Konflik Israel-Palestina: Indonesia harus ratifikasi Statuta Roma untuk desak Mahkamah Pidana Internasional selidiki kejahatan di Gaza

Pemerintah Indonesia harus meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) jika ingin memberikan dukungan nyata kepada warga Palestina, kata Amnesty International Indonesia hari ini.

“Serangan-serangan udara Israel yang menyasar gedung-gedung tempat tinggal di Gaza dapat tergolong kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan dan harus diinvestigasi oleh Mahkamah Pidana Internasional,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

“Dengan meratifikasi Statuta Roma, maka Indonesia akan menjadi negara pihak dan akan mempunyai landasan yang kuat untuk lebih bisa pro-aktif mengakhiri krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia serta memperjuangkan keadilan untuk warga Gaza yang menjadi korban serangan udara Israel,” tambahnya.

Sejak diberlakukan 1 Juli 2002, Statuta Roma yang menjadi cikal bakal ICC belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Padahal Indonesia pernah merencanakan ratifikasi Statuta tersebut.

Sebelumnya, dalam Peninjauan Berkala Universal (UPR) di Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada bulan Mei 2017, Indonesia gagal untuk secara eksplisit menerima rekomendasi untuk meratifikasi Statuta Roma.

Menurut Amnesty International, pasukan Israel telah melakukan sejumlah serangan udara yang menargetkan bangunan tempat tinggal yang dalam sejumlah kasus menewaskan seluruh keluarga – termasuk anak-anak – dan menyebabkan kerusakan sewenang-wenang pada properti sipil, dalam serangan yang tergolong sebagai kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

Amnesty mendokumentasikan setidaknya terdapat empat serangan mematikan oleh Israel yang diluncurkan di rumah-rumah hunian di wilayah Gaza tanpa ada peringatan sebelumnya. Korban tewas di wilayah tersebut terus meningkat dengan sedikitnya 198 warga Palestina tewas termasuk 58 anak-anak dan lebih dari 1.220 terluka. Sepuluh orang di Israel, termasuk dua anak, telah tewas dan sedikitnya 27 orang lainnya luka-luka akibat serangan Palestina.

Menurut data dari Pusat Hak Asasi Manusia Al Mezan, ada setidaknya 152 properti residensial di Gaza yang dihancurkan sejak 11 Mei, dengan setidaknya 213 korban meninggal, 62 di antaranya anak-anak. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum Palestina, di Gaza, serangan Israel telah menghancurkan 94 gedung, yang mencakup 461unit tempat tinggal dan komersil, sementara 285 unit tempat tinggal telah rusak parah dan dan menjadi tidak layak huni.

Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA), lebih dari 2.500 orang kehilangan tempat tinggal karena rumah mereka hancur dan lebih dari 38.000 orang telah mengungsi secara internal dan mencari perlindungan di 48 sekolah Agensi Pekerjaan dan Pemulihan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) di seluruh Gaza. 

Serangan roket tanpa pandang bulu yang dilakukan oleh kelompok bersenjata Palestina terhadap daerah sipil di Israel juga telah membunuh dan melukai warga sipil dan merusak rumah dan properti sipil lainnya. Roket yang diluncurkan dari Gaza ke Israel tidak akurat dan penggunaannya melanggar hukum humaniter internasional yang melarang penggunaan senjata yang sifatnya sembarangan. Serangan ini juga harus diinvestigasi oleh Mahkamah Pidana Internasional sebagai kejahatan perang. 

Amnesty International sebelumnya telah menerbitkan bukti bahwa kekuatan bersenjata Israel memiliki kebijakan yang disengaja untuk menargetkan rumah-rumah keluarga selama konflik pada tahun 2014. Oleh karena itu, Amnesty International menyerukan agar Mahkamah Pidana Internasional (ICC) segera menyelidiki serangan-serangan berupa kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang ini.

Serangan mengerikan terhadap rumah-rumah keluarga 

Dalam salah satu pemboman terberat sejak konflik terbaru dimulai, antara pukul 01.00 dan 02.00 pada 16 Mei, Israel melakukan serangan udara terhadap bangunan tempat tinggal dan jalan-jalan di Kota Gaza. Serangan itu menghancurkan dua bangunan tempat tinggal milik keluarga Abu al-Ouf dan al-Kolaq – menewaskan 30 orang – 11 di antaranya anak-anak.

Gedung Kementerian Tenaga Kerja Gaza juga hancur dalam serangan itu. Serangan itu memblokir Jalan al-Wehda, salah satu jalan utama menuju rumah sakit utama di Gaza, al-Shifa.

Keluarga yang tinggal di gedung al-Ouf, yang terdiri atas empat lantai termasuk apartemen dan toko tempat tinggal, tidak menerima peringatan sebelumnya – mereka terkubur di bawah reruntuhan dalam serangan itu.

Yousef Yassin, petugas medis dari Rumah Sakit al-Shifa, adalah salah satu orang pertama yang tiba di lokasi Gedung al-Ouf setelah serangan itu dan membantu menarik korban selamat dari reruntuhan dengan Bulan Sabit Merah. Dia menggambarkan kejadian itu kepada Amnesty International sebagai “kehancuran besar”.

“Saya membantu mengeluarkan empat [jenazah], tetapi masih banyak lagi. Itu sangat sulit. Tidak ada peringatan, jadi orang-orang di dalam rumah duduk bersama, dan ini adalah area yang sibuk dan ramai, ”katanya. 

Sesaat sebelum tengah malam pada tanggal 14 Mei, serangan udara Israel menghantam gedung tiga lantai di mana keluarga al-Atar bertempat tinggal di Beit Lahia dan menewaskan Lamya Hassan Mohammed al-Atar, 28, dan ketiga anaknya: Islam, tujuh, Amira, enam, dan Mohammed, bayi berusia delapan bulan.

Ayah Lamya, Hassan al-Atar, seorang perwira pertahanan sipil mengatakan kepada Amnesty International bahwa dia menuju ke lokasi serangan dengan ambulans dan tim penyelamat setelah seorang kerabat meneleponnya dengan kabar tentang serangan itu. “Dia memberi tahu saya bahwa rumah kami telah dibom dan [dia] terjebak di bawah reruntuhan [bersama] istri dan anak-anaknya,” katanya.

“Saya tiba di rumah, yang terdiri dari tiga lantai – 20 orang tinggal di sana – saya mencoba mencari orang, tetapi saya tidak bisa. Kemudian tim penyelamat datang untuk membantu dan kami akhirnya menemukan putri saya, ibu tiga anak, dengan anak-anaknya, salah satunya masih bayi, di bawah salah satu pilar semen rumah; semuanya tewas. Warga lainnya tampaknya berhasil melarikan diri dari celah setelah pemboman dan sampai ke rumah sakit. Saya tertegun,” katanya.

Nader Mahmoud Mohammed al-Thom, dari daerah al-Salatin di Beit Lahia, menggambarkan bagaimana rumahnya, di mana dia tinggal bersama delapan orang lainnya, diserang tanpa peringatan apa pun tidak lama setelah tengah malam pada tanggal 15 Mei.

“Tidak ada rudal peringatan, tidak ada panggilan peringatan, rumah itu dibom, dan kami berada di dalam. Alhamdulillah pertahanan sipil kebetulan sudah dekat dan menyelamatkan kami dari bawah reruntuhan, alhamdulillah tidak ada yang meninggal. Kami mengalami luka-luka tetapi tidak serius, ketika kami keluar saya melihat kebakaran di pintu gerbang rumah, kemudian ambulans membawa kami ke rumah sakit. Saya pikir ini adalah saat saya kehilangan kesadaran. Alhamdulillah tidak ada yang terluka parah tapi kami kehilangan rumah. Kami sekarang berada di jalanan; kami tidak tahu ke mana harus pergi dan apa yang harus kami lakukan. “

Keluarganya mencari perlindungan di sekolah UNRWA tetapi sekolah yang mereka datangi tutup ketika mereka tiba dan mereka harus tidur di halaman sekolah. Seluruh rumahnya hancur termasuk pakaian, uang dan dokumen serta semua barang miliknya.

Selain rumah tempat tinggal, serangan Israel juga merusak infrastruktur air dan listrik serta fasilitas medis dan menghentikan operasi pabrik Desalinasi Air Laut Gaza Utara, yang memasok air ke lebih dari 250.000 orang.