Catatan Akhir 2021: Tahun Bahaya Bagi Pembela HAM

Pemerintah Indonesia harus memperbaiki komitmen mereka terhadap penegakan hak asasi manusia (HAM), kata Amnesty International Indonesia hari ini. Sepanjang tahun 2021, pembela HAM menjadi salah satu kelompok yang paling dalam bahaya.

Serangan terhadap mereka terus berlanjut, baik secara luring maupun daring, dan hanya sedikit yang diusut secara tuntas. Sayangnya, aktor negara diduga banyak terlibat dalam serangan tersebut.

Di antara bentuk serangan terhadap para pembela HAM adalah represi dan kriminalisasi hak mereka atas kebebasan berekspresi.  Dalam kasus ini, penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)  masih terus terjadi. Di sisi lain, kelompok masyarakat di luar pembela HAM juga menjadi korban dari pasal karet di dalam aturan tersebut. Hal ini menunjukkan urgensi revisi UU ITE yang benar-benar berlandaskan perlindungan hak asasi. 

Kekerasan oleh aparat negara, terutama di Papua dan Papua Barat, juga menjadi catatan penting.

“Tahun lalu, kami menyoroti tren pelemahan hak asasi dan berharap tahun ini tertoreh catatan yang lebih baik. Apa yang terjadi?  Tidak terlihat adanya perbaikan situasi HAM yang signifikan di negara ini,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. 

“Memang ada kebijakan yang dikeluarkan untuk memulihkan hak asasi, namun kenyataannya kriminalisasi terhadap mereka yang mempraktikkan hak secara damai juga terus berlanjut. Bahkan, untuk kelompok pembela HAM, jumlahnya meningkat.”

“Kami berharap di tahun 2022, pemerintah, parlemen dan aparat penegak hukum melaksanakan kewajiban mereka untuk mengedepankan perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi masyarakat – bukan mengabaikannya demi kepentingan lain.”

Serangan terhadap pembela HAM meningkat

Selama tahun 2021, Amnesty International Indonesia mencatat ada setidaknya 95 kasus serangan terhadap pembela HAM di Indonesia dengan total 297 korban. 

Kasus tersebut menimpa pembela HAM dari berbagai sektor, mulai dari jurnalis, aktivis, masyarakat adat, hingga mahasiswa. 

Parahnya, 55 dari 95 kasus tersebut diduga adanya keterlibatan oleh aktor negara, termasuk aparat kepolisian dan TNI, serta pejabat pemerintah pusat maupun daerah. Tren ini tidak banyak berbeda dengan tahun 2020, di mana 60 dari 93 kasus serangan terhadap pembela HAM diduga dilakukan oleh aktor negara.

Serangan-serangan ini datang dalam berbagai bentuk, mulai dari pelaporan ke polisi, ancaman dan intimidasi, kekerasan fisik, hingga pembunuhan.

Pada 27 September misalnya, seorang warga adat Toruakat di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara tewas tertembak oleh penjaga tambang emas ilegal yang berlokasi di dekat wilayah adat Toruakat.

Kasus lainnya yang sangat memprihatinkan adalah serangan terhadap orangtua pengacara HAM Veronica Koman yang terjadi pada bulan November. Pada pagi hari 7 November, dua orang tak dikenal mengendarai sepeda motor dan melemparkan bungkusan berisi bahan peledak ke garasi rumah orang tua Veronica Koman di Jakarta.  Sebelumnya, pada tanggal 24 Oktober, dua orang pengendara sepeda motor menggantungkan sebuah bungkusan di pagar rumah orang tua Veronica, dan tidak lama kemudian bungkusan tersebut terbakar.

Salah satu contoh serangan terhadap pembela HAM yang masih terus berlanjut hingga hari ini adalah laporan pencemaran nama baik yang menimpa Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Fatia Maulidayanti. Mereka berdua dilaporkan ke polisi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE hanya karena mendiskusikan hasil kajian gabungan beberapa organisasi masyarakat sipil tentang faktor-faktor yang memicu pelanggaran hak asasi manusia di Papua, termasuk di antaranya dugaan keterlibatan beberapa tokoh-tokoh militer dalam industri tambang. Kasus ini masih terus diproses oleh polisi.

Tak hanya itu, serangan terhadap pembela HAM juga terjadi dalam bentuk peretasan. Data pemantauan Amnesty International Indonesia mencatat 58 kasus serangan digital, berupa peretasan maupun percobaan peretasan akun milik pribadi dan lembaga pembela HAM. Umumnya peretasan yang terjadi ditargetkan untuk menyerang WhatsApp, akun Twitter, Telegram, hingga upaya doxing. Pada 17 Mei, misalnya, akun WhatsApp dan Telegram milik delapan orang staf Indonesia Corruption Watch (ICW) dan empat orang mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diretas setelah mereka mengadakan konferensi pers tentang pegawai KPK yang saat itu terancam diberhentikan karena dianggap tidak lolos tes wawasan kebangsaan.

Serangan-serangan seperti ini akan terus berlanjut jika pemerintah dan aparat penegak hukum tidak melakukan langkah-langkah nyata untuk mengusut kasus-kasus tersebut dan membawa pelaku ke pengadilan.

Ruang kebebasan sipil semakin menyempit

Kasus kriminalisasi dan represi terhadap warga yang menggunakan haknya untuk kebebasan berekspresi juga terus terjadi sepanjang 2021, salah satu metodenya dengan penggunaan UU ITE.

Sejak Januari hingga November 2021, Amnesty International Indonesia mencatat bahwa terdapat 84 kasus pelanggaran kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE dengan 98 orang korban. 

Pembungkaman dengan UU ITE ini kerap terjadi kepada mereka yang mengkritik pihak yang lebih berkuasa, dan kasus yang menimpa Stella Monica serta M. Asrul menjadi salah satu contoh paling hangat yang terjadi di Indonesia. 

Stella Monica dituntut satu tahun penjara dan dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena mengunggah keluhannya tentang iritasi kulit yang ia alami setelah melakukan perawatan di sebuah klinik kecantikan di Surabaya ke media sosial. Ia dijadwalkan untuk divonis pada tanggal 14 Desember.

Sedangkan M. Asrul, seorang jurnalis di Palopo, dituduh melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik karena menulis berita tentang dugaan korupsi proyek besar di Palopo pada bulan Mei 2019 lalu. Asrul telah divonis bersalah dan dihukum dengan tiga bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palopo pada 23 November.

Kedua kasus ini kembali menunjukkan urgensi revisi UU ITE dengan perspektif perlindungan hak masyarakat, bukan hanya fokus pada ketertiban umum.

Selain itu, penggunaan pasal makar untuk mengkriminalisasi penyampaian pendapat politik secara damai juga terus berulang, terutama di daerah Maluku dan Papua. Per Desember 2021, Amnesty mencatat masih ada setidaknya 26 tahanan hati nurani di Maluku dan Papua yang ditahan atas tuduhan makar hanya karena mengekspresikan pendapatnya secara damai. Terakhir, pada awal Desember, ada delapan mahasiswa di Jayapura yang dijadikan tersangka kasus makar hanya karena mengibarkan bendera Bintang Kejora.

Di luar kasus UU ITE dan makar, aparat negara juga kerap bereaksi berlebihan terhadap ekspresi damai yang dilakukan oleh warga. Pada tanggal 13 Agustus 2021, misalnya, petugas Kecamatan Batuceper, Kota Tangerang, Banten menghapus sebuah mural yang menampilkan wajah Presiden Joko Widodo dengan tulisan “404 not found”. Sementara pada tanggal 13 September 2021, setidaknya tujuh mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Jawa Tengah ditangkap oleh aparat kepolisian dan dibawa ke Mapolresta Solo setelah mereka membentangkan beberapa poster saat Presiden Joko Widodo melintas di depan kampus UNS.

Meskipun orang-orang yang terlibat dalam insiden tersebut tidak dijadikan tersangka, ‘mengamankan’ warga hanya karena mengekspresikan pendapatnya secara damai berpotensi menciptakan efek gentar yang membuat orang enggan untuk mengungkapkan pendapat yang kritis.  

Hak atas kebebasan berpendapat sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum. Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dijamin di Pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang dijelaskan lebih lanjut di Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR. Hal tersebut pun juga dijamin di Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3), serta pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kekerasan oleh aparat negara terus berlanjut

Pada tahun 2020, Amnesty mendokumentasikan setidaknya 402 korban kekerasan polisi di 15 provinsi selama aksi menolak Omnibus Law Cipta Kerja. Amnesty juga memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan terpisah oleh polisi Indonesia selama aksi yang terjadi antara 6 Oktober hingga 10 November 2020.

Kekerasan ini terus berulang di tahun 2021. Sepanjang Januari hingga November 2021, data pemantauan Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya sembilan kasus penyiksaan yang diduga dilakukan oleh aparat negara dengan sepuluh  korban, dengan rincian: lima kasus yang diduga dilakukan oleh anggota Polri dengan enam orang korban, dua kasus yang diduga dilakukan oleh anggota TNI dengan dua orang korban, dan dua kasus yang diduga dilakukan oleh petugas lapas dengan dua orang korban.

Pada 26 Juli, misalnya, seorang pemuda difabel di Merauke bernama Steven Yadohamang menjadi korban penggunaan kekuatan berlebihan oleh dua orang anggota polisi militer Angkatan Udara. Steven ditahan setelah beradu mulut dengan warga lainnya. Dua orang anggota polisi militer tersebut menariknya ke atas trotoar, menahannya dalam keadaan telungkup, dan salah satu polisi militer kemudian menginjak kepala Steven.

Di Papua, kekerasan dalam bentuk pembunuhan di luar hukum juga terus terjadi. Amnesty mencatat ada setidaknya 11 kasus pembunuhan di luar hukum yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan selama 2021, dengan total 15 korban. 

Salah satu contoh kasus terjadi pada 15 Februari 2021, setelah aparat TNI melakukan penyisiran di sekitar Kampung Mamba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya untuk mencari pelaku penembakan anggota TNI yang terjadi pada pagi harinya.

Saat penyisiran tersebut, seorang pemuda bernama Janius Bagau tertembak di bagian lengan dan dievakuasi ke sebuah Puskesmas di Kampung Bilogai, ditemani oleh dua saudaranya, Justinus dan Soni. Pada malam harinya, aparat TNI mendatangi Puskesmas tersebut dan terjadi penembakan yang mengakibatkan tewasnya Janius, Justinus, dan Soni.

Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III Kolonel CZI IGN Suriastawa mengatakan bahwa ketiga pemuda tersebut adalah anggota kelompok bersenjata yang berusaha merampas senjata aparat sehingga aparat menembak ketiganya hingga tewas. Namun, klaim tersebut dibantah oleh warga sekitar dan organisasi gereja yang mengatakan bahwa Junius, Justinus, dan Soni adalah warga sipil.

Sementara itu, kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang diduga melibatkan aparat negara juga terjadi di luar Papua. Dari Januari hingga November 2021, data pemantauan Amnesty International Indonesia mencatat terdapat 33 kasus di luar Papua dengan 37 orang korban.

Pada 25 Februari misalnya, seorang anggota Polsek Kalideres melakukan penembakan di sebuah kafe di Cengkareng, Jakarta Barat yang menewaskan tiga orang, termasuk dua karyawan kafe. 

Kekerasan yang dilakukan aparat negara juga menimpa kelompok perempuan dan anak. Sejak 1 Januari hingga 30 November 2021, Amnesty International Indonesia mendokumentasikan setidaknya terdapat 51 perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan yang diduga dilakukan aparat negara. Terduga pelaku terbanyak berasal dari Kepolisian, dengan 25 kasus dan 27 korban. 

Kasus-kasus kekerasan ini termasuk di antaranya pelecehan seksual, pemerkosaan, kekerasan fisik hingga pembunuhan.

Pada bulan April, misalnya, empat perempuan tenaga honorer yang bekerja di Dinas Perhubungan Barru, Sulawesi Selatan melaporkan Kepala Dinas Perhubungan berinisial AT ke kepolisian atas tuduhan pencabulan. Pencabulan ini diduga terjadi sejak 2020 dan dilakukan di tempat kerja.

Kejadian-kejadian seperti ini menunjukkan pentingnya aturan hukum yang melindungi korban dari segala bentuk kekerasan seksual serta perlunya mengubah budaya yang melanggengkan kekerasan seksual dan bentuk kekerasan lainnya terhadap perempuan di segala sektor pemerintahan dan penegakan hukum.

Hak-hak pengungsi adalah hak asasi

Dalam catatan akhir tahun ini, Amnesty juga menyoroti hak-hak asasi para pengungsi. Tahun lalu, Indonesia menerima setidaknya 250 pengungsi Rohingya yang masuk ke wilayah negara ini melalui jalur laut.

Upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk membiarkan para pengungsi bersandar di Aceh layak mendapat apresiasi, namun kejadian ini juga menunjukkan pentingnya penyelesaian dalam kerangka regional.

Amnesty telah berbicara dengan beberapa pengungsi Rohingya di Aceh yang menceritakan perjalanan mereka mencari rumah baru. Mereka naik kapal dari Bangladesh dengan membayar agen dan penyelundup dengan harapan bisa sampai ke Malaysia, di mana banyak di antara mereka memiliki keluarga. Mereka menempuh perjalanan di laut selama berbulan-bulan dan harus bertahan dalam kondisi yang tidak layak. Beberapa pengungsi menceritakan bahwa agen di kapal seringkali melakukan pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan-perempuan Rohingya. 

“Agen-agen itu benar-benar keji. Mereka melecehkan perempuan,” kata Z, seorang pengungsi berumur 33 tahun.

“Kapten kapal juga tidak berkelakuan baik, melakukan kekerasan fisik seperti memukul,” kata M, 20.

Sesampainya mereka di Aceh, mereka juga menghadapi kondisi di kamp pengungsian yang sulit. Beberapa pengungsi Rohingya menceritakan bahwa padatnya kamp pengungsian membuat pengungsi kesulitan memiliki privasi dan ada kekurangan tempat untuk tidur dan toilet.

Bahkan setelah kudeta di Myanmar pada 1 Februari 2021, negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, terus fokus untuk mencapai pemulangan pengungsi Rohingya yang “aman, bermartabat dan sukarela” ke rumah mereka di negara bagian Rakhine. Namun, Amnesty International percaya bahwa mengembalikan siapa pun ke Myanmar dalam keadaan saat ini, terlepas dari status imigrasi mereka, akan merupakan pelanggaran prinsip non-refoulement

Peristiwa-peristiwa yang terjadi setelah kudeta berarti bahwa ribuan orang lainnya akan mencoba melakukan perjalanan berbahaya melintasi perbatasan dan ke negara-negara anggota ASEAN seperti Indonesia untuk menghindari meningkatnya kekerasan dan ketidakstabilan. ASEAN harus memastikan tidak ada lagi orang yang terpaksa melakukan perjalanan berbahaya tersebut. ASEAN juga harus memberikan pernyataan yang jelas mengutuk semua pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan militer Myanmar. ASEAN juga harus terus menyerukan pembebasan semua individu yang ditahan secara sewenang-wenang dan diakhirinya penggunaan kekuatan mematikan terhadap warga sipil.