LAPORAN HAM INDONESIA 2017

Indonesia gagal menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Hak untuk berpendapat, berkumpul, dan berserikat juga dengan sewenang-wenang dibatasi. Pasal-pasal penistaan agama digunakan untuk memenjarakan mereka yang mengekspresikan haknya dalam beragama dan berkeyakinan secara damai. Sedikitnya, terdapat 30 orang yang ditahan karena mengekspresikan opini, keyakinan dan agama secara damai. Aparat keamanan melakukan pembunuhan di luar hukum dan menggunakan kekuatan secara berlebih dalam merespon demonstrasi dan melakukan operasi keamanan. Dua orang laki-laki dihukum cambuk di depan umum setelah dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Shariah Kota Banda Aceh karena terbukti melakukan hubungan seks sesama jenis atas dasar suka sama suka.

LATAR BELAKANG

Catatan Hak Asasi Manusia Indonesia diperiksa pada bulan Mei melalui mekanisme Peninjauan Berkala Universal atau Universal Periodic Review (UPR) oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bagsa (PBB) di Jenewa. Meskipun Indonesia menerima 167 dari 225 rekomendasi, Indonesia menolak beberapa usulan, antara lain seruan untuk menginvestigasi pelanggaran HAM masa lalu dan juga untuk meninjau kembali pasal-pasal penghinaan agama. Hal ini termasuk beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, yang membatasi kemerdekaan berekspresi, beragama, dan berkeyakinan.

IMPUNITAS

Terlepas dari janji politik yang disampaikan oleh Presiden, Indonesia gagal menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Pada bulan Februari, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jakarta menolak keputusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang menginstruksikan pemerintah untuk membuka kepada publik laporan pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib tahun 2004, yang diduga melibatkan beberapa pejabat intelijen senior. PTUN membuat keputusan tersebut dengan alasan bahwa pemerintahan yang kini berjalan belum menerima laporan dari pemerintah sebelumnya. Pada bulan Agustus, Mahkamah Agung menguatkan keputusan PTUN tersebut.

Dalam sidang UPR, pemerintah Indonesia berjanji bahwa Jaksa Agung akan memfinalisasi penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat di Wasior pada tahun 2001 dan Wamena pada tahun 2003 di Papua, dan membawa kasus ini ke Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.26/2000. Namun, hal ini tidak pernah terlaksana hingga akhir tahun 2017.

KEMERDEKAAN UNTUK BERKUMPUL, BERSERIKAT, DAN BERPENDAPAT

Pihak berwenang terus menangkap dan memproses hukum mereka yang menyuarakan aspirasi politik secara damai khususnya di wilayah yang mempunyai catatan gerakan pro-kemerdekaan seperti Papua. Tahanan hati nurani atau prisoner of conscience (mereka yang dipenjarakan karena mengekspresikan pendapat secara damai), Oktovianus Warnares, masih mendekam di penjara karena menolak menandatangani dokumen yang berisikan pernyataan kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, meski dirinya telah menjalani dua pertiga hukuman penjara sebagai syarat mendapat pembebasan bersyarat. Oktovianus Warnares dihukum dengan pidana tindak “pemberontakan” (makar) pada tahun 2013 setelah berpartisipasi dalam kegiatan damai memperingati 50 tahun penyerahan Papua kepada pemerintah Indonesia oleh Otoritas Eksekutif Sementara PBB atau UN Temporary Executive Authority (UNTEA).

Pada bulan Agustus, Novel Baswedan, seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dilaporkan ke polisi oleh Direktur Penyidikan KPK dengan tuduhan melanggar Pasal 27 (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang mengatur tentang pencemaran nama baik lewat Internet. Laporan penghinaan tersebut terkait dengan surat elektronik yang dikirim oleh Novel Baswedan dalam kapasitasnya sebagai perwakilan serikat pekerja KPK yang intinya mengkritik kepemimpinan direktur tersebut. Novel Baswedan disiram air keras di Jakarta pada tanggal 11 April yang kemudian merusak kornea matanya. Pada saat serangan tersebut, Novel Baswedan tengah memimpin penyidikan penyalahgunaan anggaran oleh pejabat tinggi negara dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP).

Pada tanggal 10 Juli, Presiden Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2/2017 yang merevisi Undang-Undang No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu tersebut menghapus proses peradilan dalam pembubaran organisasi kemasyarakatan. Perppu No.2/2017, yang disahkan menjadi undang-undang oleh DPR pada bulan Oktober, membatasi hak kemerdekaan berserikat, berpendapat, beragama dan berkeyakinan. Bahkan pembatasan tersebut lebih ketat dibandingkan dengan aturan yang ada di Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Undang-undang tersebut menghambat kerja aktivis HAM dan juga mencerminkan sikap diskriminatif terhadap kelompok tertentu.

Aparat keamanan dan kelompok masyarakat yang main hakim sendiri membubarkan diskusi dan acara publik berkaitan dengan pelanggaran HAM berat yang dilakukan pada tahun 1965. Pada tanggal 1 Agustus, polisi dan militer setempat memboikot seminar di Jakarta mengenai temuan Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT) 1965–sebuah inisiatif masyarakat sipil untuk meningkatkan kesadaran internasional tentang pelanggaran HAM massal di tahun 1965.

Pada tanggal 16 September, polisi membubarkan seminar di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang dihadiri para korban pelanggaran HAM 1965. Pada malam tanggal 17 September, LBH Jakarta mengadakan acara seni untuk mengkritik pembubaran tersebut. Tak lama setelah acara seni tersebut berlangsung, sekitar 1.000 orang yang mengaku sebagai “anti-komunis” mengepung kantor LBH Jakarta sehingga para seniman dan aktivis terjebak di dalam gedung tersebut. Pada dini hari, massa tersebut melemparkan batu ke kantor LBH Jakarta dan merusak pagar gedung. Ratusan petugas polisi turun ke lokasi dan menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa.

KEMERDEKAAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN

Aturan penodaan agama dalam pasal 156 dan 156 (a) KUHP dan pasal 28 (2) dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), digunakan untuk memenjarakan orang-orang yang mengekspresikan haknya dalam beragama dan berkeyakinan secara damai. Sedikitnya, ada 11 orang divonis bersalah menggunakan pasal penodaan agama. Individu yang merupakan bagian dari agama maupun kelompok minoritas cenderung menjadi sasaran persekusi. Pada tanggal 9 Mei, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, seorang Kristen Tionghoa yang dikenal dengan nama Ahok, dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena “menghina Islam” dalam sebuah video yang diunggah ke internet. Ahok adalah pejabat tinggi pemerintah pertama yang dihukum dalam kasus penistaan agama.

Pada tanggal 7 Maret, Ahmad Mushaddeq, Mahful Muis Tumanurung dan Andry Cahya, pemimpin gerakan keagamaan Fajar Nusantara yang dibubarkan, atau dikenal sebagai Gafatar, dihukum karena menista agama oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Putusan tersebut diperkuat Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 3 Juli.

Pada akhir tahun, setidaknya ada 30 tahanan hati nurani dipenjara karena mengekspresikan haknya dalam berpendapat, beragama, dan berkeyakinan secara damai.

Pada tanggal 4 Juni, pemerintah daerah Depok, Jawa Barat, menyegel sebuah masjid milik kelompok minoritas agama Ahmadiyah, yang dianggap oleh banyak kelompok Islam “menyimpang dan di luar ajaran agama Islam”. Pihak berwenang melarang Ahmadiyah menggunakan masjid tersebut selama bulan Ramadhan. Wali Kota Depok berpendapat bahwa dasar hukum penutupan masjid adalah keputusan menteri dan peraturan provinsi. Kedua aturan tersebut melarang anggota kelompok Ahmadiyah untuk mempromosikan kegiatan dan menyebarkan ajaran agama mereka. Wali Kota juga mengatakan bahwa penutupan mesjid tersebut bertujuan untuk melindungi kelompok Ahmadiyah dari serangan oleh kelompok lain di daerah tersebut.

POLISI DAN MILITER

Kelompok-kelompok HAM melaporkan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran HAM berat lainnya oleh aparat bersenjata, terutama dalam konteks penggunaan kekuatan secara berlebih dalam merespon demonstrasi dan melakukan operasi keamanan. Sejauh ini belum ada pelaku yang dihukum, khususnya untuk banyak insiden pembunuhan luar hukum yang terjadi di Papua.

Penggunaan kekuatan secara berlebihan

Antara bulan September 2016 dan Januari 2017, pasukan gabungan polisi dan militer melakukan operasi keamanan di Dogiyai, Papua, menjelang pemilihan kepala daerah tahun 2017. Pada tanggal 10 Januari, petugas polisi dengan sewenang-wenang menangkap Otis Pekei saat dirinya menolak menyerahkan pisau ke pos kemanan dan ditahan di kantor polisi di kelurahan Moanemani. Pada hari berikutnya, polisi menyerahkan jasad Otis Pekei ke kediaman keluarganya. Keluarga Otis Pekei menuduh polisi menyiksa Otis selama penahanan. Hingga saat ini belum ada investigasi yang dilakukan terkait kasus tersebut.

Pada tanggal 1 Agustus di Deiyai, Papua, petugas polisi dengan sewenang-wenang melepaskan tembakan ke kerumunan massa tanpa ada peringatan. Sedikitnya, melukai 10 orang, termasuk anak-anak. Sembilan petugas polisi mendapatkan hukuman disiplin dan tidak ada proses pidana yang dilakukan untuk menindaklanjuti kasus tersebut.

Pembunuhan di luar hukum

Jumlah orang yang ditembak mati dengan tuduhan bandar narkoba meningkat tajam  dari 18 di tahun 2016 menjadi 98 pada tahun 2017. Beberapa petugas yang terlibat dalam insiden tersebut diperbantukan di Badan Narkotika Nasional (BNN). Polisi mengklaim bahwa pembunuhan tersebut dilakukan untuk membela diri atau karena tersangka mencoba melarikan diri dari tempat kejadian. Tidak ada investigasi independen yang telah dilakukan untuk mengusut kasus pembunuhan-pembunuhan tersebut. Jumlah kematian meningkat setelah beberapa pejabat tinggi Indonesia, termasuk Presiden, menganjurkan agar  dilakukan tindakan yang lebih keras  untuk mengatasi tindak pidana narkotika, termasuk menyerukan dikerahkannya kekuatan mematikan terhadap bandar narkoba.

KEMATIAN DALAM TAHANAN

Kematian dalam tahanan dan penyiksaan oleh polisi dilaporkan oleh organisasi-organisasi HAM.

Pada tanggal 27 Agustus 2017 Rifzal Riandi Siregar ditangkap di daerah Batang Toru di Sumatera Utara setelah dia terlibat dalam perkelahian dengan seorang petugas polisi. Ketika kerabatnya mengunjunginya di kantor polisi Batang Toru, dia mengatakan kepada mereka bahwa dia dipukuli habis-habisan di kantor polisi oleh empat petugas polisi, termasuk orang yang terlibat dalam pertengkaran tersebut. Pada tanggal 3 September, Rifzal Riandi Siregar ditemukan tewas di kantor polisi. Atas permintaan keluarganya, polisi memindahkan jasadnya ke sebuah rumah sakit polisi di Medan, untuk dilakukan otopsi. Polisi berjanji akan memberikan laporan otopsi kepada keluarga tersebut dalam waktu seminggu. Namun mereka belum menerimanya sampai akhir tahun.

HUKUMAN KEJAM DAN TIDAK MANUSIAWI

Sedikitnya 317 orang dihukum cambuk di Aceh sepanjang tahun 2017 karena melakukan tindak pidana perzinahan, perjudian dan minum alkohol, serta hubungan seks sesama jenis suka sama suka. Pada bulan Mei, dua pria masing-masing dicambuk 83 kali di depan umum setelah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Syariah Banda Aceh atas tuduhan hubungan seks sesama jenis atas dasar suka sama suka yang diatur dalam hukum Syariah Aceh. Meskipun hukum Syariah telah berlaku di Aceh sejak diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Khusus pada tahun 2001, dan ditegakkan oleh pengadilan Islam, ini adalah pertama kalinya para pria homoseksual dicambuk di bawah hukum Syariah di provinsi tersebut.

HAK KELOMPOK LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, TRANSGENDER DAN INTERSEKS

Pada tanggal 25 Mei, 141 orang ditangkap di Jakarta Utara oleh polisi setempat setelah menghadiri apa yang digambarkan polisi sebagai, “pesta seks gay”. Keesokan harinya polisi membebaskan 126 pria, namun 10 diantaranya dijerat tuduhan memberikan “layanan pornografi” dengan tuduhan  melanggar Undang-Undang Nomor 44/2008 tentang Pornografi. Pada tanggal 6 Oktober, 51 orang, termasuk tujuh warga negara asing, ditangkap di sebuah sauna di Jakarta Pusat. Sebagian besar pelanggan dibebaskan keesokan harinya; lima karyawan tetap ditahan pada akhir tahun. Polisi menuduh enam orang memberikan layanan pornografi dan prostitusi.

Kecuali di Aceh, hubungan seks sesama jenis tidak diberlakukan sebagai kejahatan berdasarkan KUHP.

HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA – HAK ATAS AIR

Pada tanggal 10 Oktober, Mahkamah Agung menginstrusikan pemerintah untuk menghentikan skema privatisasi air di Jakarta. Pengadilan menyetujui banding yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) bahwa penyedia swasta tersebut “gagal melindungi hak atas air” warga. Pengadilan memutuskan bahwa pemerintah harus mencabut kontrak dengan dua penyedia air swasta.