Polisi dan Militer membunuh di luar hukum hampir 100 orang di Papua selama 2010-2018 tanpa akuntabilitas

Aparat keamanan telah melakukan pembunuhan di luar hukum (unlawful killings) terhadap setidaknya 95 orang dalam kurun waktu kurang dari delapan tahun di provinsi Papua dan Papua Barat dan hampir semua pelaku belum belum pernah diadili lewat sebuah mekanisme hukum yang independen, kata Amnesty International saat meluncurkan laporan investigasi terbarunya hari ini. Mayoritas dari korban tersebut, 85, adalah Orang Asli Papua (OAP).

Laporan tersebut, yang berjudul “‘Sudah, Kasi Tinggal Di Mati’: Pembunuhan dan Impunitas di Papua”, menggambarkan bagaimana polisi dan militer menembak mati para aktivis kemerdekaan dan pengunjuk rasa yang melakukan aksi protes damai, serta puluhan warga Papua lainnya yang tidak terkait dengan gerakan kemerdekaan, termasuk seorang pemuda yang mengalami gangguan jiwa. Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah berjanji untuk mengutamakan perlindungan hak asasi manusia di Papua, namun pembunuhan di tanah Papua masih belum berhenti dan terus terjadi pasca Jokowi dilantik menjadi presiden di tahun 2014.

“Papua merupakan salah satu lubang hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Di wilayah ini, pasukan keamanan membunuh wanita, pria dan anak-anak selama bertahun-tahun, tanpa kemungkinan untuk dimintai pertanggungjawaban dalam suatu mekanisme hukum yang independen,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

“Penelitian kami menemukan hampir 100 orang telah dibunuh di luar hukum dalam kurun waktu kurang dari delapan tahun — itu sekitar satu orang setiap bulan. Ini adalah noda hitam dalam catatan HAM Indonesia. Sudah saatnya untuk melakukan perbaikan — pembunuhan di luar hukum di Papua harus diakhiri. Budaya impunitas yang ada pada pasukan keamanan harus dihilangkan, dan mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan di masa lalu harus diadili melalui mekanisme hukum yang independen.”

Laporan ini mendokumentasikan setidaknya terdapat 95 korban dalam 69 insiden pembunuhan di luar hukum antara Januari 2010 dan Februari 2018, dimana 56 korban dibunuh dalam konteks non-kemerdekaan dan 39 lainnya terkait dengan kegiatan pro-kemerdekaaan yang damai seperti unjuk rasa atau pengibaran bendera Bintang Kejora.

Walupun banyak korban jatuh akibat pembunuhan di luar hukum di Papua, pihak berwenang Indonesia hampir sepenuhnya gagal untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku. Tak satu pun dari pelaku telah diadili dan dihukum melalui pengadilan independen. Hanya segelintir kasus yang berujung dengan sanksi disiplin atau pelaku diproses melalui pengadilan militer.

“Sangat mengkhawatirkan melihat fakta bahwa polisi dan militer menerapkan taktik kejam dan mematikan yang mereka gunakan terhadap kelompok bersenjata pada aktivis politik damai. Semua pembunuhan di luar hukum melanggar hak untuk hidup, yang dilindungi oleh hukum internasional dan Konstitusi Indonesia,” kata Usman Hamid.

“Ada hubungan langsung antara impunitas dan pelanggaran hak asasi manusia yang berkelanjutan. Kegagalan menginvestigasi dan mengadili pelaku akan membuat mereka percaya bahwa mereka berada di atas hukum. Hal ini juga memicu perasaan dendam dan menimbulkan ketidakadilan di Papua.”

Akuntabilitas atas Pembunuhan di Luar Hukum di Papua

Para keluarga korban mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka masih ingin melihat para pelaku pembunuhan orang-orang tercinta mereka dibawa ke pengadilan.

Dalam 69 insiden yang didokumentasikan dalam laporan tersebut, tidak satupun pelaku menjalani investigasi kriminal oleh lembaga independen dari institusi yang anggotanya diduga melakukan pembunuhan.

Dalam 25 kasus tidak ada investigasi sama sekali, bahkan tidak ada pemeriksaan internal. Sementara itu, dalam 26 kasus polisi atau TNI mengaku bahwa mereka telah melakukan investigasi internal, namun tidak mempublikasikan hasilnya.

“Kegagalan negara dalam menjamin investigasi yang cepat, independen dan efisien terhadap kasus pembunuhan pembunuhan di luar hukum juga merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Investigasi terhadap kasus-kasus ini sangat diperlukan demi memastikan keadilan dan mencegah upaya-upaya pelanggaran di masa mendatang. Selain itu, ini merupakan elemen penting dari kewajiban positif negara untuk mencegah perampasan hak hidup yang sewenang-wenang,” kata Usman Hamid.

Pembunuhan di Luar hukum yang tidak Terkait dengan Kegiatan Pro-Kemerdekaan

Sebagian besar pembunuhan di luar hukum yang didokumentasikan dalam laporan Amnesty International terjadi dalam konteks peristiwa non-politik, tidak terkait dengan seruan kemerdekaan atau referendum di Papua. Jenis pembunuhan di luar hukum ini terjadi ketika aparat keamanan berhadapan dengan aksi protes damai dan gangguan ketertiban umum, terutama pada saat aparat menangkap tersangka kriminal, atau juga kelakuan buruk personel keamanan.

Pembunuhan pada saat pemolisian perkumpulan dan gangguan ketertiban umum yang bersifat non-politik dan kericuhan masyarakat contohnya pembunuhan terhadap Petrus Ayamiseba dan Leo Wandagau — dua pekerja yang melakukan protes yang dipekerjakan di perusahaan tambang emas dan tembaga Freeport di Timika pada 10 Oktober 2011 — dan penembakan tanpa peringatan oleh anggota Brimob di Deiyai pada kerumunan yang membunuh Yulianis Pigai pada 1 Agustus 2017.

Laporan tersebut menunjukkan insiden pembunuhan di luar hukum sebagai akibat dari pelanggaran individu petugas keamanan di Papua yang merenggut nyawa 25 orang. Ini termasuk serangan tentara di desa-desa di Honelama, Wamena pada 6 Juni 2012, dan pembunuhan Irwan Wenda, seorang pria Papua yang mengalami gangguan jiwa, yang dibunuh oleh polisi setelah dia memukul petugas menggunakan sepotong tebu.

Pembunuhan di Luar Hukum yang terkait dengan Aktivitas Politik

Aparat keamanan juga membunuh di luar hukum orang-orang Papua atas kegiatan politik mereka, termasuk masalah kemerdekaan atau referendum untuk Papua. Jenis pembunuhan di luar hukum ini terjadi ketika pasukan keamanan berhadapan dengan unjuk rasa damai, khususnya upacara pengibaran bendera atau pertemuan agama pada tanggal peringatan.

Tentara dan polisi melepaskan tembakan ke udara untuk membubarkan sekitar 1.000 delegasi di Kongres Rakyat Papua III — sebuah kegiatan pro-kemerdekaan damai — yang menewaskan tiga warga sipil, pada 19 Oktober 2011.

Dalam insiden lain, polisi dan TNI melancarkan operasi gabungan di Aimas, Sorong pada 30 April 2013 untuk membubarkan doa malam damai yang diadakan oleh Isak Kalaibin — seorang anggota kelompok pro-kemerdekaan — dimana mereka menduga bendera Bintang Kejora yang dilarang pemerintah akan dikibarkan. Para peserta doa memblokir dan menggedor mobil Wakapolres dengan tinju dan tongkat. Tiba-tiba, aparat keamanan dari mobil-mobil lain menembaki kerumunan dan rumah-rumah di daerah itu, menewaskan tiga orang dan melukai lima lainnya.

Sementara itu, di desa Wanampompi, Kepulauan Yapen pada 1 Desember 2015, polisi dan personil militer melepaskan tembakan ke kerumunan upacara pengibaran bendera secara damai, yang menewaskan empat orang.

“Ketiga kasus tersebut menggambarkan kegagalan pasukan keamanan Indonesia untuk membedakan antara orang-orang bersenjata yang membahayakan nyawa dan aktivis damai, dan antara ekspresi berpendapat dan berkumpul secara damai dan tindakan kekerasan fisik. Polisi dan tantara harus mengubah pendekatan mereka dalam menangani kegiatan politik damai,” tambah Usman Hamid.

Rekomendasi Amnesty International

Amnesty International menyerukan kepada pihak berwenang Indonesia untuk memastikan bahwa semua pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan diselidiki secara cepat, independen, tidak memihak dan efektif. Penyidikan dan penuntutan apa pun tidak boleh terbatas pada pelaku langsung, namun juga melihat ke dalam keterlibatan atasan, terlepas dari pangkat.

Pihak berwenang harus mengambil langkah inisiatif untuk menghentikan pembunuhan di luar hukum di Papua termasuk dengan mengeluarkan dan menegakkan instruksi yang sesuai dengan hak asasi manusia kepada TNI dan polisi tentang penggunaan kekuatan, dan memastikan keadilan dan reparasi bagi para korban dan keluarga mereka.

Juga, sangat penting untuk meninjau ulang taktik yang digunakan polisi, militer atau penegak hukum lainnya dan penggunaan kekuatan dan senjata api selama penangkapan, untuk memastikan mereka memenuhi standar internasional.