Hari HAM Sedunia: Tanpa pemenuhan hak asasi, keadilan tak akan terealisasi

Hak asasi manusia (HAM) harus menjadi pilar utama dalam kehidupan bernegara. Para pengemban amanat, termasuk aparat penegak hukum, harus mengupayakan pemenuhan hak asasi lebih dari sekedar janji, kata Amnesty International Indonesia hari ini saat memeringati Hari HAM Sedunia, yang jatuh tiap tanggal 10 Desember.

Hari HAM tahun ini jatuh pada masa kampanye Pemilu 2024, periode di mana para kandidat capres-cawapres saling mengumbar visi dan misi, termasuk di dalamnya penegakan hukum. Masalahnya, aparat penegak hukum seperti kepolisian memiliki rekam jejak yang buruk selama beberapa tahun terakhir.

Kasus Rempang adalah salah satu bukti terkini di mana aparat keamanan menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan dipertontonkan dengan tembakan meriam air dan gas air mata, bahkan ke arah pintu dua sekolah, menyebabkan setidaknya 25 siswa harus dibawa ke rumah sakit.

“Nyatanya di Indonesia, proyek pembangunan, terkhusus proyek strategis nasional, selalu lekat dengan kekerasan aparat. Ada apa? Apakah demi pembangunan, keselamatan warga–termasuk anak-anak–dapat dikorbankan?,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena.

“Pemerintah dan aparat negara seharusnya tidak mengabaikan hak asasi manusia, dalam situasi apapun.”

Contoh lain kesewenang-wenangan aparat keamanan terjadi di Tanah Papua. Amnesty mencatat, selama Januari 2018 hingga Mei 2023, ada 114 individu yang meregang nyawa akibat kekerasan aparat.

“Walau akan segera berhenti menjabat, Presiden Jokowi masih bertanggung jawab melakukan penegakan HAM. Khususnya kepada mereka yang selama ini menanti keadilan.” tambah Wirya.

“Kasus-kasus ini juga perlu dicatat para capres dan cawapres sebagai pekerjaan rumah yang perlu mereka tuntaskan.”

Penegak hukum juga terlibat dalam perlakuan tidak manusiawi di berbagai wilayah. Amnesty International Indonesia mendokumentasikan setidaknya 171 korban dengan terduga pelaku aparat keamanan di 38 provinsi selama periode Juni 2019- Juni 2023. Sumatera Utara, Papua Selatan dan Sulawesi Selatan menjadi tiga besar provinsi dengan kasus perlakuan tidak manusiawi terbanyak di negara ini.

Lagi, pengabaian hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik

Indonesia juga tampaknya tak belajar dari kekeliruan masa lalu. Selepas lolosnya KUHP tahun 2022 dan di tengah sorotan tajam berbagai kelompok masyarakat, Dewan Perwakilan Rakyat mengulang pengabaian serupa di tahun 2023.

Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disahkan dengan masih adanya pasal-pasal bermasalah dan tanpa mengindahkan kritik dari berbagai pihak.

Padahal awal tahun ini -ketika menyambut Hari Pers Nasional, Presiden Jokowi berjanji mengeluarkan regulasi yang memenuhi rasa keadilan.

“Dari 2019 hingga saat ini, publik seperti disuguhkan atraksi janji palsu. KUHP sempat ditunda dengan dalil membutuhkan konsultasi lebih lanjut, nyatanya?”

“Lalu muncul UU Cipta Kerja, lalu UU ITE,” jelas Wirya.

“Sepertinya publik tak lagi berkuasa atas suaranya sendiri.”

Lima tahun terakhir, UU ITE menghasilkan 504 korban dengan beragam ekspresi. Semuanya berstatus tersangka. Mereka terjerat pidana karena bersikap kritis secara terbuka, menantang dominasi mereka yang memiliki dan atau berada dekat dengan kekuasaan.

Dalam hal ini, kebebasan sipil makin terancam akibat adanya regulasi problematis yang berpotensi melahirkan represi.

“Apa mungkin keadilan terjadi di tengah represi, tanpa penghormatan dan pemenuhan hak asasi?” tanya Wirya.

Di antara sederet korban UU ITE, pembela HAM menjadi salah satu kelompok yang rentan menjadi target.

Kasus dua pembela HAM, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, adalah contoh bagaimana kritik terhadap pejabat publik direspon dengan pembungkaman melalui UU ITE.

“Haris dan Fatia masing-masing dituntut empat tahun dan tiga setengah tahun penjara karena mengkritik posisi pejabat publik dalam perusahaan tambang.“

“Negara justru seharusnya melindungi hak atas kebebasan berekspresi, termasuk suara-suara kritis atas pejabat publik. Kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris menggambarkan meningkatnya penindasan yang dihadapi oleh para aktivis yang mengekspresikan perbedaan pendapat.”Antara Januari 2019 hingga Mei 2023, 1106 pembela HAM -termasuk jurnalis, mahasiswa, dan masyarakat adat, mengalami kriminalisasi di Indonesia karena ekspresi damai mereka.

Nasib penuntasan pelanggaran HAM berat

Publik melihat peluang munculnya sejarah baru ketika Presiden Jokowi mengakui 12 pelanggaran HAM yang berat pada tanggal 11 Januari lalu.

Namun hanya selang dua bulan dari pidato itu, dua rekomendasi tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) -yakni penulisan ulang sejarah dan penyusunan memorabilia -tak lagi ditemukan dalam surat Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden mengenai implementasi rekomendasi.

Dalam dialog bulan Agustus tahun ini dengan para eksil 1965 di Belanda, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD –yang kini menjadi salah satu kandidat cawapres Pemilu 2024 –mengatakan bahwa pemerintah tidak akan melakukan “penulisan ulang sejarah” dan mempersilahkan para akademisi sejarah untuk melakukan penelitian dan memaparkan hasilnya sebagai ‘ilmu’.

Mahfud juga menjelaskan bahwa negara tidak akan menjadikan hasil penelitian itu sebagai sikap resmi atau ‘pandangan’ negara.

“Pertama, tak ada permintaan maaf kepada korban. Kedua, tidak dijelaskan mengapa pelanggaran HAM itu terjadi. Ketiga, tidak semua pelanggaran HAM berat diakui,” sebut Wirya.

“Sekarang, satu-satunya harapan dari kebijakan ini juga hilang. Pemerintah harus menjelaskan kepada publik secara mendetil. Kalau sudah begini, apa prospek keadilan bagi korban masih ada?” (*)