Hak Atas Tanah Masyarakat Adat Penunggu Terusik

Menanggapi bentrok antara aparat keamanan gabungan dengan masyarakat adat Penunggu di Langkat, Sumatera Utara, dalam sengketa lahan antara warga setempat dengan PTPN II, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Ary Hermawan menyatakan:

“Bulan lalu masyarakat adat Kinipan, sekarang giliran warga Penunggu yang kehilangan hak masyarakat adat atas tanah. Sudah banyak masyarakat adat yang mengalami nasib serupa karena upaya pengalihan fungsi lahan yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Banyak dari mereka pula, yang akhirnya terusir dari lahan mereka sendiri akibat ekspansi lahan oleh perusahaan-perusahaan berskala besar.”

“Pemerintah dan aparat di Indonesia harus paham bahwa tanah adalah sumber hidup dari kebanyakan masyarakat adat untuk memenuhi hak-hak sosial dan ekonomi, termasuk pangan, air, pekerjaan dan tempat tinggal. Banyak dari hak ini tak bisa dinikmati tanpa akses atas tanah.”

“Jangan ada lagi masyarakat adat yang kehilangan hak atas mata pencaharian hidup mereka. Tidak akan ada yang berubah dengan nasib mereka selama pemerintah tidak melindungi hak-hak asasi masyarakat adat ini,”

“Pemerintah belum sepenuhnya menjamin hak-hak mereka atas tanah, wilayah, budaya dan sumber daya alam yang, sebagian besar, mereka miliki secara turun-temurun. Dalam melakukan pembangunan, pemerintah seringkali melupakan hak-hak masyarakat adat dan tidak melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan.”

“Pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, sebaiknya mengedepankan interaksi dan menjadi garda terdepan untuk melawan segala bentuk perampasan hak-hak masyarakat adat. Aparat juga bisa melakukan dialog dan mendengarkan keluhan masyarakat setempat, akui mereka sebagai pemilik lahan dan tidak serta merta merebut lahan mereka secara paksa.”

“Di masa wabah COVID-19, perlindungan masyarakat adat seharusnya lebih diperhatikan oleh aparat keamanan, baik akses atas tanah maupun hak hidup mereka.”

Latar belakang

Pada tanggal 29 September 2020, aparat gabungan dari TNI dan petugas keamanan PTPN (PT Perkebunan Nusantara) II terlibat bentrok dengan masyarakat adat Penunggu di Kampung Durian Selemak, Langkat, Sumatera Utara. Sebuah video yang beredar di media sosial menunjukkan aparat gabungan TNI dan pihak PTPN II sedang menggusur masyarakat adat.

Berdasarkan keterangan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), permasalahan bermula pada pukul 14.00 WIB, ketika warga setempat bergabung dengan kelompok BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia), berada tidak jauh dari lahan adat yang diklaim sebagai milik PTPN II. Warga melihat tanaman jeruk mereka yang belum panen dicabut oleh aparat, dan memprotesnya. Warga yang protes kemudian dipukul oleh aparat gabungan tersebut.

AMAN mencatat korban luka akibat bentrokan itu berjumlah 15 orang, yang terdiri dari 14 dewasa dan 1 anak, dengan luka seperti robekan di kepala, dan satu orang mengalami patah tulang. Bulan lalu, sejumlah pemimpin masyarakat adat Kinipan di Kalimantan Tengah sempat ditangkap akibat konflik lahan dengan perusahaan sawit.

Sebelumnya, kasus serupa dialami oleh masyarakat adat Pubabu, Nusa Tenggara Timur, yang menolak rencana pembangunan di hutan adat mereka. Aparat keamanan datang ke daerah pengungsi masyarakat adat tersebut dan meneror perempuan dan anak-anak. Beberapa anak dibawa ke kantor brimob dan diintimidasi.

Dari Januari hingga 25 September 2020, Amnesty mencatat setidaknya terdapat 61 pembela hak masyarakat adat yang menjadi korban pelanggaran HAM, termasuk penangkapan, kekerasan fisik, maupun teror dan intimidasi.

Hak-hak masyarakat adat sudah diakui dalam hukum HAM internasional maupun hukum nasional. Hak kolektif masyarakat adat, terutama untuk memiliki, mengembangkan, mengontrol dan menggunakan tanah adatnya diatur dalam Pasal 27 Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Ketentuan ini didukung oleh Komentar Umum Komite Hak Asasi Manusia No. 23 Tahun 1994 yang menyatakan bahwa perlindungan budaya di bawah Pasal 27 ICCPR juga mencakup perlindungan tanah masyarakat adat dan penguasaan sumber daya. Hak masyarakat adat juga dijamin dalam Rekomendasi Umum Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial No. XXIII (51) tentang Masyarakat Adat.