Lindungi hak-hak warga adat Maluku dari ekploitasi lahan

Amnesty International Indonesia mendorong pemerintah dan aparat setempat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah dan lahan mereka dan bertindak tegas terhadap perusahaan-perusahaan swasta yang diduga melakukan eksploitasi lahan milik masyarakat adat. Hal ini merespon aksi protes yang digelar oleh 26 warga adat Sabuai di Seram Timur, Maluku,  aktivitas pembalakan kayu liar oleh sebuah perusahaan di hutan Gunung Ahwale.

“Protes yang dilakukan warga adat setempat merupakan akibat dari minimnya perlindungan pemerintah terhadap hak-hak mereka atas lahan dan wilayahnya,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

“Sudah banyak masyarakat adat yang kehilangan hak atas tanahnya banyaknya upaya eksploitasi sumber daya alam dan pengalihan fungsi lahan yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Eksistensi masyarakat adat kini semakin terancam.  Banyak dari mereka yang terusir dari lahan mereka sendiri akibat ekspansi lahan oleh perusahaan-perusahaan swasta berskala besar.

“Selama ini, masyarakat adat belum dilindungi secara maksimal. Pemerintah belum sepenuhnya menjamin hak-hak mereka atas tanah, wilayah, budaya dan sumber daya alam yang, sebagian besar, mereka miliki secara turun-temurun. Dalam melakukan pembangunan dan investasi, pemerintah seringkali melupakan hak-hak masyarakat adat dan tidak melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan. Terlebih lagi, banyak dari mereka yang justru dikriminalisasi.

“Hal tersebut yang kemudian menumpuk rasa kekecewaan mereka karena merasa haknya direbut, sehingga kemudian mereka mengekspresikannya dengan cara yang mereka kehendaki. Begitu pula yang terjadi di Maluku. Warga adat Sabuai, hanya menunjukkan kekecewaan dan penolakan terhadap perusahaan kayu yang dianggap telah mengeksploitasi  tanah leluhur mereka dengan cara membabat hutan adat dan mengambil kayu secara ilegal. Padahal, di hutan tersebut terdapat makam leluhur nenek moyang masyarakat sihaporas. Para warga adat tersebut hanya ingin menuntut haknya untuk bisa hidup dengan bebas dan damai ditanah leluhurnya.”

“Pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, seharusnya tidak mengambil posisi yang menegasikan masyarakat adat. Sebaliknya, mereka sebaiknya mengedepankan interaksi dan menjadi garda terdepan untuk melawan segala bentuk perampasan hak-hak masyarakat adat. Aparat juga bisa melakukan dialog dan mendengarkan keluhan masyarakat setempat, akui mereka sebagai pemilik lahan dan pemelihara hutan, tidak serta merta membalas aksi protes mereka dengan tuntutan hukum.

“Amnesty juga mendorong pemerintah untuk merespon keluhan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan terkait yang diduga melakukan pembalakan liar. Pembalakan liar merupakan permasalahan yang sudah mengakar di Indonesia yang konskuensinya seringkali berujung pada kerusakan hutan. Perlu ada tindakan konkret untuk menertibkan. Jika terbukti ilegal, maka para pelakunya harus dibawa ke proses hukum. Dengan tindakan hukum yang tegas dan jaminan atas hak masyarakat adat, maka kerusakan hutan lebih lanjut pun akan dapat dicegah.”

Latar Belakang

Aparat Polsek Werinama melakukan penangkapan terhadap 26 orang warga adat Sabuai, Pematang Siwalalat, Seram Timur, Maluku, pada hari Senin, 17 Februari 2020, yang menggelar protes aktivitas pembalakan kayu liar yang dilakukan oleh sebuah perusahaan di hutan Gunung Ahwale.

Tiga dari 26 orang yang ditangkap langsung dibebaskan karena merupakan anak di bawah umur. Sementara itu, 23 orang lainnya dibebaskan setelah dilakukan pemeriksaan sebagai saksi. Namun, polisi menyatakan masih ada proses hukum lanjutan terhadap enam orang di antaranya karena ada dugaan perusakan fasilitas umum.

Berdasarkan laporan media, Ketua Saniri Sabuai, Nico Ahwalam, mengatakan bahwa aksi protes berawal saat warga melihat lima orang yang membawa alat berat sedang melakukan aktivitas penebangan kayu. Warga kemudian mencegat mereka dan terjadilah adu mulut yang berujung pada pecahnya kaca mobil. Warga kemudian menyita kunci alat berat tersebut. Nico mengatakan warga setempat sudah berulang kali memperingatkan perusahaan tersebut untuk tidak menebang kayu di wilayan itu, namun peringatan itu tidak digubris.

Hak-hak masyarakat adat dalam kebijakan nasional telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat 2, yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang”. Di samping itu, UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia pasal 28 I ayat 3 juga telah mengatur bahwa“identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Selain itu, perlindungan terhadap masyarakat adat juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, khususnya Pasal 6 Ayat (1) dan Ayat (2). Ayat (1) berbunyi: “Dalam rangka penegakan HAM, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah”. Sementara pada Ayat (2) dinyatakan bahwa “Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman”.

Berdasarkan data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), anggota mereka berjumlah 2.359 komunitas adat di seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 17 juta anggota individu yang tersebar di seluruh Indonesia.

Pada tahun 2016, Komnas HAM merilis Inkuiri Nasional tentang tentang Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan yang hasilnya menunjukkan adanya pelanggaran hak masyarakat disertai tindakan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi.  Sebanyak 125 masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi akibat konflik lahan. Peta konfliknya tersebar di wilayah Bengkulu, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.