Kekerasan terhadap perempuan meningkat, RUU PKS dan RUU PPRT semakin mendesak

Memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret 2020, Amnesty International Indonesia mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk lebih serius dalam memajukan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, termasuk mensahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU RUU PKS).”

“Dua RUU ini mendesak disahkan demi terciptanya keadilan dan perlindungan hukum bagi perempuan pekerja rumah tangga dan para penyintas kekerasan seksual. Amnesty mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk merevisi atau mencabut segala peraturan yang diskriminatif terhadap perempuan.”

“Yang dibutuhkan saat ini adalah payung hukum komprehensif. Rumusan definisi kekerasan seksual di peraturan perundang-undangan masih memuat banyak celah yang mendorong terjadinya ketiadaan hukuman atau impunitas pelaku kekerasan seksual. Untuk pekerja rumah tangga, yang mayoritas perempuan dan anak perempuan, hak-hak mereka belum diatur dengan baik sehingga rentan terhadap eksploitasi dan perlakuan buruk. Daripada RUU Omnibus Cipta Kerja, lebih baik RUU Omnibus Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.”

“Pemerintah dan DPR RI harus memperhatikan catatan Komnas Perempuan. Selama 12 tahun belakangan ini, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat. Bahkan, pengaduan kasus kejahatan di dunia maya di tahun 2019 mencapai 281 kasus, naik 300 persen dari tahun sebelumnya.”

“Maka sewajarnya RUU PKS disahkan. Tentu dengan perluasan bentuk kekerasan seksual yang sebelumnya tak diatur KUHP.  Contoh, pelecehan seksual verbal atau catcalling itu harus bisa dipidana oleh UU PKS, sehingga penegak hukum nantinya dapat mencegah maupun menindak kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual.”

“Selain itu, perempuan pekerja juga kurang diperhatikan negara. Penelitian Amnesty soal pekerja rumah tangga, mayoritas perempuan menunjukkan lemahnya perlindungan negara terkait upah minimum, waktu istirahat, libur, dan jaminan kesehatan, bahkan seringkali bekerja tanpa kontrak. Pemerintah Indonesia harus lebih aktif mencegah segala bentuk diskriminasi berbasis gender dan menjamin akses keadilan bagi korban.”

“Amnesty mendorong Pemerintah dan DPR RI untuk mengatasi stereotip gender baik di peraturan perundang-undangan nasional seperti UU Pernikahan, lalu peraturan daerah seperti Jinayat di Aceh, hingga pernyataan pejabat negara yang mengandung gender stereotype.”

“Sebagai negara peratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), Indonesia wajib proaktif memajukan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan sesuai kewajiban HAM internasional.”

Latar belakang

Draft RUU PKS sudah masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2016, namun hingga sekarang DPR RI dan pemerintah belum juga mengesahkannya menjadi undang-undang. RUU ini memuat sanksi pidana terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk di dalamnya perkosaan dalam perkawinan. RUU ini memberikan perlindungan yang komprehensif terhadap perempuan yang kerap kali menjadi korban kekerasan seksual. Selain itu, RUU PKS juga mengatur hak korban untuk mendapatkan pemulihan pada aspek fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya.

Pada tanggal 6 Maret 2020, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan. Terdapat setidaknya 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019 yang mayoritas bersumber dari data kasus/perkara yang ditangani Pengadilan Agama. Komnas Perempuan juga mencatat, selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen. Ini artinya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir.

Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1993 menyebutkan bahwa negara harus tidak menunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, salah satunya dengan merumuskan sanksi dalam perundang-undangan nasional untuk menghukum tindak kekerasan terhadap perempuan serta mengatur mekanisme pemulihan yang efektif dan adil.

Terkait pekerja rumah tangga (PRT), data Organisasi Buruh Internasional (ILO) di tahun 2018 menyebut adanya lebih dari 4 juta pekerja rumah tangga di Indonesia, yang hingga saat ini belum terlindungi dengan baik. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum memberikan perlindungan hukum terhadap PRT.

Amnesty Internasional telah melakukan penelitian mengenai perempuan pekerja rumah tangga di tahun 2007. Dari studi ini, ditemukan bahwa para pekerja tersebut rentan mengalami pelanggaran hak asasi manusia seperti kekerasan fisik dan seksual serta tidak adanya standar hidup yang layak.

Indonesia saat ini belum meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189 tentang Pekerjaan Yang Layak Bagi PRT, yang isinya mengamanatkan adanya upah minimum, jam kerja, libur dan hak-hak normatif PRT sebagai pekerja. RUU PPRT juga telah diajukan sejak tahun 2004, namun, hingga kini pembahasan RUU tersebut belum dianggap prioritas.

Komnas Perempuan menyebut setidaknya terdapat 421 kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan, seperti peraturan daerah yang melarang perempuan keluar pada malam hari atau mengatur cara berpakaian perempuan. Kebijakan semacam ini dapat mengekang kebebasan perempuan serta berpotensi memberikan stigma negatif.

Selain itu, dalam Prolegnas tahun 2020-2024 juga terdapat RUU Ketahanan Keluarga. RUU ini memuat sejumlah pasal yang mengatur pembatasan peran perempuan dengan menyebutkan bahwa kewajiban istri hanya di ranah domestik, antara lain mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya serta memperlakukan suami dan anak dengan baik. Tidak hanya itu, terdapat RUU tentang Cipta Kerja yang juga belum berpihak kepada perempuan, contohnya adalah dengan tidak mencantumkan beberapa jenis cuti yang dibayar, termasuk cuti melahirkan dan cuti haid. Ketentuan-ketentuan di atas bersifat diskriminatif serta mereduksi peran perempuan.

Sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU No.7 Tahun 1984, Pemerintah Indonesia berkewajiban membuat peraturan yang dapat menghapus stigma dan diskriminasi terhadap perempuan.