Hentikan Represi Dan Kekuatan Berlebihan Terhadap Pengunjuk Rasa Tolak Omnibus

Menyusul laporan adanya insiden kekerasan dan penangkapan terhadap ratusan pengunjuk rasa di berbagai kota selama 6-7 Oktober 2020, Amnesty International Indonesia mendesak kepolisian untuk menghentikan penggunaan kekuatan berlebih dalam menghadapi para pengunjuk rasa. Pihak berwenang Indonesia harus memastikan terwujudnya penghormatan penuh atas mulai meluasnya demonstrasi menyikapi pengesahan UU Omnibus Cipta Kerja, kata Amnesty International Indonesia hari ini.

“Demonstrasi adalah pelaksanaan hak asasi manusia atas kemerdekaan berekspresi dan berkumpul secara damai. Pihak berwenang harus memperbolehkan setiap warga masyarakat, baik buruh, petani maupun mahasiswa dan pelajar Indonesia untuk bisa berdemonstrasi secara bebas dan damai. Aparat keamanan harus menahan diri untuk menggunakan kekuatan yang tidak perlu, berlebihan atau eksesif, apalagi jika sampai mengintimidasi demonstran,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Setelah pengesahan UU Omnibus Cipta Kerja oleh DPR RI pada Senin 5 Oktober lalu, berbagai serikat buruh, organisasi mahasiswa, akademisi dan aktivis telah mengumumkan rencana untuk menggelar protes damai di Jakarta dan berbagai kota lainnya sepanjang pekan ini, yang mereka tujukan untuk menolak hasil pengesahan UU kontroversial tersebut.

Dalam catatan Amnesty, sedikitnya 180 pengunjuk rasa di Bandung terluka. Sementara di Serang, 24 mahasiswa juga mengalami luka bahkan hingga gegar otak.

“Kenyataan bahwa gas air mata dan kekerasan seperti aksi memukul dan menendang digunakan terhadap pengunjuk rasa yang tak bersenjata sangatlah mengkhawatirkan,” kata Direktur Eksekutif Amenesty International Indonesia Usman Hamid, hari ini.

Amnesty International Indonesia menilai gas air mata, seperti senjata yang tidak mematikan lainnya, yaitu peluru karet, bisa menyebabkan cedera serius, dan dalam beberapa kejadian, menyebabkan kematian. Ketika senjata semacam itu digunakan, harus sesuai dengan prinsip legalitas, prinsip keperluan dan prinsip proporsionalitas.

Berdasarkan laporan dari sejumlah lembaga bantuan hukum di berbagai kota, ratusan pengunjuk rasa ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian. Di Serang, Banten, 14 orang ditahan. Kepada Amnesty, kuasa hukum mengatakan bahwa pihak mereka kesulitan mengakses korban untuk memberikan pendampingan hukum.

Di kota yang sama pula, seorang mahasiswa Universitas Negeri Islam mengaku sempat mengalami sesak nafas setelah ditangkap dan diintimidasi polisi. Tiga mahasiswa lainnya sempat dibawa ke rumah sakit setelah terkena lontaran gas air mata. Seorang di antaranya bahkan mengalami gegar otak.

Di Semarang, Jawa Tengah, 50 pengunjuk rasa sempat ditangkap, dipaksa membuka baju dan dikumpulkan di kantor Gubernur. Laporan lembaga bantuan hukum setempat kepada Amnesty mengatakan bahwa para pengunjuk rasa ini dipukul dan ditangkap secara paksa.

Di Bandung, Jawa Barat, 75 orang ditangkap pada tanggal 7 Oktober. Di Minahasa, Sulawesi Utara, 17 pengunjuk rasa juga sempat ditahan walau kini telah dibebaskan.

“Aparat keamanan berkewajiban untuk menghormati hak untuk mengemukakan pendapat secara damai dan, bahkan jika kekerasan terjadi, hanya sedikit kekuatan yang perlu digunakan untuk mengatasinya,” sebut Usman.

Laporan berbagai media juga menyebut bahwa polisi mengintimidasi kelompok-kelompok yang bepergian dengan bus ke Jakarta, menangkap, memerintahkan mereka untuk kembali ke rumah masing-masing dan tidak bergabung dengan massa lain di Jakarta.

“Mencegah orang bergabung dengan protes damai adalah pelanggaran terhadap hak asasi mereka. Setiap orang memiliki hak untuk bergabung dengan orang lain dan mengekspresikan pikiran mereka secara damai, ” tambah Usman Hamid.

Amnesty International Indonesia juga mengingatkan pemerintah Indonesia untuk tidak melibatkan militer dalam penanganan demonstrasi, karena mereka tidak dilatih atau tidak dipersiapkan untuk menangani situasi seperti itu yang benar-benar asing bagi mandat dan misi perjuangan mereka.

Jika – secara khusus – mereka akan ditempatkan untuk tugas ini, maka mereka harus sepenuhnya dilatih dan diperlengkapi untuk memenuhi pekerjaan ini sesuai dengan hukum dan standar hak asasi manusia, terutama prinsip “melindungi kehidupan”, tunduk pada aturan yang sama seperti polisi reguler dan, dan harus ditempatkan di bawah pengawasan otoritas sipil.

Latar belakang

Dalam menggunakan kekuatan, aparat penegak hukum harus berupaya meminimalkan resiko bahaya dan cedera. Prinsip-prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (Prinsip-Prinsip Dasar) yang diadopsi di dalam negeri oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Kepala Polri (Perkap No. 1/2009) dengan jelas menetapkan bahwa petugas penegak hukum hanya dapat menggunakan kekuatan apabila cara-cara nir-kekerasan tidak berjalan efektif. Prinsip-prinsip Dasar tersebut mensyaratkan bahwa dalam rangka membubarkan aksi damai yang melanggar hukum di bawah undang-undang domestik, petugas penegak hukum harus sanggup menahan diri sepenuhnya.

Kami mengingatkan bahwa tidak ada pembenaran yang sah untuk penyiksaan atau perlakukan yang buruk bagi orang yang berada dalam pengamanan dan kendali polisi. Kami menegaskan bahwa praktek penyiksaan dan perlakukan yang buruk lainnya oleh polisi telah menjadi masalah menahun di Indonesia. Selama bertahun-tahun Amnesty International telah menerima berbagai laporan tentang penggunaan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya terhadap tersangka dan tahanan selama penangkapan, interogasi, dan penahanan oleh polisi dan aparat keamanan publik lainnya. Kami menghimbau pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah tegas guna memastikan penyelidikan yang cepat, independen, tidak berpihak dan efektif terhadap laporan-laporan dugaan penyiksaan dan perlakukan buruk lainnya oleh polisi dan untuk memastikan bahwa hasil penyelidikan tersebut dibuka kepada publik

Indonesia adalah negara pihak Konvensi PBB terhadap Penyiksaan dan Perlakukan dan Hukumuan yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat (CAT), dan pelarangan penyiksaan juga ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Indonesia. Terdapat juga larangan absolut terhadap penyiksaan dalam hukum kebiasaan internasional. Namun Indonesia masih seringkali gagal dalam memenuhi kewajibannya dibawan CAT, salah satunya ditunjukan dengan praktik kekerasan oleh aparat yang masih terus berulang.

Kami juga mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara pihak Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan, dengan demikian, negara ini juga terikat kewajiban untuk mencegah penahanan yang sewenang-wenang, yang merupakan pelanggaran Pasal 9(1) perjanjian internasional ini. Terlebih lagi, penahanan yang sewenang-wenang berpotensi besar untuk menimbulkan praktik penyiksaan dan perlakukan buruk lainnya, penghilangan paksa, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.