Bubarkan Demonstran Dengan Tembakan dan Helikopter, Aparat Langgar HAM

Menanggapi penggunaan kekerasan dalam penanganan unjuk rasa mahasiswa di Papua dan Sulawesi Tenggara, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan:

“Perlakuan aparat di dalam membubarkan mahasiswa yang berunjuk rasa damai ini tidak hanya memprihatinkan tapi juga berbahaya. Penggunaan tembakan senjata api di Jayapura dan helikopter di Kendari untuk membubarkan demonstran secara paksa bisa mengancam nyawa mereka. Apalagi mereka mempertontonkan kekerasan itu di lingkungan kampus.”

“Aparat harus ingat demonstrasi damai adalah kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat yang sepenuhnya dilindungi dalam hukum HAM internasional, yang tidak seharusnya ditindak.”

“Kami menyadari, di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini, semua orang dianjurkan menjaga jarak, namun hal itu tidak bisa menjadi alasan untuk menindak kebebasan berekspresi dan melanggar hak-hak asasi manusia.”

“Pembubaran harus dilakukan secara hati-hati sebagai upaya terakhir. Pengunjuk rasa juga harus diberi kesempatan terlebih dahulu untuk bubar secara sukarela.”

Latar belakang

Pada hari Senin 28 September, dua pengunjuk rasa bernama Yabet Lukas Degei dan Selius Wanimbo terluka ketika mengikuti unjuk rasa menolak perpanjangan otonomi khusus Papua di lingkungan kampus mereka, Universitas Cendrawasih, Jayapura, yang kemudian dibubarkan oleh polisi.

Yebet dipukul aparat di bagian kepala belakang hingga kepalanya terluka dan berdarah, sedangkan Selius dipukul dengan popor senjata di bagian badannya hingga terluka dan berdarah.

Sumber: istimewa

Perkumpulan Advokat HAM Papua mengatakan, selain dua mahasiswa yang terluka, tiga orang mahasiswa yang merupakan penanggung jawab aksi yaitu Ayus Heluka, Salmon Tipogau dan Kristian Tegei sempat ditangkap polisi sebelum akhirnya dibebaskan.

Amnesty menerima video amatir dari sumber lokal yang menunjukkan penggunaan kekuatan berlebih oleh polisi dan TNI untuk membubarkan massa demonstran. Dalam video itu, suara tembakan senjata api terdengar beberapa kali.

Kepada Amnesty, Polda Papua membantah bahwa pihak mereka menggunakan kekerasan atau kekuatan berlebihan dalam membubarkan massa dan bahwa ada mahasiswa yang ditahan. Penembakan dilakukan untuk membubarkan massa yang anarkis. Mereka menyebut unjuk rasa mahasiswa itu menyalahi protokol COVID-19.

Selama periode 24-28 September, ada sejumlah unjuk rasa damai yang terjadi di beberapa kota di Papua, untuk menolak perpanjangan otonomi khusus Papua, yang pertama kali diberlakukan pada tahun 2001. Pengunjuk rasa menilai 20 tahun otonomi khusus hanya memperparah pembunuhan di luar hukum dan menimbulkan kerusakan lingkungan serta budaya yang makin meningkat.

Pada hari pertama unjuk rasa, yakni 24 September, ratusan orang berdemo di Nabire. Laporan media menyebut lebih dari 160 mahasiswa ditahan. Namun kini semuanya telah dibebaskan.

Menurut keterangan saksi kepada Amnesty, polisi mengambil ponsel sejumlah pengunjuk rasa, mengancam mereka dan bahkan memukuli mereka.

Pada hari Sabtu 26 September di Kendari, Sulawesi Tenggara, sebuah helikopter polisi terlihat terbang rendah di atas para pengunjuk rasa, memaksa merea untuk bubar demi menghindari debu yang beterbangan. Mahasiswa berunjuk rasa untuk mengenang setahun perginya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo yang tewas saat bentrokan antara massa dan polisi dalam demo tahun lalu.

Sumber: Kompas.com


Indonesia adalah negara pihak dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (CAT) PBB. Selain itu, larangan penyiksaan juga diatur dalam Konstitusi Indonesia.

Ada juga larangan mutlak penyiksaan menurut hukum kebiasaan internasional. Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh petugas polisi yang menyebabkan cedera atau penderitaan dapat dianggap sebagai penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya. Respon polisi terhadap aksi massa harus bisa membedakan antara pengunjuk rasa damai dan yang melibatkan kekerasan serta tidak menggunakan kekuatan lebih dari yang benar-benar diperlukan, proporsional dan sesuai dengan hukum yang diatur untuk menangkap pengunjuk rasa yang melakukan kekerasan, dan membawa mereka ke pengadilan.

Penangkapan ekstra-yudisial terhadap pengunjuk rasa damai bertentangan dengan pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Komentar Umum No. 34 pasal 19 ICCPR yang menjamin hak untuk menyatakan pendapat, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi serta pemikiran apa pun di samping Pasal 9 (1) ICCPR dan Komentar Umum No. 35 dari Pasal 9 ICCPR yang menjamin hak seseorang untuk tidak ditangkap atau ditangkap secara sewenang-wenang kecuali dengan alasan yang sah. Khususnya, penahanan sewenang-wenang memfasilitasi penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, penghilangan paksa, dan pelanggaran lainnya.