2017: Tahun Politik Kebencian

Tahun 2017 menjadi penanda berkembangnya politik kebencian di Indonesia dan berbagai negara. Politik kebencian ini melahirkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM) baru yang disponsori oleh aktor negara dan non-negara, kata Amnesty International saat meluncurkan laporan tahunan mengenai situasi HAM di dunia pada hari 22 Februari 2018.

Laporan Amnesty International yang berjudul ​The State of The World’s Human Rights, menganalisis situasi HAM di 159 negara di dunia selama tahun 2017, termasuk Indonesia.

Menurut laporan tersebut, politik kebencian di Indonesia merupakan rangkaian fenomena global berupa lahirnya pemimpin populis kanan yang mengeksploitasi retorika kebencian seperti Donald Trump di Amerika Serikat, Rodrigo Duterte di Filipina, Narendra Modi di India, Recep Tayyip Erdogan ​di Turki ​dan Vladimir Putin di Rusia untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan diskriminatif dan anti-HAM yang mereka keluarkan.

“Di Indonesia sendiri politik kebencian tersebut mengeksploitasi sentimen moralitas agama dan nasionalisme sempit oleh aktor negara dan non-negara yang mengajak pengikut mereka dan masyarakat luas untuk membenci mereka yang dianggap “berbeda”, antara lain, kelompok atau individu yang dituduh “anti-Islam” atau “menyimpang dari Islam,””anti-nasionalis” atau “radikal Islamis”, “anti NKRI dan separatis”, hingga “anti pembangunan” atau “komunis”,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

“Anti-Islam”

Politik kebencian dipakai oleh aktor negara dan non-negara untuk memecah belah masyarakat demi mencapai tujuan tertentu seperti yang terjadi di Pilkada Jakarta 2017. Politik pembelahan ini membawa dampak sosial dan politik berkepanjangan.

Vonis pidana penjara dua tahun bagi mantan Gubernur DKI Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, seorang Kristen Tionghoa, pada 9 Mei 2017 karena dianggap menista Islam adalah salah satu produk politik kebencian yang akan tercatat dalam sejarah HAM Indonesia. Lawan politik Ahok menggunakan sentimen “anti-Islam” untuk mengumpulkan ratusan ribu massa di Jakarta dan menekan penegak hukum untuk memenjarakan Ahok.

“Pimpinan kelompok seperti FPI [Front Pembela Islam] Rizieq Shihab menggunakan retorika kebencian untuk menggerakkan massa agar menodong polisi memproses hukum Ahok atas tuduhan menista agama. Bisa disimpulkan bahwa narasi kebencian terhadap Ahok didasari oleh status dia yang merupakan bagian dari kelompok minoritas agama dan etnis,” Usman Hamid menambahkan.

Selain kasus Ahok, vonis bersalah dalam kasus penistaan agama terhadap tiga pimpinan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), Ahmad Mushaddeq, Mahful Muis, Tumanurung dan Andry Cahya, dalam kasus penistaan agama Islam atau dianggap menyimpangi Islam memperparah situasi perlindungan beragama di Indonesia pada 2017.

Selama tahun 2017, ada total 11 orang divonis bersalah menggunakan pasal penodaan agama. Pasal karet tersebut sering digunakan untuk menyasar individu yang merupakan bagian dari agama maupun keyakinan minoritas.

“Islamis yang anti-nationalis”

Pemerintahan Joko Widodo juga mengkapitalisasi sentimen “radikalisme” untuk menjustifikasi keputusan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) pada Juli 2017 yang disahkan oleh DPR RI pada Oktober 2017. Perppu tersebut mengancam kebebasan berekspresi dan berkumpul karena pemerintah bisa langsung membubarkan organisasi kemasyarakatan jika terindikasi “anti-pancasila”. Sembilan hari berselang, pemerintah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)​ yang menurut pemerintah “anti-pancasila” karena mengkampanyekan ​khilafah di Indonesia pada 19 Juli 2017. Pembubaran tersebut dilakukan walaupun HTI mempromosikan konsep ​khilafah dengan cara damai atau tidak pernah satu pun anggotanya dipidana karena melakukan kekerasan dalam kegiatan dakwahnya.

“Perppu tersebut mengajak orang-orang khususnya dari kalangan moderat untuk membenci mereka yang dianggap ‘radikal’ sekalipun mereka tidak melakukan tindakan pidana yang diatur dalam undang-undang. Ini adalah bentuk kebencian yang disponsori oleh negara yang berlindung dengan alibi mencegah penyebaran paham radikal di Indonesia. Perppu ini membatasi hak kemerdekaan berserikat, berpendapat, beragama dan berkeyakinan,” kata Usman Hamid.

“Separatis”

Selain itu Amnesty International Indonesia juga mencatat setidaknya ada 30 orang dipenjara atau ditahan karena mengekspresikan pandangan politik, keyakinan, atau agama secara damai.

Pihak berwenang terus menangkap dan memproses hukum mereka yang menyuarakan aspirasi politik secara damai khususnya di wilayah yang mempunyai catatan gerakan pro-kemerdekaan seperti Papua. Tahanan hati nurani atau ​prisoner of conscience

(mereka yang dipenjarakan karena mengekspresikan pendapat secara damai), Oktovianus Warnares, masih mendekam di penjara karena menolak menandatangani dokumen yang berisikan pernyataan kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, meski dirinya telah menjalani dua pertiga hukuman penjara sebagai syarat mendapat pembebasan bersyarat. Oktovianus Warnares dihukum dengan pidana tindak “pemberontakan” (makar) pada tahun 2013 setelah berpartisipasi dalam kegiatan damai memperingati 50 tahun penyerahan Papua kepada pemerintah Indonesia oleh Otoritas Eksekutif Sementara PBB atau UN Temporary Executive Authority (UNTEA).

“Komunis”

Aparat juga menggunakan pasal komunisme untuk menjerat mereka yang menyuarakan kritiknya terhadap pembangunan. Doktrin pembangunan yang dikampanyekan oleh pemerintahan Joko Widodo melahirkan bentuk-bentuk pelanggaran HAM baru.

Pada 4 September 2017, petani dan aktivis lingkungan Heri Budiawan atau Budi Pego ditahan dengan tuduhan menyebarkan ajaran “komunisme” setelah polisi mengklaim bahwa pada salah satu spanduk yang digunakan dalam demonstrasi menolak tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur, yang dipimpin oleh Budi Pego, terdapat logo Palu Arit yang merupakan simbol komunisme. Massa anti-komunis dari berbagai organisasi kemasyarakatan mendatangi Pengadilan Negeri Banyuwangi ketika sidang perdana Budi Pego digelar untuk memberikan dukungan kepada jaksa penuntut umum.

“Ini merupakan salah satu bentuk politik kebencian yang disponsori negara di mana aparatus negara memaksakan kesakralan ideologis atau memiliki keberpihakan ideologis dan massa bersatu untuk membungkam aktivis yang memprotes kepentingan bisnis besar di Banyuwangi lewat pasal komunisme,” kata Usman Hamid.

Pada kasus lain, kepolisian malah mengambil tindakan hukum yang subyektif dengan melarang sebuah seminar terbatas yang bersifat ilmiah atas nama protes sekelompok orang anti komunis serta dengan alasan larangan hukum atas komunisme. Pada tanggal 16 September 2017, polisi membubarkan seminar di kantor YLBHI/LBH Jakarta yang dihadiri para korban pelanggaran HAM 1965.

Sementara dengan alasan larangan hukum atas komunisme, kepolisian tidak mengambil tindakan hukum dalam kasus penyerangan sekelompok massa anti-komunis terhadap aktivis dan para korban yang berkumpul di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Pada malam 17 September, LBH Jakarta mengadakan acara seni untuk mengkritik pembubaran tersebut. Tak lama setelah acara seni tersebut berlangsung, sekitar 1.000-an orang yang mengaku sebagai “anti-komunis” mengepung kantor LBH Jakarta sehingga para seniman dan aktivis terjebak di dalam gedung tersebut. Pada dini hari, massa tersebut melemparkan batu ke kantor LBH Jakarta dan merusak pagar gedung. Ratusan petugas polisi turun ke lokasi dan menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa.

“Homophobis” 

Kebencian terhadap kelompok minoritas seksual meningkat juga di tahun 2017 di mana penegak hukum banyak melakukan razia dan penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap LGBT. Jika pada tahun 2016, pejabat-pejabat negara hanya melontarkan pernyataan yang menyudutkan kelompok LGBTI atas nama moralitas, maka tahun 2017 ini pernyataan-pernyataan tersebut diterjemahkan ke dalam bentuk tindakan konkret oleh aparat.

Pada 25 Mei, 141 orang ditangkap di Jakarta Utara oleh polisi setempat setelah menghadiri apa yang digambarkan polisi sebagai, “pesta seks gay”. Keesokan harinya polisi membebaskan 126 pria, namun 10 diantaranya dijerat tuduhan memberikan “layanan pornografi” dengan tuduhan melanggar UU No. 44/2008 tentang Pornografi.

Pada 6 Oktober, 51 orang, termasuk tujuh warga negara asing, ditangkap di sebuah sauna di Jakarta Pusat. Sebagian besar pelanggan dibebaskan keesokan harinya; lima karyawan tetap ditahan pada akhir tahun. Polisi menuduh enam orang memberikan layanan pornografi dan prostitusi. Kecuali di Aceh, hubungan seks sesama jenis tidak diberlakukan sebagai kejahatan berdasarkan KUHP.

Sedikitnya 317 orang dihukum cambuk di Aceh sepanjang tahun 2017 karena melakukan tindak pidana perzinahan, perjudian, dan menjual atau mengonsumsi alkohol, serta hubungan seks sesama jenis suka sama suka. Pada bulan Mei, dua laki-laki masing-masing dicambuk 83 kali di depan umum setelah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Syariah Banda Aceh atas tuduhan hubungan seks sesama jenis atas dasar suka sama suka yang diatur dalam hukum Syariah Aceh. Meskipun hukum Syariah telah berlaku di Aceh sejak diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Khusus pada tahun 2001, dan ditegakkan oleh pengadilan Islam, ini adalah pertama kalinya para laki-laki homoseksual dicambuk di bawah hukum Syariah di provinsi tersebut.

“Politik kebencian ini berpotensi untuk dikapitalisasi di tahun politik 2018, apalagi di tahun 2019 jelang pemilihan presiden dan wakil presiden. Kelompok-kelompok minoritas yang menjadi target kebencian di tahun-tahun politik,” lanjut Usman Hamid.