Hentikan Segala Bentuk Penyiksaan Terhadap Tahanan Nurani

Memperingati Hari Dukungan Untuk Korban Penyiksaan Sedunia yang jatuh pada 26 Juni setiap tahunnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Segala bentuk penyiksaan, perlakuan dan hukuman yang kejam terhadap para tahanan, termasuk tahanan hati nurani, adalah tindakan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Kami mendesak Pemerintah untuk memastikan tidak ada lagi praktik kekerasan tersebut terhadap para tahanan yang dilakukan oleh otoritas penjara maupun sesama tahanan lain.”

“Pemantauan kami menunjukkan bahwa tahanan nurani Papua seringkali mendapat perlakuan yang tidak manusiawi yang sangat menyiksa, mulai dari dijauhkan serta dipersulit untuk bertemu keluarga dan kuasa hukum, tidak disediakan makanan dan sanitasi yang layak, tidak mendapatkan penanganan medis yang layak ketika kondisi kesehatannya menurun, hingga kekerasan fisik seperti pemukulan oleh aparat setempat. Semua tindakan ini jelas pelanggaran HAM, secara khusus hak untuk tidak disiksa dan diperlakukan dengan cara yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat.”

“Kami mendesak negara untuk segera bertindak, melakukan investigasi secara independen, dan membawa ke ranah hukum semua pihak yang bertanggung jawab atas tindakan penyiksaan terhadap tahanan dalam penjara, secara khusus, dan masyarakat sipil secara umum. Momentum Hari Dukungan Untuk Korban Penyiksaan Sedunia ini juga penting untuk mengingatkan negara agar kejadian penyiksaan, penganiayaan, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang serta penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat negara terhadap mereka yang menggunakan hak atas kebebasan berekspresi tidak terjadi lagi ke depannya.”

Latar belakang

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Amnesty International Indonesia, sepanjang Juni 2019 hingga Juni 2020, terdapat setidaknya 56 kasus penyiksaan terhadap tahanan dengan 87 korban. Sebagian besar penyiksaan ini dilakukan polisi (45 kasus dengan jumlah korban 69 orang). Selain itu penyiksaan terhadap tahanan juga dilakukan oleh pihak lembaga pemasyarakatan (6 kasus dengan korban 12 orang) disusul dengan personel TNI (4 kasus dengan 5 korban) dan jaksa (satu kasus dengan satu korban).

Tujuh tahanan hati nurani Papua yang baru divonis di Balikpapan, Kalimantan Timur, juga menyatakan bahwa mereka mengalami penyiksaan saat penangkapan dan pemeriksaan awal. Beberapa dari mereka ditutup matanya saat ditangkap, kemudian dipukul di bagian kepala. Bahkan, pada saat pemeriksaan awal mereka tidak didampingi oleh kuasa hukum. Mereka juga dipindahkan paksa dari penjara di Jayapura ke Balikpapan yang membuat mereka harus menjalani sidang jauh dari keluarga dan kerabat.

Penyiksaan lainnya juga dialami tahanan nurani Papua, Assa Asso, yang saat ini ditahan di Jayapura dengan pasal makar hanya karena mengunggah video tentang aksi unjuk rasa anti rasisme di media sosial pribadinya tanpa melakukan orasi didepan masa aksi. Saat ditangkap, pihak kepolisian tidak menunjukan surat tugas dan surat penangkapan bahkan ia sempat mengalami tindakan kekerasan dari aparat. Ia dipukul dan dijemur di bawah terik matahari dalam keadaan tanpa pakaian.

Praktik penyiksaan dengan jelas dilarang dalam instrumen perlindungan HAM. Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak‑Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum No. 20 terhadap Pasal 7 ICCPR menyatakan bahwa “tidak seorang pun dapat mengalami penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.” Dalam Paragraf 5 Komentar Umum No. 20 terhadap Pasal 7 ICCPR juga dijelaskan bahwa penyiksaan tidak terbatas hanya penyiksaan fisik, tapi juga termasuk penyiksaan mental atau psikologis.

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), yang telah diratifikasi melalui UU No. 5/1998, juga jelas menyatakan bahwa penyiksaan dan sejenisnya dilarang, dan tanpa pengecualian, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik dalam negeri, maupun keadaan darurat lainnya.

Dalam kerangka hukum nasional, hak untuk tidak disiksa juga telah dijamin dalam Konstitusi, yaitu Pasal 28I, dan Pasal 4 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di tingkat kepolisian sekalipun, larangan untuk melakukan penyiksaan, intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual telah diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b dan Pasal 13 ayat (1) huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.