Dunia menyoroti serangan terhadap pembela HAM di Papua

Menanggapi laporan Sekjen Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada sesi ke-51 Dewan HAM PBB yang turut menyoroti kasus yang menimpa Veronica Koman, Victor Yeimo, Wensislaus Fatubun, dan Yones Douw, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Dunia internasional pun menyadari bahwa situasi perlindungan HAM di Papua masih bermasalah. Sekjen Dewan HAM PBB secara tegas menggarisbawahi hal tersebut dengan ikut menyoroti berbagai serangan terhadap pembela HAM yang bergerak di isu-isu Papua dalam laporan tentang intimidasi dan ancaman yang dihadapi pembela HAM di secara global,.”

“Respon pemerintah terhadap kasus-kasus tersebut mengecewakan, dan sayangnya, sudah bisa diprediksi. Alih-alih berkomitmen untuk memastikan tidak ada lagi serangan dan intimidasi terhadap pembela HAM dan mencari praktik terbaik untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah malah kembali bersifat defensif.”

“Pada kenyataannya, banyak sekali serangan kepada pembela HAM di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Amnesty International Indonesia mencatat, sejak Januari 2019 sampai Mei 2022, ada setidaknya 327 serangan fisik, digital, serta intimidasi terhadap pembela HAM, dengan total 837 korban.”

“Kalau pemerintah benar-benar berkomitmen untuk mendukung kerja pembela HAM dan melindungi hak-hak mereka, seharusnya bisa dimulai dengan menghentikan kriminalisasi dan ancaman terhadap orang-orang seperti Veronica Koman dan Victor Yeimo yang menghadapi ancaman pidana serta serangan teror hanya karena menggunakan hak-hak mereka untuk berekspresi dan berpendapat.”

“Jika serangan-serangan ini terus dibiarkan tanpa penyelesaian yang jelas, maka kejadian serupa hanya akan terus berulang dan berdampak buruk bagi ruang kebebasan sipil di Indonesia. Pembiaran negara terhadap serangan yang lalu sama saja dengan memberi izin serangan-serangan lain terjadi di masa depan.”

Latar belakang

Pada 14 September, Dewan HAM PBB mempublikasikan laporan yang akan didiskusikan  dalam sidang Dewan HAM yang akan diadakan pada tanggal 29 September.

Laporan tersebut menyoroti empat kasus dari Indonesia, yaitu serangan terhadap rumah orangtua perempuan pembela HAM Veronica Koman, penangkapan dan penahanan aktivis Papua Victor Yeimo, serta penangkapan dan intimidasi terhadap pembela HAM Papua Wensislaus Fatubun dan Yones Douw.

Menurut laporan tersebut, pemerintah Indonesia membantah bahwa ada penargetan terhadap keempat orang tersebut dan mengklaim bahwa kasus pidana yang dialami Veronica dan Victor berdasarkan fakta dan sesuai dengan hukum.

Padahal, Veronica dijadikan tersangka hanya karena melaporkan insiden rasisme tahun 2019 terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur dan Victor dituduh makar hanya karena keterlibatannya dalam demonstrasi damai anti-rasisme di Papua. Mereka hanya menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul dan seharusnya tidak dipidana.

Hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hak tersebut juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 dan 23 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sedangkan hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul telah dijamin dalam Pasal 21 ICCPR, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 12/2005, serta Komentar Umum No. 37 atas Pasal 21 ICCPR. Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, Konstitusi Indonesia juga telah menjamin hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, yaitu dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Ketidakmampuan pemerintah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, mengidentifikasi, mengadili, menghukum para pelanggarnya, serta memberikan kompensasi bagi para korban atau keluarganya juga merupakan bentuk pelanggaran HAM tersendiri.