Hentikan represi kebebasan sipil saat ajang KTT G20 di Indonesia

Pemimpin negara-negara G20 harus menggunakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ini sebagai ajang untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap perlindungan hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai, di tengah meningkatnya serangan terhadap kebebasan sipil di Indonesia dan berbagai negara lainnya di dunia, kata Amnesty International Indonesia hari ini.

Negara-negara anggota G20 harus memfasilitasi hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat dan berkumpul secara damai dengan memastikan bahwa masyarakat sipil dapat menyuarakan aspirasinya dan mengadakan protes secara damai menjelang KTT pada tanggal 15-16 November di Bali, serta mendesak Indonesia sebagai negara tuan rumah untuk menghentikan represi atas kebebasan sipil.

“Pemimpin negara-negara G20 harus mendesak pemerintah Indonesia untuk memenuhi kewajibannya dalam menghormati dan melindungi hak atas kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai, termasuk dengan memastikan ruang yang aman dan mendukung untuk masyarakat sipil melakukan aktivitasnya dalam membela dan memajukan HAM tanpa ancaman,” kata Usman.

“Pihak berwenang di Indonesia tidak boleh menargetkan ataupun membiarkan tindakan represif apapun oleh aktor negara maupun non-negara terhadap pihak-pihak yang mengekspresikan kritik secara damai, termasuk kritik terhadap G20. Pengamanan KTT tidak boleh menjadi alasan penyempitan ruang kebebasan sipil,” ujar Usman.

Pertemuan tahunan 20 negara ekonomi terbesar di dunia tahun ini diadakan di Indonesia, di tengah berlanjutnya pembungkaman terhadap anggota masyarakat sipil yang mengekspresikan kritik secara damai dan aksi-aksi represif yang terjadi menjelang KTT G20.

Pada awal bulan November, anggota tim pesepeda Greenpeace Indonesia yang mengkampanyekan krisis iklim jelang KTT G20 mengalami intimidasi dan teror dalam perjalanan menuju Bali. Menurut informasi yang diterima Amnesty, aparat keamanan diduga memantau pergerakan dan aktivitas mereka secara ketat. Mereka juga dipaksa oleh organisasi masyarakat lokal di Probolinggo untuk menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa Greenpeace tidak akan melakukan aktivitas kampanye apapun selama KTT G20 berlangsung di Bali.

Pada tanggal 12 November 2022, aparat keamanan lokal dan petugas desa dilaporkan membubarkan secara paksa rapat internal yang diadakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di sebuah villa di Sanur, Bali, dengan alasan kebijakan daerah yang membatasi kegiatan publik menjelang KTT G20. Beberapa orang yang diduga sebagai aparat kepolisian diduga berupaya memeriksa ponsel dan laptop peserta acara tanpa adanya surat perintah penggeledahan resmi. Beberapa anggota YLBHI sempat tidak diperbolehkan keluar villa. Mobil yang digunakan YLBHI kemudian dibuntuti oleh beberapa pengendara sepeda motor ketika meninggalkan villa.

“Aksi-aksi intimidatif terhadap aktivis damai seperti ini adalah bentuk pembungkaman kritik yang tak dapat dibenarkan,” kata Usman, “Negara-negara anggota G20 harus membuka akses untuk masyarakat sipil menyuarakan secara damai isu-isu HAM yang menjadi perhatian mereka dan yang harus direspon secara serius oleh pemerintah.”

Bulan Oktober lalu, Amnesty International Indonesia merilis laporan terbaru kami tentang situasi kebebasan sipil di Indonesia yang mendeskripsikan bagaimana ruang untuk masyarakat sipil telah menyempit selama tiga tahun terakhir karena serangan-serangan terhadap hak atas kebebasan berekspresi, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai, hak atas rasa aman, dan hak untuk bebas dari penahanan sewenang-wenang. Temuan-temuan dalam laporan ini selaras dengan hasil pemantauan global Amnesty di 154 negara pada tahun 2021 yang menemukan bahwa hak-hak fundamental tersebut “mengalami represi yang mengkhawatirkan di seluruh dunia”.

Amnesty mencatat bahwa di antara bulan Januari 2019 dan Mei 2022, terdapat setidaknya 328 serangan fisik dan digital terhadap anggota masyarakat sipil, khususnya pembela HAM, yang diduga dilakukan oleh aktor negara dan non-negara, dengan setidaknya 834 korban. Sebagian besar dari kasus yang tercatat dibiarkan tanpa pertanggungjawaban atau ganti rugi untuk korban.

Pasal-pasal karet yang membatasi kebebasan berpendapat di bawah UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap kali disalahgunakan untuk mengkriminalisasi mereka yang mengekspresikan opini di media sosial dan yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Dalam periode Januari 2019-Mei 2022, Amnesty mencatat terdapat setidaknya 316 kasus kriminalisasi yang diakibatkan adanya pasal multitafsir dalam UU ITE, dengan total setidaknya 332 korban.

Penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian dalam menangani aksi protes, seperti penyalahgunaan gas air mata dan kekerasan fisik, semakin merepresi ruang sipil. Selain itu, Amnesty juga mencatat meningkatnya tren serangan terhadap aktivis dan pembela HAM di Indonesia. Aparat penegak hukum seringkali gagal menyelidiki dan menuntut pertanggungjawaban terduga pelaku di pengadilan.

“Pihak berwenang Indonesia juga harus segera mengambil langkah efektif dan memastikan bahwa semua serangan, intimidasi, dan ancaman terhadap anggota masyarakat sipil diselidiki secara cepat, menyeluruh, imparsial, independen, dan transparan untuk memutus rantai impunitas,” ujar Usman.