Hak masyarakat adat Papua atas tanah ulayat harus dilindungi

Keputusan Majelis Rakyat Papua (MRP) terkait tanah ulayat dan eksploitasi sumber daya alam di Papua harus didengarkan dan dipertimbangkan secara seksama oleh pemerintah pusat, kata Amnesty International Indonesia hari ini.

Pada tanggal 4 Agustus, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena serta Media Officer Karina Tehusijarana mendampingi Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua MRP Yoel Mulait, serta Koordinator Tim Kerja Otsus MRP Benny Sweny untuk menyerahkan 12 keputusan kultural MRP sepanjang 2021-2022 kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN). Di antaranya, keputusan untuk melarang jual-beli tanah ulayat di Papua serta moratorium terhadap eksploitasi sumber daya alam di Papua.

“Ini merupakan bagian dari tugas dan kewenangan MRP untuk mendengarkan aspirasi dari rakyat Papua,” kata Timotius dalam pertemuan tersebut.

Yoel menambahkan bahwa keputusan tersebut diambil karena pentingnya tanah ulayat bagi masyarakat di Papua. “Orang Papua bilang tanah itu seperti mama,” katanya, karena tanahlah yang menjadi sumber penghidupan masyarakat Papua.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa hak masyarakat adat atas tanah ulayat diakui dan dilindungi dalam konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 18B UUD 1945. Bahkan, ketentuan hak ulayat secara tegas dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UU 5/1960).

“Keputusan ini juga sejalan dengan rekomendasi dalam riset Amnesty terkait rencana penambangan di Blok Wabu yang dikeluarkan pada bulan Maret lalu,” kata Usman. “Pemerintah pusat memiliki tiga kewajiban sebelum melakukan penambangan maupun eksploitasi sumber daya lainnya di Papua: menginformasikan masyarakat adat tentang rencana tersebut dan dampaknya; mengkonsultasikan dan meminta pendapat dari masyarakat adat atas rencana tersebut; dan mendapatkan persetujuan di awal dan tanpa paksaan terhadap rencana tersebut.”

Menteri ATR/BPN Hadi Tjahjanto mengatakan menerima dengan baik keputusan MRP serta masukan dari Amnesty tersebut. Dia mengatakan telah puluhan tahun berdinas di Papua saat masih menjadi anggota TNI sehingga mengerti pentingnya tanah bagi masyarakat di Papua.

“Kami berterimakasih kepada MRP yang telah datang untuk menyerahkan keputusannya dan tentunya akan menjadi saran dan masukan yang akan dipertimbangkan baik-baik oleh ATR/BPN,” kata Hadi dalam pertemuan tersebut.

Amnesty berharap bahwa keputusan MRP sebagai representasi kultural masyarakat adat di Papua didengar dan dihormati oleh pemerintah pusat dan hak masyarakat adat untuk memiliki dan mengelola tanahnya dilindungi.

Hak-hak masyarakat adat sudah diakui dalam hukum HAM internasional maupun hukum nasional. Dalam Pasal 27 Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), diatur bagaimana kelompok minoritas berhak menikmati, mempraktikkan, dan menggunakan hal-hal yang berkaitan dengan budaya mereka. Lebih jauh, dalam Komentar Umum Komite Hak Asasi Manusia No. 23 Tahun 1994 menyatakan bahwa perlindungan budaya di bawah Pasal 27 ICCPR juga mencakup perlindungan cara hidup tertentu yang berkaitan dengan penggunaan sumber daya tanah, terutama bagi masyarakat adat.

Hak masyarakat adat juga dijamin dalam Rekomendasi Umum Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial No. XXIII (51) tentang Masyarakat Adat.