Foto: Prima Mulia/Tempo

Label ‘teroris’ tidak akan membantu orang Papua

Menanggapi pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen Boy Rafli Amar tentang kemungkinan mengklasifikasi “kelompok kriminal bersenjata” yang berafiliasi dengan Operasi Papua Merdeka (OPM) sebagai organisasi teroris, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Mengklasifikasi kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan OPM sebagai organisasi teroris tidak akan mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh orang Papua, banyak di antaranya diduga dilakukan oleh aparat keamanan negara. Untuk tindakan kriminal bersenjata yang dilakukan oleh actor non-negara, sebaiknya tetap dengan pendekatan hukum.”

“Kami juga khawatir bahwa pemberian label ‘teroris’ akan dijadikan dalih untuk semakin membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul orang Papua melalui UU Terorisme, yang sebelumnya sudah dikritik oleh Amnesty International karena berpotensi melanggar hak asasi manusia.”

“Dalam tiga bulan pertama 2021 saja, sudah ada setidaknya tiga kasus dugaan pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) oleh aparat keamanan, dengan total 5 korban. Pemerintah seharusnya fokus menginvestigasi kasus-kasus ini dan menghentikan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran HAM lainnya di Papua dan Papua Barat.”

Latar belakang

Dalam rapat dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 22 Maret, Kepala BNPT Irjen Boy Rafli Amar mengatakan bahwa BNPT sedang mempertimbangkan menyebut kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan OPM sebagai organisasi teroris.

“Kami sedang terus menggagas diskusi-diskusi dengan beberapa kementerian/lembaga berkaitan dengan masalah nomenklatur KKB untuk kemungkinannya apakah ini bisa dikategorikan organisasi terorisme,” kata Boy dalam rapat tersebut.

Menurut catatan Amnesty International Indonesia, sejak Februari 2018 sampai Maret 2021 ada setidaknya 49 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan dengan total 83 korban. Tiga kasus yang terjadi pada tahun 2021 adalah (1) kasus Janius Bagau, Soni Bagau dan Justinus Bagau di Puskesmas Bilogai, Yokatapa, Sugapa, Intan Jaya. Papua pada 15 Februari 2021, (2) kasus Donatus Mirip di Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua pada 27 Februari 2021 dan (3) kasus Melianus Nayagau di Distrik Sugapa, Intan Jaya, Papua pada 6 Maret 2021.

Undang-Undang Anti-Terorisme 2018 memberikan wewenang kepada polisi untuk menahan tersangka hingga 221 hari tanpa dibawa ke pengadilan – pelanggaran terang-terangan terhadap hak siapa pun yang ditangkap atas tuduhan pidana untuk segera dibawa ke hadapan hakim dan diadili dalam waktu yang wajar atau dibebaskan.

Amnesty menggarisbawahi bahwa hak atas kebebasan berekspresi serta berkumpul dijamin oleh Pasal 19 dan 21 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Baik kebebasan berekspresi dan berkumpul harus diterapkan dengan cara non-diskriminatif, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 26 Kovenan. Meskipun kebebasan berekspresi dan berkumpul dapat dibatasi, batasan tersebut harus sesuai dengan hukum, mengejar tujuan yang sah, diperlukan dan proporsional untuk mencapai fungsi perlindungan mereka. Ahli hak asasi manusia PBB juga menyatakan bahwa “penggunaan undang-undang kontra-terorisme untuk menargetkan orang-orang yang mengungkapkan perbedaan pendapat dan berusaha untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia tidak pernah sesuai dengan hukum hak asasi manusia.”