Pihak Berwenang Harus Menginvestigasi Penggunaan Kekuatan Mematikan oleh Aparat Kepolisian di Deiyai

Amnesty International Indonesia, Imparsial, KontraS, dan LBH Jakarta menyerukan suatu investigasi segera, independen, imparsial, dan efektif kepada para pihak berwenang Indonesia terhadap dugaan penggunaan kekuatan yang mematikan dan semena-mena oleh aparat kepolisian yang berujung pada kematian seorang laki-laki dan melukai sedikitnya sepuluh orang lainnya, termasuk anak-anak di Kampung Oneibo, Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua. Temuan-investigasi itu harus dipublikasikan dan mereka yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran pidana, termasuk mereka yang memiliki tanggung jawab komando, harus dibawa ke muka hukum, dan para korban diberikan reparasi yang memadai. Pemerintah Indonesia juga perlu mengakhiri kebiasaan pembiaran atas impunitas para pelaku dari kasus semacam ini.

Pada 1 Agustus sekitar pukul 1.30 siang waktu setempat, kerusuhan pecah di sebuah kompleks perusahaan di Kampung Oneibo, Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua yang dipicu oleh kematian seorang pemuda Papua dalam perjalanan ke rumah sakit akibat tenggelam di sungai. Sebelumnya teman-teman dari korban itu meminta karyawan perusahaan agar meminjamkan mobil mereka dipakai membawa pemuda korban tersebut ke rumah sakit, namun permintaan itu ditolak para karyawan. Keluarga korban dan teman-temannya menilai bahwa pemuda tersebut dapat diselamatkan jika para karyawan setuju meminjamkan mobilnya. Hal ini berakibat puluhan warga Papua meradang dan menuju ke kompleks perusahaan dan menghancurkan beberapa properti perusahaan. Saat personel kepolisian termasuk sepasukan Brigade Mobil (Brimob) datang, mereka dilempari batu oleh kumpulan massa yang marah tersebut.

Sebagai respon, personel kepolisian secara semena-mena melepaskan tembakan ke arah kerumunan massa, mengenai Yulianus Pigai di paha dan perutnya, serta paling sedikit sepuluh lainnya mengalami luka-luka karena tembakan. Mereka segera dibawa ke Rumah Sakit Waghete, tetapi Yulianus Pigai meninggal dalam perjalanan.

Juru bicara Kepolisian Daerah (Polda) Papua, mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa penggunaan kekuatan telah sesuai prosedur dalam merespon kerusuhan massal. Menurut dia, senjata polisi hanya menggunakan peluru karet. Namun hingga saat ini belum ada upaya otopsi untuk menentukan secara jelas penyebab kematian.

Amnesty International Indonesia, Imparsial, KontraS, dan LBH Jakarta mengakui kondisi yang berbahaya dan kompleks yang dihadapi oleh aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya ketika menjalankan tugas mereka untuk melindungi keamanan publik. Namun demikian, peran ini harus dijalankan dengan cara yang memastikan hak atas hidup, kebebasan, dan keamanan semua orang, termasuk mereka yang diduga melakukan kejahatan. Penggunaan kekuatan harus menjadi bagian dari suatu jaring perlindungan hak asasi manusia (HAM) yang diatur oleh Kode Perilaku Aparat Penegak Hukum PBB (1979) dan Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum PBB (1990). Penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum di Indonesia juga telah diatur oleh Peraturan Kapolri tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (No. 1/2009).

Di bawah hukum dan standar-standar internasional, aparat penegak hukum boleh menggunakan kekuatan hanya jika benar-benar diperlukan dan dalam situasi di mana disyaratkan oleh suatu tujuan penegakan hukum yang sah; mereka tidak boleh menggunakan senjata api, kecuali sebagai upaya membela diri terhadap suatu ancaman yang segera yang bisa berujung kepada kematian atau cidera serius. Dugaan penggunaan kekuatan yang semena-mena atau disalahgunakan oleh aparat kepolisian atau aparat keamanan lainnya saat menjalankan tugasnya harus diinvestigasi secara menyeluruh lewat sebuah mekanisme yang independen dan imparsial. Para pihak berwenang harus memastikan bahwa para korban pelanggaran HAM semacam itu dan keluarganya mendapatkan reparasi yang efektif dan penuh, termasuk kompensasi.

Akuntabilitas kepolisian di Indonesia sulit tercapai karena minimnya mekanisme pengawasan yang independen, efektif, dan imparsial untuk menyelidiki pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan dan membawanya ke mekanisme penuntutan. Investigasi-investigasi terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian sangat jarang di Indonesia dan upaya membawa mereka yang bertanggung jawab ke muka keadilan, kebanyakan hanya lewat mekanisme disiplin internal yang kemudian meninggalkan banyak korban tanpa akses atas keadilan dan reparasi.

Latar Belakang

Amnesty International Indonesia, Imparsial, KontraS, dan LBH Jakarta percaya bahwa kasus Deiyai bukan merupakan kejadian yang terpisah, tetapi merupakan bagian dari budaya impunitas yang terus terjadi di wilayah Papua. Di banyak investigasi sebelumnya atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan di Provinsi Papua dan Papua Barat, termasuk pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan yang tidak diperlukan dan berlebihan, dan penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, ditunda secara tidak masuk akal, dihentikan, atau temuan-temuannya ditutupi, membuat para korban dan keluarganya tanpa akses atas kebenaran, keadilan, dan reparasi.

Pada hampir semua kasus yang telah ditindaklanjuti, para aparat kepolisian di Provinsi Papua dan Papua Barat tidak menghadapi pengadilan dan hanya diberikan sanksi disiplin ketika terbukti melakukan pelanggaran HAM. Minimnya akuntabilitas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah Papua ini telah terjadi selama bertahun-tahun.