Eksesif, Cara Polisi Menangkapi Demonstran Damai Menolak RUU Cipta Kerja

Merespon penangkapan peserta aksi damai menolak pengesahan RUU Cipta Kerja di Bandung dan Makassar, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan:

“Tindakan terhadap pendemo damai dengan cara membubarkan paksa, menangkap dan memukul mereka adalah tindakan eksesif. Itu tidak bisa dibenarkan. Demonstrasi damai adalah kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat. Para pendemo seharusnya tidak ditangkap karena mereka hanya ingin bersuara menolak RUU Cipta Lapangan Kerja yang bermasalah. Hak tersebut sepenuhnya dilindungi dalam hukum HAM internasional dan aparat seharusnya melindungi hak-hak tersebut.”

“Memang, di masa pandemi COVID-19 seperti ini, semua orang dianjurkan menjaga jarak dan menerapkan protokol kesehatan saat berkegiatan di luar rumah. Tapi itu tidak dapat sedikitpun menjadi alasan melanggar hak-hak asasi manusia. Protokol kesehatan COVID-19 tidak boleh menafikan hak asasi manusia. Pembubaran harus dilakukan secara hati-hati sebagai upaya terakhir. Para peserta juga harus diberi kesempatan terlebih dahulu untuk bubar secara sukarela.”

“Kami juga menyayangkan penggunaan kekuatan yang eksesif, apalagi dengan cara-cara brutal berupa kekerasan terhadap para pendemo. Itu jelas melanggar HAM. Itu juga  melanggar kode etik PBB untuk kepolisian. Kami mendesak Komnas HAM melakukan investigasi kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota kepolisian dalam demonstrasi tersebut.”

Sejumlah demonstran di Makassar ditangkap polisi dan di bawa ke Polrestabes Makassar. Foto: KontraS Sulawesi.

Latar belakang

Pada 16 Juli 2020, ratusan masyarakat di berbagai titik kota-kota besar dari berbagai provinsi turun ke jalan melakukan aksi demo damai untuk menolak pembahasan dan pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja serta beberapa rancangan undang-undang lain yang dinilai kontroversial dan dapat merugikan masyarakat.

Beberapa titik aksi selain di Ibu Kota di antaranya adalah Bandung, Jawa Barat, dan Makassar, Sulawesi Selatan.

Polisi yang menghalau demonstran di Makassar.

Berdasarkan kronologi yang dikumpulkan Amnesty International Indonesia bersama beberapa organisasi masyarakat sipil, aparat dari Polrestabes Kota Bandung menangkap massa yang hendak bergabung dalam Aliansi Masyarakat Menggugat (Alarm). Aparat setempat tidak hanya melakukan penangkapan sewenang-wenang, tapi juga tindak kekerasan dan intimidasi, seperti pemukulan, pembubaran paksa, pemeriksaan acak terhadap masyarakat yang mengenakan baju hitam, hingga perampasan barang milik peserta aksi. Tindakan tersebut terjadi di beberapa titik di Kota Bandung, seperti Taman Cikapayang, Jalan Sulanjana, Depan Hotel Luxtton dan Halte Baltos.

Di Makassar, setidaknya 36 mahasiswa dan 1 mahasiswi ditangkap oleh aparat keamanan Polrestabes Makassar saat mengikuti aksi protes menolak RUU Cipta Kerja. Menurut laporan media, polisi juga menyita  beberapa sepeda motor milik peserta aksi, padahal aksi berlangsung cukup damai dan kondusif, peserta aksi pun tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti pengecekan suhu tubuh.

Penangkapan sewenang-wenang terhadap para peserta aksi damai tersebut bertentangan dengan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR yang menjamin hak untuk menyatakan pendapat, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun serta Pasal 9 ICCPR dan Komentar Umum No. 35 terhadap Pasal 9 ICCPR yang menjamin hak seseorang untuk tidak ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah.

Selain itu tindakan kekerasan terhadap massa aksi yang ditangkap juga bertentangan dengan berbagai instrumen perlindungan HAM, termasuk Pasal 7 ICCPR dan Komentar Umum No. 20 terhadap Pasal 7 ICCPR serta Pasal 7 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakukan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, yang telah diratifikasi melalui UU No. 5 tahun 1998.

Di tingkat kepolisian sekalipun, larangan untuk melakukan intimidasi, ancaman, dan siksaan fisik telah secara jelas diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b dan Pasal 13 ayat (1) huruf a Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.