Cabut penyegelan masjid Ahmadiyah di Sintang

Menanggapi penyegelan Masjid Miftahul Huda milik komunitas Ahmadiyah di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan:

“Negara tidak boleh membiarkan insiden seperti ini terjadi. Penyegelan ini sangat memprihatinkan dan bentuk nyata pelanggaran kebebasan beragama terhadap umat Ahmadiyah di Sintang. Pemerintah Kabupaten Sintang harus melindungi hak warganya tanpa terkecuali dan jangan mendukung aksi intoleran dari kelompok tertentu.”

“Kami mendesak Plt. Bupati Sintang untuk segera mencabut penyegelan tersebut dan mengizinkan warga Ahmadiyah untuk menggunakan haknya untuk beribadah sesuai dengan keyakinan mereka. Pemda Sintang juga harus melindungi warga Ahmadiyah dari ancaman aktor-aktor intoleran yang mengancam hak-hak mereka.”

“Pemerintah pusat juga tidak boleh menutup mata dan membiarkan kejadian seperti ini terus berulang. Pada bulan Mei lalu, masjid milik warga Ahmadiyah di Garut, Jawa Barat juga disegel. Kami kembali mendesak pemerintah untuk mencabut SKB Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri 2008 tentang Ahmadiyah yang sudah sering digunakan oleh pemerintah-pemerintah daerah sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga Ahmadiyah.”

“Pemerintah harus mengambil langkah-langkah efektif untuk memastikan bahwa seluruh anggota agama minoritas dilindungi dan dapat mempraktikkan keyakinan mereka secara bebas dari rasa takut, intimidasi, dan serangan.”

Latar belakang

Masjid Miftahul Huda pertama dibangun di Dusun Harapan Jaya, Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang pada tahun 2007. Pada tahun 2020, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) setempat memutuskan untuk membangun gedung masjid baru karena kondisi bangungan yang lama sudah tidak layak. Pembangunan gedung baru selesai pada bulan Mei 2021.

Sejak November 2020, ada penolakan dari beberapa kelompok masyarakat atas pembangunan gedung baru tersebut. Pada tanggal 12 Agustus 2021, sebuah kelompok yang menamakan dirinya Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang mengirim surat ke Pemkab Sintang yang berisi ultimatum meminta aparat untuk menindak umat Ahmadiyah di Sintang dalam waktu tiga kali 24 jam, dengan ancaman akan bertindak sendiri bila ultimatum tersebut tidak dipenuhi. Pengurus JAI setempat mengirim surat meminta perlindungan hukum kepada Kapolres Sintang karena ancaman tersebut.

Pada 13 Agustus, Plt Bupati Sintang mengirim surat kepada pengurus JAI Kabupaten Sintang untuk menghentikan kegiatan beribadah. Pada 14 Agustus, aparat Pemkab menutup paksa dan menyegel Masjid Miftahul Huda.

Amnesty International Indonesia telah berkali-kali mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut SKB tentang Ahmadiyah tersebut dan memberikan ruang bagi JAI untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya dengan bebas tanpa diskriminasi dan ancaman.

Menurut data Amnesty, sepanjang 2021 saja sudah ada setidaknya tujuh kasus penolakan pendirian rumah ibadah, enam kasus perusakan rumah ibadah, dan satu kasus penyegelan rumah ibadah.

Hak seluruh individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing telah dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang isinya:

“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.”

Selain itu, Pasal 27 ICCPR juga menjamin bahwa orang-orang yang termasuk minoritas tersebut tidak boleh ditolak haknya, dalam komunitas dengan anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menganut dan mempraktikkan agama mereka sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri.

Kebebasan untuk mewujudkan atau memperlihatkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat tunduk pada batasan-batasan seperti yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral publik atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain. Akan tetapi perlu diingat bahwa peraturan, kebijakan dan perlakuanpun tidak boleh bersifat disrkiminatif hanya karena keyakinan atau cara mereka beribadah berbeda dengan yang lain.

Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpikir, berhati nurani, beragama dan berkeyakinan dijamin dalam UUD 1945, khususnya Pasal 29 (2) tentang kebebasan beragama dan beribadah dan pasal 28E (2) tentang kebebasan berkeyakinan di mana setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap mereka sesuai dengan hati nuraninya.