Covid-19: Distribusi APD dan Rapid Test Harus Tepat Sasaran

Merespons perkembangan penanganan pemerintah dalam menghentikan persebaran Covid-19 termasuk terkait distribusi APD dan penyelenggaraan rapid test Covid-19, sejumlah organisasi bidang kesehatan seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) bersama organisasi hak asasi manusia Amnesty International Indonesia, menyampaikan surat bersama kepada Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan,

“Kemarin, Selasa, 24 Maret kami bersama sejumlah organisasi bidang kesehatan akhirnya resmi menyurati Presiden. Kami ingin menegaskan bahwa perlunya bertindak untuk mengobati dan mengurangi penyebaran virus adalah kewajiban hak asasi manusia. Perlunya kehati-hatian menangani masyarakat yang rentan adalah kewajiban hak asasi manusia. Garda depannya adalah tenaga kesehatan.“

“Kami mendesak Pemerintah untuk memperbaiki minimnya APD, buruknya koordinasi distribusi APD, dan lemahnya keterbukaan informasi serta jaminan kesehatan bagi tenaga kesehatan. APD mutlak dibutuhkan oleh para tenaga kesehatan setiap kali test menemukan seseorang terpapar Covid-19. Karena itu distribusinya harus adil dan merata. Penentuan prioritas harus sesuai nilai-nilai hak asasi manusia, bukan semata-mata wilayah, apalagi pengistimewaan golongan elite tertentu.”

“Semua tenaga kesehatan yang menangani pasien terpapar Covid-19 berhak atas APD. Semua warga berhak mendapatan rapid test, tanpa terkecuali. Menghentikan perseberan virus ini adalah kewajiban negara untuk menjamin hak atas kesehatan dan hak hidup. Jika jumlah alat tes terbatas, maka pemerintah harus memprioritaskan masyarakat paling membutuhkan. Jangan sampai niatan baik rapid test ini menjadi tidak tepat sasaran dan diskriminatif.”

Selain itu, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Justitia Avila Veda, mengatakan,

“Kelompok yang paling membutuhkan adalah mereka yang berisiko besar tertular Covid-19 dan memiliki resiko kematian lebih tinggi. Orang lanjut usia dan orang-orang dengan kondisi medis bawaan, seperti asma, diabetes, penyakit jantung dan pneumonia, lebih rentan terinfeksi dan berakibat fatal.”

“Yang juga lebih membutuhkan adalah mereka yang berinteraksi langsung dengan pasien Covid-19, seperti dokter, dokter gigi, perawat, bidan, apoteker, dan pekerja kesehatan lainnya. Selain itu, para tahanan dan warga binaan pemasyarakatan juga berhak atas prioritas, karena interaksi intens antar WBP dalam ruang yang terbatas dapat meningkatkan kerentanan penularan Covid-19. Kelompok-kelompok inilah yang harus menjadi prioritas dalam pelaksanaan rapid test” kata Justitia.

“Negara jangan sampai salah sasaran. Pejabat, termasuk anggota-anggota DPR, serta pihak lain yang memiliki privilese untuk meminimalisasi risiko, sebaiknya menahan diri dan tidak menuntut didahulukan dalam tes tersebut. Jika abai, maka negara berpotensi melakukan pelanggaran HAM terhadap kelompok-kelompok rentan itu,” tambahnya.

“Kami juga menyarankan pada Presiden Joko Widodo beserta jajarannya agar dalam merancang rencana dan strategi dalam menghadapi penyebaran Covid-19 sesuai hukum internasional dan standar hak asasi manusia. Negara harus sadar akan dampak hak asasi manusia dari penanganan virus ini, khususnya pada kelompok tertentu dan memastikan bahwa kebutuhan dan keselamatan mereka sepenuhnya dipertimbangkan,” tutup Justitia.

Latar Belakang

Hingga Selasa, 24 Maret 2020, pemerintah Indonesia mencatat setidaknya sebanyak 686 kasus positif Covid-19. Sebanyak 30 pasien sudah dinyatakan sembuh, sementara 55 pasien meninggal dunia.

Presiden Joko Widodo berencana untuk segera melakukan rapid test dalam skala besar, melibatkan seluruh rumah sakit, baik milik pemerintah pusat dan daerah, BUMN, TNI, Polri, hingga swasta. Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyebutkan saat ini pemerintah sudah menyiapkan 125.000 alat rapid test yang siap didistribusikan ke seluruh daerah. Pemerintah juga dikabarkan akan memprioritaskan tes tersebut di daerah-daerah yang merupakan zona rawan penyebaran Covid-19. Presiden Joko Widodo menegaskan agar rapid test diprioritaskan untuk para pekerja medis dan keluarganya.

Beberapa hari terakhir, DPR membuat publik gusar dengan wacana bahwa seluruh anggota DPR beserta keluarganya, yang diperkirakan jumlahnya mencapai 2000 orang, juga akan mengikuti rapid test. Hal ini menimbulkan protes dari publik karena anggota DPR tidak termasuk kategori kelompok yang rentan terhadap infeksi Covid-19.

Pasal 12(2) huruf d Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) dan Paragraf 12(b) Komentar Umum Nomor 14 mengenai Pasal 12 ICESCR telah mengatur bahwa negara wajib mengakui hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental tanpa diskriminasi. Dalam hal ini, negara wajib mengupayakan perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri, pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, endemik, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan, serta penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis.

Bila merujuk ke Pasal 32 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), ketentuan pemberian fasilitas kesehatan dalam situasi darurat haruslah memprioritaskan pada penyelamatan nyawa terlebih dulu; suatu hal yang sama sekali tidak terlihat dalam permintaan anggota DPR.

Selain itu, pasal 48 Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana) mengatur bahwa salah satu upaya penanggulangan bencana saat kondisi tanggap darurat adalah perlindungan terhadap kelompok rentan. Kelompok rentan ini termasuk orang lanjut usia yang memang menunjukkan mortalitas tertinggi dalam pandemi Covid-19. Masih banyak masyarakat umum dan pekerja kesehatan yang mengantri rapid test. Sementara itu, anggota DPR RI tidak memiliki kerentanan seburuk dua kategori sebelumnya. Pemeriksaan anggota DPR RI beserta keluarganya bertentangan dengan semangat UU Penanggulangan Bencana, khususnya prinsip prioritas dalam Pasal 3 ayat (2), karena mereka yang sudah terpapar Covid-19 dan dalam kondisi rentan lah yang seharusnya didahulukan.

Pasal 48 dan Pasal 53 UU Penanggulangan Bencana serta Pasal 21(1) Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana juga mewajibkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat terdampak, termasuk pelayanan kesehatan. Mereka yang termasuk kelompok rentan (bayi, balita, anak-anak, ibu yang mengandung atau menyusui, penyandang cacat, dan orang lansia) wajib diberikan perlindungan secara khusus. Anggota DPR beserta keluarganya tidak termasuk dalam kategori ini.