat negara,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

“Lihat saja peristiwa di Air Bangis, Bandung, hingga Sentani di awal bulan kemerdekaan bangsa ini. Warga masyarakat yang menuntut keadilan karena terancam tergusur, malah direspons dengan kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian. Para aktivis yang menggunakan hak mereka untuk berkumpul dan menyatakan pendapat secara damai, malah direpons dengan pemukulan dan penangkapan.”

“Peristiwa yang dialami Soekarno, Sjahrir, Hatta atau para pejuang lainnya, yang diasingkan, dipenjarakan, ditindas karena menentang kebijakan penguasa di masa kolonial, berulang,” lanjut Usman.

Pengaduan warga Dago Elos direspons dengan kekerasan

Kekerasan aparat terhadap warga Dago Elos di Bandung bermula saat mereka mendatangi kantor Polrestabes Bandung, pada Senin siang (14/8) untuk mengadukan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh lawan sengketa mereka terkait kepemilikan lahan. Sengketa ini membuat setidaknya 300 orang terancam mengalami penggusuran.

Namun, laporan tersebut ditolak oleh pihak Polrestabes dengan alasan warga yang melapor tidak memiliki sertifikat tanah. Selain mendapat penolakan, warga dan pendamping hukum juga mengalami kekerasan verbal dan pemukulan oleh aparat kepolisian.

“Kekerasan fisik dan verbal yang tidak perlu dari anggota Polrestabes Bandung yang merendahkan martabat manusia adalah bentuk perlakuan aparat penegak hukum yang tidak melayani, melindungi dan mengayomi warganya.

Seharusnya aparat bertugas profesional dengan membuatkan laporan pidana warga dan menuangkannya dalam Berita Acara Pemeriksaan atau BAP. Apalagi mereka sudah didampingi kuasa hukum yang juga merupakan profesi penegak hukum yang harus dihormati,” kata Usman.

Warga yang kecewa memblokade jalan di sekitar Terminal Dago sebagai bentuk protes. Sekitar pukul 21.45, polisi anti-huru hara tiba di lokasi, bernegosiasi dengan warga hingga mencapai kesepakatan bahwa laporan warga akan diterima jika blokade jalan dibuka secara bertahap.

Namun sekitar pukul 22.50, polisi menembakkan gas air mata ke arah warga sehingga bentrokan pun tak terhindarkan. Beberapa orang ditangkap, termasuk seorang kuasa hukum, dan beberapa warga terluka. Hingga Selasa (15/8) sore, sepuluh warga masih ditahan oleh pihak kepolisian.

“Ini adalah bentuk arogansi aparat negara. Alih-alih mendapat perlindungan, mereka yang menolak diusir dari tempat tinggalnya justru mengalami intimidasi, kekerasan, dan timbul korban,” lanjut Usman.

“Lagi-lagi, aparat menggunakan penggunaan kekuatan yang berlebihan untuk menghadapi mereka yang memperjuangkan hak. Pemimpin negara tidak boleh berdiam diri dan harus ada penyelidikan yang menyeluruh dan independen atas tindakan-tindakan represif tersebut.”

Data pemantauan Amnesty International Indonesia, selama Januari hingga Juli 2023, menunjukkan sedikitnya 62 kasus serangan terhadap pembela hak asasi manusia. Serangan ini berupa laporan ke kepolisian (delapan kasus), penangkapan (tujuh kasus), kriminalisasi (empat kasus), percobaan pembunuhan (dua kasus), serta intimidasi dan serangan fisik (41 kasus).

Belasan aktivis di Papua dipukul polisi

Di Papua, 16 aktivis KNPB diduga mengalami pemukulan oleh polisi saat mereka berunjuk rasa di Sentani, meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meninjau kembali perjanjian New York 1962.

Demonstrasi peringatan perjanjian New York 1962 di Sentani itu berlangsung damai, sebelum kepolisian membubarkannya dengan dugaan kekerasan yang menimbulkan korban luka-luka. Menurut laporan yang diterima Amnesty, aparat menggunakan ‘water cannon’ dan diduga melakukan kekerasan fisik terhadap massa aksi KNPB.

“Peristiwa ini adalah bukti bahwa betapa warga negara ini belum merdeka dalam menyatakan pendapat. Terhadap saudara-saudara di Papua yang berekspresi politik secara damai, aparat negara seringkali menyikapinya dengan berlebihan dan represif,” kata Usman.

Menurut data pemantauan Amnesty International Indonesia dari 2019 hingga 2022, setidaknya terdapat 61 kasus yang melibatkan 111 orang di Papua berhadapan dengan dakwaan pidana karena diduga melanggar pasal makar di KUHP. Lalu dari Januari hingga Juli 2023 terdapat tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka kasus makar.

Ke mana perginya akuntabilitas aparat negara?

Dugaan kekerasan yang dilakukan aparat negara termasuk praktik penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum sayangnya diikuti dengan rendahnya tingkat akuntabilitas.

Amnesty International Indonesia mencatat selama 2019 hingga Mei 2023 terdapat setidaknya 105 kasus penyiksaan dengan 173 korban. Yang memprihatinkan, selama periode tersebut, para terduga pelaku penyiksaan didominasi aparat penegak hukum dan keamanan, yaitu personel Polri (77 kasus, 115 korban), kemudian anggota TNI (15 kasus, 35 korban), serta petugas lembaga pemasyarakatan (tujuh kasus, sembilan korban).

Sementara untuk pembunuhan di luar hukum, data yang dihimpun Amnesty International Indonesia dari tahun 2019 hingga Mei 2023 menunjukkan 175 kasus dengan terduga pelaku aparat negara dengan korban sebanyak 205 orang. Angka-angka kasus dan korban tersebut terjadi di luar Papua.

Kasus paling banyak dilakukan oleh personel Polri (153 kasus, 172 korban), disusul anggota TNI (sembilan kasus, sembilan korban). Sayangnya, dari banyaknya kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan aparat keamanan selama 2019 hingga Mei 2023, berdasarkan informasi yang dapat dihimpun oleh Amnesty, sebanyak 129 kasus dengan 141 korban belum dilakukan investigasi per Mei 2023. Pun ketika ada kasus-kasus yang diproses secara hukum, hanya 10 kasus dengan 19 korban yang dibawa ke pengadilan umum dan hanya lima kasus dengan lima korban dibawa ke pengadilan militer.

“Bagaimana kemerdekaan ini dirasakan oleh korban kekerasan aparat negara? Korban pelanggaran HAM berat masa lalu? Saat kita bersiap untuk merayakan kemerdekaan Indonesia, maka penting bagi negara untuk merefleksikan nilai-nilai kemerdekaan dengan menghentikan aksi-aksi represif terhadap warga sipil serta menegakkan akuntabilitas terhadap aparat yang terlibat dalam kekerasan, pembunuhan di luar hukum, hingga penyiksaan dan perlakuan lain yang merendahkan martabat manusia yang merdeka,” kata Usman. (*)