Amnesty International menyerahkan dokumen pelanggaran HAM untuk mendukung kerja KKR Aceh

Amnesty International hari ini menyerahkan dokumen berisi ratusan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama konflik antara aparat keamanan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh).

Arsip setebal ribuan halaman tersebut juga memuat seruan Amnesty International kepada pemerintah Indonesia dan pemerintah daerah Aceh agar memenuhi kewajiban internasional mereka mengakui kebenaran dan memastikan akuntabilitas kepada korban pelanggaran HAM berat dan keluarga mereka.

Inisiatif ini dilakukan bersamaan dengan peringatan 13 tahun perjanjian damai pemerintah Indonesia dan GAM yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Perwakilan Amnesty International Indonesia bertemu dengan KKR Aceh di Aceh dengan tujuan mendukung kerja komisi dalam mengungkapkan kebenaran dan menyediakan reparasi bagi korban konflik serta keluarganya.

KKR Aceh dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada tahun 2013 dan mulai beroperasi pada 2016. Lembaga ini diberi amanat untuk mengungkap kebenaran di balik pelanggaran HAM saat konflik, serta memulai rekonsiliasi demi memperkuat persatuan rakyat Aceh. KKR Aceh diharapkan memberikan rekomendasi kepada pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk memberikan reparasi bagi para korban serta keluarganya.

Namun, sampai saat ini pemerintah Aceh hanya setengah hati mendukung KKR Aceh. Bahkan, pemerintah pusat menolak mengakui legitimasi dan mendukung kerja mereka.

“Kerja KKR Aceh sangat penting untuk mengumpulkan kesaksian korban agar ingatan mereka tentang pelanggaran HAM berat yang terjadi selama konflik tetap terjaga. Kita seharusnya belajar dari masa lalu untuk memastikan kejahatan seperti itu tidak akan terulang dan pengalaman kolektif ini diakui dan tak dilupakan,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Dokumen-dokumen Amnesty International, yang menguatkan temuan lembaga HAM lainnya, menyoroti pelanggaran HAM yang dilakukan aparat keamanan Indonesia serta pendukungnya  selama 29 tahun periode konflik sebagai bagian dari kebijakan menekan gerakan kemerdekaan. Ini termasuk pembunuhan di luar hukum (unlawful killings), penghilangan paksa dan penyiksaan -kejahatan yang tampaknya menjadi bagian dari serangan yang meluas atau sistematis dan mungkin dapat disebut kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu, pelanggaran HAM yang dilakukan GAM antara lain mencakup penyanderaan dan pembunuhan orang-orang yang diduga memiliki keterkaitan dengan pemerintah.

Pada saat perjanjian damai tahun 2005, topik penanganan kejahatan selama konflik dimasukkan dalam Nota Kesepahaman Helsinki dan kemudian diadopsi dalam UU Pemerintahan Aceh No. 11 Tahun 2006. Namun, 13 tahun setelah perjanjian damai bersejarah, yang relatif membawa perdamaian dan keamanan di provinsi paling barat Indonesia ini, para korban dan anggota keluarga masih menunggu janji-janji pemenuhan kebenaran, keadilan, dan reparasi penuh dari pemerintah Indonesia. Kegagalan untuk melakukannya hanya memperpanjang penderitaan mereka.

Berkas Amnesty International menunjukkan bahwa banyak pelanggaran oleh aparat keamanan Indonesia dan pendukung mereka terhadap warga sipil tampaknya merupakan bagian dari serangan yang meluas dan sistematis. Tindakan tersebut bisa jadi merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kedua belah pihak adalah  kejahatan perang. Meskipun demikian, hanya segelintir kejahatan yang telah diselidiki dan tidak ada yang disidangkan di pengadilan sipil independen. Konflik tersebut telah menewaskan antara 10.000 dan 30.000 orang, termasuk banyak warga sipil.

Kerangka hukum yang cacat berarti hanya sedikit korban yang memiliki akses ke pengadilan, sementara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia tidak mengakui kejahatan di bawah hukum internasional. Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berdiri sejak tahun 2000 memiliki mandat terbatas. Semua persidangan yang digelar sebelum Pengadilan HAM dibentuk— dan tidak ada satu pun yang membahas kejahatan di Aceh — telah menghasilkan baik putusan bebas atau putusan yang dibatalkan pada saat naik banding.

Meskipun ada beberapa inisiatif penting pemerintah dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menyelidiki pelanggaran HAM, tapi mereka belum berhasil memberikan gambaran yang utuh tentang kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi, termasuk nasib dan keberadaan orang-orang yang hilang. Sementara itu, upaya membentuk komisi kebenaran di tingkat nasional berhenti karena kurangnya kemauan politik.

Jadi, KKR Aceh adalah inisiatif yang harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan pemerintah Aceh. Amnesty International menyerukan pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk memberikan dukungan penuh (termasuk sumber daya) dan menjalin kerja sama dengan KKR Aceh agar mereka dapat beroperasi secara efektif, sesuai dengan hukum dan standar internasional.

“Setelah 13 tahun, orang-orang Aceh masih menunggu keadilan. Ini saatnya pemerintah pusat menunjukkan komitmennya dalam menyelesaikan pelanggaran HAM Aceh dengan memberikan dukungan penuh kepada KKR Aceh. Kebijakan menetapkan Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh yang mengakibatkan pelanggaran HAM besar-besaran dibuat di tingkat nasional. Itu adalah kebijakan negara. Pemerintah pusat tidak boleh mencoba menghindari tanggung jawab atas apa yang terjadi di Aceh dengan menyerahkan upaya memberikan pemulihan korban yang efektif ke pemerintah daerah,” kata Usman Hamid.

Amnesty International menyerukan kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) yang akan berfungsi sebagai dasar hukum pemerintah pusat untuk mengakui dan mendukung KKR Aceh. Peraturan seperti itu akan memperkuat legitimasi rekomendasi KKR Aceh di masa depan. Badan-badan negara seperti Komnas HAM juga harus secara proaktif mendukung kerja KKR Aceh.

“Perdamaian tidak cukup jika tidak ada kebenaran tentang masa lalu di Aceh dan tidak ada reparasi untuk mengatasi kerugian yang diderita korban. Tuntutan korban dan anggota keluarga mereka terhadap pemerintah untuk mengakui dan memperbaiki pelanggaran HAM yang dilakukan di Aceh di masa lalu harus didengar,” tambah Usman Hamid.

Latar Belakang

Dalam laporan tahun 2013 yang berjudul “Time to face The Past”, Amnesty International menyoroti berbagai konsekuensi negatif yang dijalani masyarakat Aceh.

Laporan ini tersedia dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, dan dapat diakses di sini.