Hentikan Diskriminasi dan Intimidasi Terhadap Masyarakat dan Aktivis HAM Papua

Penangkapan sewenang-wenang oleh polisi Indonesia telah membuat banyak orang Papua mendekam di penjara dan menjadi tahanan hati nurani. Hingga 8 Juni 2020, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya masih ada 44 tahanan hati nurani Papua yang mendekam di balik jeruji besi. Semuanya diancam atas tuduhan makar, padahal mereka hanya terlibat dalam aksi protes damai dan tidak melakukan tindakan kriminal apapun.

“Pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi, ungkapan rasisme, tindakan yang berlebihan oleh polisi dalam melaksanakan operasi pengamanan masih banyak terjadi di tanah Papua dan terhadap warga Papua yang berada di wilayah lain di Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Walaupun sudah banyak instrumen hukum yang dapat dijadikan acuan untuk menjamin hak asasi manusia (HAM), dalam praktiknya, masih banyak laporan-laporan masuk tentang pelanggaran hak untuk berkumpul dan berekspresi secara damai.

“Belakangan diskriminasi dan intimidasi ini meluas terhadap para aktivis HAM yang menuntut penuntasan kasus Papua. Contohnya pekan lalu, saat sidang PTUN pemblokiran internet disiarkan secara virtual. Beberapa akun yang bergabung memakai foto profil tak senonoh dan membuat kebisingan selama sidang, hingga ini mengganggu tim pembela kebebasan pers yang mengikuti jalannya sidang.”

“Bentuk lain adalah munculnya desakan untuk membatalkan diskusi soal Papua. Diskusi yang sedianya diselenggarakan BEM UI Sabtu lalu misalnya. Karena pembicara dianggap tidak kompeten maka ada desakan agar diskusi itu dibatalkan,” jelas Usman.

Sementara itu, diksusi virtual mengenai laporan Amnesty International Indonesia ke Komite HAM PBB tentang lima masalah HAM di Papua Jumat lalu juga mendapat disrupsi serupa. Tiga pembicara diskusi mendapat rentetan panggilan secara bersamaan dengan identitas penelepon dari luar Indonesia.

“Ini kan patut dipertanyakan. Bagaimana bisa tiga pembicara dalam diskusi yang sama mendapat panggilan bertubi-tubi dari lokasi yang serupa, yaitu luar Indonesia? Belum lagi diskusi kami dipenuhi peserta yang membuat kegaduhan sepanjang diskusi. Menurut hemat kami, itu adalah intimidasi terhadap perjuangan penegakan HAM di Papua,” kata Usman.

Selama periode bulan April hingga 8 Juni 2020, Amnesty International Indonesia mencatat adanya 14 kasus peretasan dan intimidasi digital yang dialami oleh aktivis hak asasi manusia dari lintas bidang. Salah satu kasus yang banyak disorot adalah peretasan yang dialami Ravio Patra, pegiat advokasi yang kerap mengkritik Pemerintah.

Ravio sempat ditahan dan dituduh menyebarkan pesan bernada provokatif melalui Whatsapp, padahal saat itu aplikasinya tengah diambil alih oleh peretas.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi telah secara jelas dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia.

Amnesty International Indonesia terus memantau kasus-kasus pelanggaran HAM Papua selama beberapa tahun terakhir dan telah memberikan laporan tersebut kepada Komite HAM PBB akhir Mei lalu.

Untuk kasus rasisme dan diskriminasi, satu kejadian yang mendapat sorotan tajam adalah aksi rasisme terhadap mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur. Pada Agustus-September 2019, sekelompok orang dari beberapa organisasi masyarakat menyerang asrama mahasiswa Papua dan menuduh mereka membuang bendera merah putih ke saluran air. Peristiwa ini kemudian menimbulkan kemarahan besar dari masyarakat, diikuti dengan rangkaian aksi protes di kota-kota besar, termasuk di Papua.

Sebagian besar aksi protes menentang rasisme itu diselenggarakan secara damai. Tapi para pendemo justru ditangkap oleh polisi atas tuduhan makar yang diatur dalam Pasal 106 dan 110 KUHP, mereka dipenjara dan diancam hingga pidana seumur hidup. Berdasarkan hasil pemantauan Amnesty International, setidaknya terdapat 96 orang yang ditangkap karena mengungkapkan ekspresi serta pendapatnya secara damai guna merespon tindakan rasisme yang terjadi di Malang dan Surabaya.

“Seharusnya polisi memfasilitasi mereka yang ingin menyampaikan pendapat secara damai. Jika para demonstran memang terbukti melakukan tindak kekerasan atau anarkisme, tindakan hukumnnya juga harus proporsional dan tanpa kekerasan,” sebut Usman.

Kematian tragis George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat, memantik kemarahan masyarakat dunia dan memunculkan perhatian terhadap isu-isu rasisme sistemik serta diskriminasi. Ini merupakan momentum besar bagi Pemerintah Indonesia untuk bercermin terhadap hal serupa yang masih terjadi di Indonesia, termasuk serangkaian tindakan rasisme serta ketidakadilan dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap saudara-saudara kita di Papua.

Selama puluhan tahun, masyarakat di Papua dan Papua Barat telah menjadi korban pelanggaran HAM berat yang sebagian besar dilakukan oleh aktor negara, terutama aparat keamanan. Bentuk-bentuk pelanggarannya mulai dari pembunuhan di luar hukum, penangkapan sewenang-wenang, pembatasan atas kebebasan berkumpul, berekspresi dan mengemukakan pendapat secara damai, termasuk juga diskriminasi rasial secara verbal, hingga ditangkapnya orang-orang Papua sehingga menjadi tahanan hati nurani.

“Pembunuhan George Floyd oleh aparat harusnya dapat menjadi alarm bagi pemerintah Indonesia yang sampai sekarang masih gagal dalam melindungi dan menjamin hak asasi masyarakat Papua. Aparat keamanan yang melakukan kekerasan terlihat kebal hukum sehingga tidak pernah ada yang diadili,” ujar Usman.

Amnesty International tidak mengambil sikap apapun mengenai posisi politik propinsi mana pun di Indonesia, namun kami meyakini bahwa hak atas kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk mengadvokasi penentuan nasib sendiri ataupun permasalahan politik lainnya, yang dilakukan dengan cara damai haruslah dilindungi.