Credit: Istimewa

Jangan Tunda Pembebasan Tahanan Hati Nurani

Merespon penundaan pembebasan lima tahanan hati nurani Papua di Jakarta, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Penundaan ini sangat tidak dapat diterima. Para tahanan politik yang dalam istilah kami adalah tahanan hati nurani tersebut harus segera dibebaskan dan tanpa syarat. Mereka bahkan seharusnya tidak pernah dipenjara sejak semula.”

“Penundaan ini terjadi setelah otoritas rumah tahanan memberikan alasan berbelit-belit. Awalnya mereka menyatakan tidak bisa melepaskan mereka karena belum menerima salinan putusan. Setelah menerima salinan pun ternyata pelepasan mereka tak segera dijalankan. Bahkan pendamping mereka sempat melaporkan kepada Amnesty adanya oknum yang meminta uang. Ini menimbulkan dugaan adanya praktik jual beli asimilasi di penjara karena selama ini belum bisa benar-benar dihapuskan, sebagaimana dibahas dalam rapat Dirjen Pemasyarakatan dengan Komisi 3 Senin lalu di DPR.”

“Kami juga sempat meminta Ombudsman ikut turun tangan karena kuatnya dugaan mal-administrasi Walaupun pihak berwenang kemudian secara resmi berdalih bahwa alasan penundaan pembebasan mereka itu dikarenakan ancaman penyebaran Covid-19 serta aturan pemerintah terkait kejahatan terhadap keamanan negara, tetap saja itu seharusnya tidak berlaku untuk tahanan hati nurani yang sejak awal memang tidak terlibat tindakan kriminal.”

“Mereka hanya menyampaikan ekspresi dan pendapat politiknya secara damai, dan itu adalah hak mereka yang jelas dilindungi oleh hukum HAM internasional. Jadi tidak ada alasan untuk memenjarakan mereka lebih lama.”

“Jika pihak berwenang ingin mendengarkan imbauan Komisi Tinggi HAM PBB dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19 di penjara, justru pembebasan terhadap seluruh tahanan hati nurani tersebut sangat mendesak dan harus menjadi prioritas. Di Rutan Pondok Bambu, bahkan ada dugaan kuat bahwa belasan narapidana terinfeksi COVID-19 sehingga alasan penundaan ini semakin tidak bisa diterima.”

“Jangan lupa, di samping mereka, kelompok lain yang juga harus segera dibebaskan tanpa syarat adalah perempuan hamil, orang dengan disabilitas, orang lanjut usia, orang yang sakit, pelaku kejahatan ringan serta tahanan yang akan segera menyelesaikan masa hukumannya. Hal ini untuk mengurangi kondisi over-kapasitas penjara yang dapat membahayakan kesehatan bahkan nyawa mereka di tengah masa pandemi seperti ini.”

Latar belakang

Lima tahanan hati nurani Papua yang ditahan di Jakarta — Paulus Surya Anta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Dano Anes Tabuni, dan Arina Lokbere — awalnya dijadwalkan untuk dibebaskan pada 12 Mei 2020.

Kelimanya ditangkap pada 28 Agustus 2019 karena mengadakan aksi damai di depan Istana Negara menentang tindakan rasisme terhadap masyarakat Papua. Mereka ditahan atas tuduhan makar dan ditahan hingga keluar putusan pidana delapan dan sembilan bulan hukuman penjara.

Namun, pihak berwenang memutuskan untuk menunda pembebasan mereka hingga 26 Mei berdasarkan beberapa alasan. Pembebasan Arina Lokbere ditunda atas alasan pencegahan penyebaran virus Covid-19, sementara empat lainnya ditunda karena dianggap tidak memenuhi syarat untuk dibebaskan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.

PP tersebut menyebutkan bahwa semua tahanan pidana terorisme, kejahatan yang mengancam keamanan negara dan pelanggaran HAM berat tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan asimilasi tanpa persetujuan institusi Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Badan National Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Salah seorang tahanan politik lain, Isay Wenda, dipidana delapan bulan penjara atas tuduhan makar, dan telah dibebaskan pada 24 April 2020.

Total enam tahanan hati nurani tersebut merupakan sebagian kecil dari total 55 tahanan nurani Papua yang hingga kini masih berada di balik jeruji besi karena menyampaikan ekspresi politiknya secara damai. Mereka termasuk aktivis politik, pembela HAM dan warga sipil yang ikut menyerukan aksi protes secara damai. Jumlah tersebut tidak termasuk tahanan nurani asal Maluku yang juga masih dalam tahanan.

Berdasarkan informasi dari pengacara para tahanan nurani tersebut, mereka telah melengkapi seluruh persyaratan berkas administrasi sesuai prosedur untuk segera dibebaskan. Kantor administrasi rumah tahanan bahkan telah memastikan bahwa mereka akan dibebaskan kemarin. Namun, secara tiba-tiba otoritas rumah tahanan menyatakan bahwa kelima tahanan nurani itu tidak akan diberikan asimilasi karena mereka melakukan kejahatan yang mengancam keamanan negara, sehingga tidak memenuhi syarat yang termaktub dalam PP 99/2012.

Rencana pembebasan tersebut awalnya merujuk pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19, di mana pemerintah Indonesia memutuskan untuk membebaskan sekitar 30.000 tahanan di seluruh Indonesia sebagai bentuk pencegahan penularan virus Covid-19 di penjara-pejara yang sudah over-kapasitas.

Pada 25 Maret 2020, Komisi HAM PBB memperingatkan pemerintah tentang adanya konsekuensi “bencana” bagi para tahanan di penjara di tengah pandemi ini jika penjara-penjara masih terlalu padat. PBB meminta pemerintah untuk membebaskan setiap orang yang ditahan tanpa dasar hukum yang kuat dan membebaskan mereka yang rentan terhadap resiko penularan Covid-19.

Amnesty International mendesak pemerintah untuk mengkaji kembali perlunya melanjutkan masa penahanan demi menjaga kesehatan orang-orang yang berada dalam tahanan, staf penjara dan masyarakat secara umum. Pemerintah harus mempertimbangkan apakah tahanan memenuhi syarat untuk pembebasan bersyarat, pembebasan lebih awal, atau dikenakan hukuman alternatif non-penahanan. Mereka harus sepenuhnya mempertimbangkan keadaan individu dan risiko yang akan ditimbulkan pada kelompok tahanan tertentu, seperti orang lanjut usia atau mereka yang memiliki kondisi medis tertentu yang serius, juga termasuk mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah.

Mengingat bahwa penyebaran penyakit menular adalah masalah kesehatan masyarakat, terutama di lingkungan penjara, diharapkan bahwa, dengan persetujuan masing-masing individu, semua tahanan dapat memiliki akses terhadap tes COVID-19 secara gratis. Bagi mereka yang tetap berada dalam tahanan, pihak berwenang wajib menyediakan standar perawatan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan masing-masing orang dan memastikan perlindungan maksimal dari penyebaran COVID-19.