Diskusi tentang temuan investigasi bukan pencemaran nama baik

Menanggapi langkah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, yang melaporkan mantan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar, dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, ke Polda Metrojaya atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Pelaporan ini kembali menunjukkan kecenderungan pejabat pemerintah untuk menjawab kritik dengan ancaman pidana. Ini bertolak belakang dengan pernyataan-pernyataan yang sering diulang Presiden Jokowi dan pejabat lainnya tentang komitmen mereka atas kebebasan berpendapat. Bahkan jika ancaman pemidanaan ini diteruskan hingga berujung pemenjaraan, hanya akan menambah penuh tahanan dan penjara yang ada. Padahal pemerintah juga berjanji untuk mengurangi populasi tahanan dan Lembaga pemasyarakatan.”

“Sekali lagi, jika ada yang kurang akurat, pejabat itu cukup mengoreksinya dengan data kementerian yang dipimpinnya, yaitu Kemenko Kemaritiman dan Investasi. Tidak sulit bagi kementerian ini untuk membuka data tentang perusahaan mana saja yang berinvestasi di Blok Wabu, baik negara maupun swasta, serta siapa saja pihak yang terkait. Dari situ, masyarakat bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dengan kekuasaan yang dia miliki, Luhut tidak seharusnya mengancam aktivis seperti Haris dan Fatia dengan pidana.”

“Langkah Luhut justru memperburuk citra pemerintah dan mengurangi partisipasi masyarakat. Berbagai survei belakangan ini termasuk survey Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2020 menunjukkan mayoritas masyarakat, yaitu 79.6% responden, semakin takut menyatakan pendapat. Pelaporan ini akan meningkatkan ketakutan tersebut sehingga enggan memberikan masukan kepada pemerintah, apalagi mengungkapkan kritik terhadap pihak berkuasa. ”

“Kami mendesak pihak kepolisian untuk bersikap independen dalam menjaga kepentingan pemerintah yang berkuasa di satu sisi dan kepentingan perlindungan dan pelayanan masyarakat di sisi lain, dengan tidak melanjutkan laporan ini ke tahap penyidikan pidana.”

Latar belakang

Pada tanggal 22 September, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan melaporkan Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti ke polisi atas dugaan pencemaran nama baik  dan penyebaran berita bohong terkait video diskusi yang diunggah ke kanal YouTube Haris Azhar pada tanggal 20 Agustus.

Sebelumnya, Luhut telah melayangkan somasi kepada Haris dan Fatia pada tanggal 26 Agustus dan 2 September.

Dalam video tersebut, Haris dan Fatia mendiskusikan laporan berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” yang diterbitkan oleh gabungan beberapa organisasi masyarakat sipil. Laporan tersebut merupakan kajian terhadap faktor-faktor yang memicu pelanggaran hak asasi manusia di Papua, salah satunya adalah keterlibatan beberapa tokoh-tokoh militer dalam industri tambang.

Menurut data Amnesty International Indonesia, sepanjang 2021 ada setidaknya 102 kasus serangan terhadap pembela HAM dengan total 272 korban. Amnesty juga mencatat adanya 62 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE dengan 58 korban yang dijadikan tersangka sepanjang 2021.

Dalam hal ini, tindakan atau kebijakan Negara yang menimbulkan efek gentar atau ketakutan yang dapat membuat masyarakat enggan untuk menyampaikan pendapatnya, tidak sejalan dengan standar HAM internasional. Amnesty International mengingatkan bahwa hak atas kebebasan berekspresi dijamin oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. 

Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpendapat juga dijamin di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28E Ayat (3), dan juga Pasal 23 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999.

Sebagai salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia memenuhi komitmen untuk melindungi para pembela hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Pembela HAM yang disepakati 22 tahun silam melalui resolusi Sidang Umum PBB.