Laporan HAM: 2019 tahun represi bagi Asia-Pasifik, termasuk Indonesia

[TEMPO/M Taufan Rengganis; MT2019091976]

Pada hari Rabu, 29 Januari 2019, Amnesty International merilis laporan ‘Hak-Hak Asasi Manusia di Asia Pasifik: Tinjauan Tahun 2019’. Laporan ini mengkaji isu-isu HAM dan menganalisa perkembangan HAM di 25 negara di kawasan tersebut. Pada laporan ini juga disampaikan kesimpulan menarik, yaitu munculnya aktivis generasi baru yang turun ke jalan melawan kesewenang-wenangan, represi dan pembatasan ekspresi politik.

“2019 adalah tahun represi dan juga tahun perlawanan di Asia. Ketika pemerintah di seluruh kawasan ini berupaya untuk mencabut kebebasan dasar, warga masyarakat justru melawan – dan kaum muda berada di garis depan perjuangan,” kata Nicholas Bequelin, Direktur Regional Amnesty International untuk Asia Timur dan Tenggara serta Pasifik.

“Mulai dari pelajar di Hong Kong yang memimpin gerakan massa menentang campur tangan China, hingga pelajar di India yang memprotes kebijakan anti-Muslim; dari pemilih muda Thailand yang berbondong-bondong mendukung partai oposisi baru hingga munculnya demonstran pro-kesetaraan minoritas gender di Taiwan. Unjuk rasa populer yang dilakukan secara online maupun offline kebanyakan dipimpin oleh kaum muda menantang tatanan mapan yang sudah ada.”

Untuk Indonesia, Amnesty International menyoroti fenomena situasi serupa. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Tahun 2019 juga merupakan tahun represi tapi juga tahun perlawanan kaum muda di Indonesia. Ini terlihat sangat menonjol dalam gerakan mahasiswa dan pelajar yang memprotes Revisi UU KPK yang melemahkan pemberantasan korupsi, RUU KUHP yang ingin melemahkan kebebasan berpendapat melalui pengembalian pasal-pasal karet tentang penghinaan presiden, hingga demonstrasi anti rasisme terhadap orang Papua maupun protes atas kebakaran hutan yang sangat berbahaya bagi masyarakat di Kalimatan dan Sumatera”. 

Kegagalan dalam melindungi para pembela HAM dan pembatasan hak atas kebebasan berekspresi menjadi sorotan utama di Indonesia.

Amnesty setidaknya mendokumentasikan adanya 203 kasus pidana terhadap mereka yang mengkritik pejabat publik, pasangan mereka sendiri, atau lembaga pemerintah -melalui media elektronik, media sosial, atau sepanjang aksi unjuk rasa -yang muncul dari bulan Oktober 2014 hingga Maret 2019. Angka ini jauh lebih rendah dibanding dengan data resmi yang dirilis oleh pihak otoritas Indonesia.

Kasus lainnya adalah penyalahgunaan pasal pidana untuk menjerat kebebasan ekspresi di Papua.

“Penggunaan KUHP dengan pasal makar-nya untuk mengkriminalisasi ekspresi warga Papua yang terkait dengan keinginan mereka akan penentuan nasib sendiri, bahkan yang disampaikan secara damai sekalipun, adalah salah satu contohnya,” kata Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid.

“Yang lebih parah, aparat keamanan yang terindikasi kuat terlibat pelanggaran HAM, sebagian besar lolos, tak diproses hukum. Padahal mereka telah menggunakan kekuatan yang berlebihan dalam menanggulangi demonstrasi maupun selama operasi penertiban dan keamanan di sejumlah wilayah.” 

“Ini catatan kelam bagi Indonesia, bisa dibilang tahun 2019 adalah tahun represi bagi negara ini. Yang membawa harapan adalah bahwa masyarakat khususnya kaum muda tidak berdiam diri. Itulah sebabnya Amnesty juga menyebut tahun ini sebagai tahun perlawanan, baik di Asia Pasifik maupun Indonesia” tegas Usman.

Laporan Amnesty menyebutkan represi terhadap warga yang memprotes hasil pemilu pada Mei 2019. Setidaknya terdapat 9 orang di Jakarta dan satu di Pontianak menjadi korban tewas selama aksi unjuk rasa 21-23 Mei 2019. Banyak dari mereka meregang nyawa akibat luka tembak. Kepolisian mengklaim petugas mereka tidak menggunakan proyektil selama demo. 

Amnesty juga menyoroti represi terhadap aksi protes ribuan pelajar dan mahasiswa di berbagai wilayah terutama di depan Gedung parlemen di Jakarta pada 24 September sampai dengan 30 September 2019. 

“Aparat keamanan melepaskan tembakan gas air mata kepada demonstran, mengejar mereka hingga ke stasiun kereta, dan menangkap ratusan warga, mahasiswa dan para pelajar, termasuk yang masih berusia di bawah 18 tahun. Lusinan warga, termasuk ibu-ibu dan anak-anak terpaksa harus menjalani perawatan medis. Keluarga korban dari mereka yang tewas hingga kini terus mendesak pemerintah serius menegakkan hukum dan keadilan”, tambah Usman.

Sementara di Papua, penembakan belasan pekerja kontraktor PT Istaka Karya pada Desember 2018 menimbulkan pengiriman militer dan polisi dalam skala besar yang justru memperburuk keadaan HAM di wilayah itu. Kekerasan yang terjadi di sana meliputi respon yang disampaikan secara damai dan represif, serangan bernada rasisme dan kekerasan terhadap warga Papua.

“Kalau melihat laporan kelompok masyarakat sipil, termasuk pihak gereja, setidaknya ada 182 kematian yang tercatat selama periode Desember 2018 sampai Juli 2019, lalu jumlahnya menembus angka 200 jiwa dalam laporan mereka yang disampaikan di Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia awal Januari 2020,” sebut Usman.

“Sebagian besar tewas karena penyakit, malnutrisi, dan kondisi mengenaskan secara umum di pengungsian. Tapi ada juga belasan di antaranya disebabkan luka tembak yang terjadi sepanjang operasi keamanan,” imbuhnya.

Kelompok-kelompok masyarakat di Papua tersebut juga mencatat sekitar 5000 pengungsi yang tersebar di wilayah Wamena, Jayawijaya dan distrik lainnya yang hidup tanpa sanitasi dan kekurangan akses terhadap pangan, pendidikan, kesehatan dan layanan dasar lainnya.

“Khusus untuk kasus Papua, Amnesty berharap Pemerintah Indonesia segera menuntaskan semua pelanggaran HAM yang terjadi. Pembebasan 17 terdakwa kasus anti rasisme di Jayapura dari tahanan Polda Papua 28 Januari kemarin adalah langkah awal.”

“Selanjutnya hal itu harus ditindaklanjuti dengan investigasi yang independen, tidak memihak, dan adil terhadap para terdakwa dan kasus-kasus HAM lainnya yang belum tuntas.”

Laporan lengkap dapat diakses pada tautan ini.

Narahubung:

Nurina Savitri

+628111-960-630