Indonesia harus akhiri vonis hukuman mati untuk terpidana narkoba

Aparat penegak hukum di Indonesia harus segera mengakhiri pemberian vonis hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba, kata Amnesty International Indonesia hari ini memeringati Hari Internasional Menentang Penyalahgunaan dan Perdagangan Gelap Narkoba.

Indonesia berada di dalam daftar negara Asia di mana vonis hukuman mati terkait narkoba memiliki proporsi yang besar di antara semua vonis hukuman mati yang dijatuhkan. Sebanyak 101 dari 117 (86 persen) hukuman mati di pengadilan Indonesia pada tahun 2020 dijatuhkan terhadap terpidana kasus narkoba.

Lima warga negara asing –yang semuanya berkebangsaan Malaysia -berada di antara terpidana narkoba yang dijatuhi hukuman mati tahun lalu.

“Kami mendesak para penegak hukum di negara ini untuk mengakhiri penggunaan hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkoba. Ini memang tidak akan popular. Tapi ini adalah langkah awal yang penting untuk memastikan kebijakan penanggulangan narkoba dirancang secara efektif untuk melindungi masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

“Di sini, para pejabat sering menggunakan klaim “efek jera” untuk membenarkan penggunaan hukuman mati, bahkan terhadap napi narkoba. Padahal, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa tidak ada cukup bukti yang mendukung keyakinan bahwa penggunaan hukuman mati membuat tingkat kejahatan menjadi lebih rendah,” ungkap Usman.

Selain Indonesia, Laos (9 dari 9 kasus atau 100 persen), Singapura (6 dari 8 kasus atau 75 persen) dan Vietnam (47 dari 54 kasus atau 87 persen) juga menjadi negara Asia dengan proporsi vonis hukuman mati terhadap terpidana narkoba yang cukup signifikan.

Hingga saat ini, hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkoba masih berlaku di lebih dari 30 negara di dunia. Sementara itu, penjatuhan vonis hukuman mati untuk pelanggaran terkait narkoba juga masih mengkhawatirkan. Sebanyak 179 vonis hukuman mati baru telah dijatuhkan di delapan negara tahun lalu, atau sekitar 12% dari semua vonis hukuman mati yang berhasil dicatat oleh Amnesty International sepanjang tahun 2020.

“Kalau kita merujuk pada hukum hak asasi manusia internasional, di negara-negara di mana hukuman mati belum dihapuskan, ini putusannya harus terbatas pada ‘kejahatan yang paling serius’, yang ditafsirkan sebagai pembunuhan yang disengaja,” lanjut Usman.

Komite Hak Asasi Manusia PBB menyatakan bahwa “kejahatan yang tidak mengakibatkan kematian secara langsung dan disengaja, seperti kejahatan narkoba dan seksual, meski serius sekalipun, tidak pernah boleh menjadi dasar -dalam kerangka pasal 6 [Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik] -untuk penjatuhan hukuman mati.

Di tingkat global, Amnesty International juga mendesak negara-negara di dunia untuk segera menghapus hukuman mati dan mengakhiri penghukuman yang melanggar hak asasi manusia dengan dalih pengendalian narkoba. Kami juga meminta Dewan Ekonomi dan Sosial PBB serta badan di bawahnya, UNODC (Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan), untuk menempatkan perlindungan hak asasi manusia sebagai fokus bahasan dan komitmen dalam merumuskan kebijakan pengendalian narkoba, pencegahan kejahatan serta reformasi peradilan pidana.

Amnesty International dengan tegas menentang hukuman mati untuk segala kasus tanpa terkecuali karena hukuman ini merupakan pelanggaran hak untuk hidup sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Kami tidak menolak penghukuman terhadap para terpidana narkoba, namun bentuk hukuman kepada mereka harus bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan derajat dan martabat manusia.

Sampai hari ini, 109 negara telah sepenuhnya menghapus hukuman mati dari undang-undang mereka, dan total 142 – lebih dari dua pertiga negara di dunia – telah menghapus hukuman mati dalam praktek hukum mereka.