Serangan terhadap kampanye G20 Greenpeace Indonesia bentuk arogansi negara

Menanggapi terjadinya penghadangan, intimidasi, dan teror terhadap anggota tim pesepeda ‘Chasing the Shadow’ Greenpeace Indonesia yang mengkampanyekan krisis iklim jelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Insiden ini semakin membuktikan Indonesia tidak serius melindungi kebebasan berekspresi. Yang lebih parah, penghadangan, intimidasi, hingga dugaan peretasan akun WhatsApp yang dialami rekan-rekan Greenpeace ini menunjukkan perlindungan terhadap aktivis dan pembela HAM nol besar. Bahkan, ada kesan pembiaran terhadap serangan terhadap mereka.”

“Padahal, setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, dan terlibat secara damai. Negara memiliki kewajiban untuk memenuhi dan menjamin hak-hak mereka.”

“Kami juga mengecam upaya pemaksaan penulisan surat pernyataan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan untuk tidak melakukan kampanye apapun selama KTT G20 berlangsung, yang dialami rekan-rekan Greenpeace. Ini adalah bentuk arogansi negara yang seakan ingin menutupi kritik damai Greenpeace tentang bahaya krisis iklim di Indonesia. Kalau pemerintah serius mengajak dunia untuk pulih bersama sesudah pandemi, sudah seharusnya mereka mendengarkan suara masyarakat sipil yang berusaha melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

“Aparat penegak hukum harus menyikapi hal ini dengan serius, mengingat pemerintah Indonesia telah berulang kali menyampaikan komitmennya terkait perlindungan HAM dalam forum-forum internasional. Termasuk jika terduga pelaku pembungkaman ini berasal dari kalangan penegak hukum sendiri.”

“Kami mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan menyeluruh dan independen terhadap serangan-serangan yang dialami anggota tim Greenpeace serta memastikan bahwa mereka dapat melakukan aktivitas kampanye mereka secara damai tanpa ketakutan akan ancaman, serangan, intimidasi, dan kriminalisasi.”

Latar Belakang

Menurut informasi yang diterima Amnesty dari Greenpeace Indonesia, anggota tim Chasing the Shadow, yang melakukan perjalanan bersepeda dari Jakarta dengan akhir tujuan Denpasar, Bali, untuk menyuarakan kekhawatiran terkait krisis iklim, mulai mengalami serangkaian intimidasi dan teror, hingga pengawasan terhadap aktivitas mereka, sejak berada di kota Semarang, Jawa Tengah.

Dalam perjalanan mereka hingga ke Rembang, anggota tim secara ketat diawasi oleh aparat keamanan yang kerap mengikuti aktivitas tim dan juga menanyai mereka terkait anggota tim, agenda, hingga kegiatan mereka. Bahkan, aparat keamanan pun berjaga di lokasi penginapan tim di Pati. Aktivitas mereka pun kerap didokumentasikan oleh aparat keamanan maupun orang-orang yang tidak dikenal.

Pada tanggal 1 November, tim mendapat kabar bahwa salah satu mobil mereka ditabrak hingga lampu sisi depan kanan mobil rusak parah. Saksi mata menyebut bahwa yang menabrak adalah motor berplat merah.

Anggota tim juga dilarang untuk mendekati area tambang di Kendeng oleh aparat dan karyawan pada tanggal 2 November. Terjadi intimidasi terhadap tim pesepeda hingga tim memutuskan untuk turun. Dalam perjalanan, mereka masih diawasi dan mobil mereka pun diikuti. Tim pun membatalkan rencana untuk beristirahat di Tuban dan menyewa mobil tambahan untuk membawa semua tim pesepeda ke Surabaya. Gerak-gerik tim Greenpeace terus dipantau oleh orang-orang yang diduga intel hingga anggota tim berada di penginapan di Surabaya.

Pihak kepolisian juga mempersulit izin untuk acara yang akan diadakan di Surabaya. Tim harus membuat surat pernyataan bebas narkoba dan miras, dan aparat menanyakan hal-hal terkait film yang akan diputar saat acara hingga lokasi menginap para narasumber diskusi. Aparat meminta agar intel diberi akses masuk tanpa seragam.

Serangan teror berlanjut pada tanggal 5 November, di mana salah satu mobil yang digunakan oleh tim ditabrak oleh motor yang dikendarai dua orang tidak dikenal. Setidaknya akun WhatsApp empat aktivis diduga diretas dan dicoba diambil alih pada tanggal 5-6 November.

Pada tanggal 7 November, anggota ormas yang mengaku sebagai perwakilan masyarakat Probolinggo mendatangi tim saat sedang makan siang. Tim Greenpeace dilarang menginap di Probolinggo dan tim dokumentasi sempat dihadang ketika memasuki penginapan. Salah satu mobil mereka pun diduga digembosi. Anggota ormas mendatangi tim dan melakukan demo, memaksa Greenpeace untuk membuat surat pernyataan untuk tidak melakukan aktivitas kampanye apapun selama KTT G20 berlangsung di Bali.

Menurut catatan Amnesty International, sepanjang Januari 2019 hingga Mei 2022 ada setidaknya 328 kasus serangan terhadap pembela HAM dengan 834 korban, termasuk diantaranya intimidasi dan serangan fisik terhadap mereka yang membela hak atas lingkungan yang sehat.

Hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR),  yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 12/2005, serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sedangkan hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul telah dijamin dalam Pasal 21 ICCPR serta Komentar Umum No. 37 atas Pasal 21 ICCPR. alam kerangka hukum nasional, Konstitusi Indonesia juga telah menjamin hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, yaitu dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Indonesia telah memiliki landasan hukum yang mengakui pembela HAM, sebagaimana diatur dalam Pasal 28C Ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.” Esensi dari aturan tersebut sebenarnya sejalan dengan Deklarasi Pembela HAM yang diadopsi Majelis Umum PBB pada tahun 1998. Selain itu, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat juga merupakan hak asasi manusia, sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 28 H Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal 9 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.