Hentikan kriminalisasi dan lindungi hak warga Desa Siuna dari perampasan lahan

Menanggapi kasus Renita Septiyani Gani, warga Desa Siuna, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah yang dijadikan tersangka setelah memprotes dugaan perampasan lahan oleh perusahaan tambang, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Kasus yang dialami Renita menambah panjang daftar kasus di mana warga yang mencoba memperjuangkan hak atas tanah mereka justru dikriminalisasi.”

“Aparat berwenang harus menghentikan segala bentuk dugaan kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga yang memperjuangkan hak atas tanah mereka. Negara seharusnya melindungi dan menghormati hak setiap warga untuk menyampaikan aspirasi mereka, bukan malah membawa mereka ke pengadilan hanya karena memperjuangkan hak mereka tanpa menggunakan kekerasan.”

“Pemerintah dan aparat penegak hukum seharusnya menjadi garda terdepan untuk melawan segala bentuk perampasan hak-hak masyarakat, bukan malah berpihak pada kepentingan-kepentingan korporasi.”

“Amnesty International juga mendesak pemerintah untuk merespon keluhan warga Desa Siuna terkait dugaan perampasan lahan mereka. Jika memang benar warga belum mendapatkan ganti rugi yang setimpal atas tanah mereka, pemerintah harus memastikan bahwa ganti rugi tersebut segara diberikan. Jika kegiatan perusahaan di lahan tersebut terbukti melanggar hukum, maka para pelakunya harus dibawa ke proses hukum.”

Latar belakang

Pada bulan September 2020 yang lalu Renita dan warga Desa Siuna lainnya melakukan blokade jalan masuk ke area lahan yang digunakan PT Prima Dharma Karsa sebagai bentuk protes atas dugaan perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.

Atas tindakannya tersebut, Renita dilaporkan ke polisi atas tuduhan melanggar Pasal 162 Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pasal tersebut pada intinya melarang orang untuk “merintangi atau mengganggu” kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin.

Polres Banggai menetapkan Renita sebagai tersangka dalam kasus tersebut pada tanggal 11 November 2020 dan berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Luwuk pada tanggal 5 Mei 2021.

Berdasarkan informasi yang diterima oleh Amnesty International, Renita dan warga lainnya merasa bahwa mereka digusur paksa dari lahan yang mereka miliki dan belum diberikan ganti rugi yang setimpal. Renita dan warga lainnya juga menyatakan bahwa tidak ada pemberitahuan atau sosialisasi kepada masyarakat sebelum perusahan tambang nikel masuk dan melakukan penggusuran tanah mereka. Mereka juga telah melaporkan perkara ini ke DPRD Banggai.

Pembela HAM atas lingkungan yang bekerja untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak lingkungan dan hak-hak terkait akses ke tanah di Indonesia rentan mengalami intimidasi dan kriminalisasi ketika aktor ekonomi dan negara menganggap kegiatan mereka sebagai penghalang pembangunan.

Sepanjang tahun 2020, Amnesty International mencatat penangkapan, penyerangan, dan intimidasi terhadap setidaknya 202 pembela hak asasi manusia di Indonesia, termasuk aktivis lingkungan yang membela hak atas tanah dan lingkungan yang sehat.

Setiap individu tanpa terkecuali berhak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai. ICCPR secara tegas telah menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ICCPR, serta dijelaskan dalam Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia.